7. Kobar Api di Dalam Dadaa

773 Kata
Suara deburan ombak dan desiran angin laut tak mampu menenangkan gejolak di d**a Aveline. Ia terdiam dan duduk di balkon kapal pesiar megah itu, membiarkan angin menerpa rambut pirangnya yang kini telah ia lepaskan dari sanggul sederhana sebelumnya. Makan malam canggung dan aneh itu telah usai, dan tadi Dominic pun tiba-tiba pergi begitu saja entah kemana, ketika ponselnya berdering dan pria itu pun menerimanya. Syukurlah. Paling tidak untuk beberapa saat, Aveline bisa menata hati dan pikirannya agar bisa memproses semua kejadian ini. Tapi masalahnya pikirannya justru semakin kacau alih-alih berusaha untuk tetap tenang. Benak Aveline tak mampu berhenti untuk terus memutar ulang perkataan Dominic barusan. ((Karena hanya kamulah satu-satunya yang bisa membuatku tetap merasa hidup, Nona Aveline Rose)) Kalimat itu bergema dalam pikirannya seperti mantra rumit yang sulit diurai maknanya. Sebelumnya, pria itu berkata bahwa Aveline memiliki sesuatu yang sangat berharga yang tak dimiliki wanita lain. Dan kini... ia adalah satu-satunya yang bisa membuat Dominic merasa hidup? Apa maksudnya?! Aveline menggigit bibirnya, menahan hasrat untuk berteriak frustrasi. Dominic Wolfe. Aargh... pria itu bagai teka-teki hidup yang berbahaya! Langkah kaki berat di belakangnya membuat Aveline tersentak pelan. Namun bahkan tanpa menoleh pun ia telah tahu, bahwa Dominic telah tiba. "Apa kamu sedang memikirkanku?" suara berat itu mengalun dalam nada menggoda. Aveline menoleh, menatap pria itu yang kini tengah membawa segelas wine untuk dirinya sendiri. "Aku ingin bertanya sesuatu, Tuan Dominic." "Silakan." Dominic duduk santai di hadapan Aveline sambil menyilangkan kaki, lalu menatap gadis itu dengan sorot tajam yang selalu berhasil membuat Aveline gugup. “Anda bilang bahwa aku bisa membayar semua hutang budiku dengan… tubuhku,” ucap Aveline, berusaha terdengar tenang meski suaranya sedikit gemetar. “Aku yakin saat itu Anda hanya bercanda, tapi~~” "Tidak. Aku tidak bercanda." Dominic memotongnya dengan nada datar yang kembali membuat Aveline terpaku. “Maksud Anda, Anda benar-benar ingin menjadikanku... sebagai pemuas hasrat Anda?” cetusnya dengan napas tercekat. Dominic tidak menjawab dengan kata-kata. Ia hanya menatap Aveline dalam-dalam. Dan di sana, pada pekatnya sorot mata cokelat gelap itu, Aveline pun seketika tahu bahwa jawabannya adalah, "Ya". Tubuhnya menegang. Nafasnya memburu. Gelombang emosi kembali membuncah di dalam dadanya. Antara marah, takut, dan juga ada sesuatu yang lain tapi tak dapat ia jelaskan. Aveline pun seketika berdiri. Tangan kanannya bergerak cepat ke meja makan untuk meraih pisau perak yang masih tersisa di sana. Dan dalam satu hentakan penuh emosi, ia pipun mengarahkan bagian tajamnya ke leher Dominic. Kedua pasang mata mereka seketika bertemu, dan tak ada satu pun dari mereka berkedip. “Aku kira… aku akan bertemu dengan seorang malaikat. Seorang dermawan baik hati yang membantu masa depanku. Tapi ternyata…” suara Aveline terdengar gemetar penuh kekecewaan. “…yang kutemukan hanyalah iblis.” Dominic pun tersenyum. Senyuman samar yang jelas menunjukkan rasa tertarik. Tak ada rasa marah apalagi ketakutan yang tersirat di sana, kecuali sebuah antusiasme yang muncul dengan perlahan namun pasti. “Ternyata kamu memiliki keberanian juga, hm?" Guman pelan pria itu. Dan sebelum Aveline sempat bereaksi, Dominic meraih pergelangan tangannya, memelintirnya, dan membuat pisau itu terlepas dari genggaman. Pisau tersebut terlempar dan berkelontang di lantai dek. Lalu hanya dalam hitungan detik, tubuh Aveline telah diputar paksa. Lengannya terangkat ke belakang, dan Dominic memitingnya erat. “Argh! Lepaskan!” Aveline menjerit. Dominic mendekatkan bibirnya ke telinga Aveline.“Perlawananmu terlalu lemah, Aveline. Kamu tidak pernah dilatih untuk menghadapi monster seperti aku, kan?” bisiknya dingin, namun seolah mampu menggetarkan udara. Tubuh Aveline pun gemetar. Tapi bukan hanya karena rasa sakit… melainkan juga karena sesuatu yang asing. Jantungnya berdegup tak menentu. Ada sensasi aneh menyebar ke seluruh tubuhnya, terasa menyesakkan dan sekaligus juga menggoda. Lalu tiba-tiba saja, Dominic pun melepaskan pitingannya. Aveline sontak membalikkan tubuhnya hingga kembali berhadapan dengan Dominic. Wajah gadis itu kini semakin merah padam. Nafasnya tampak terengah, dadanya naik-turun dengan cepat. Bola mata biru laut Aveline terlihat seperti ingin membakar Dominic dengan amarah… namun anehnya... tubuhnya seolah mengkhianati logika. Dominic pun tertawa. Tawa pelan yang dalam, rendah, dan membuat bulu kuduk meremang. “Sudah cukup pura-puranya, Aveline. Tak perlu menolakku dengan cara dramatis seperti itu,” ujarnya tenang, seolah tadi sebelumnya mereka tak hampir saling melukai. “Lagi pula, ini akan menjadi win-win solution untuk kita berdua. Kamu dapat tempat yang layak, dan aku mendapatkan apa yang kuinginkan.” Dominic lalu menoleh ke arah salah satu pelayan yang sedang menunggu di ujung dek. “Bawa Aveline ke dalam kamarku,” perintahnya dingin, tegas, dan penuh d******i. “Bersihkan tubuhnya, lalu pilihkan gaun tidur yang paling lembut. Dan pastikan dia siap untukku malam ini.” Aveline membeku di tempatnya, tapi detak jantungnya menggema seperti tabuhan ribuan genderang perang dengan kobaran api yang membakar di dalam d**a. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN