6. Kebebasan Yang Semu

722 Kata
“Aku masih tidak mengerti…” Aveline akhirnya bersuara dengan lirih, bahkan hampir tenggelam di antara semilir angin laut yang menerpa lembut wajah mereka. “Kenapa aku, Tuan? Dari sekian banyak wanita yang jauh lebih baik, cantik dan sempurna di luar sana, kenapa Anda malah menargetkanku?” Dominic yang sedang memutar gelas anggurnya perlahan, seketika menghentikan gerakannya. Jemarinya yang panjang dan kokoh kini menggenggam kaki gelas itu lebih erat. Ia mengangkat kepalanya, dan menatap Aveline tanpa berkedip sedetik pun. “Karena kamu adalah satu-satunya wanita di dunia ini, yang memiliki sesuatu yang sangat berharga untukku. Sesuatu, yang tidak akan pernah bisa dimiliki oleh wanita lain.” Aveline menatapnya dengan alis berkerut bingung dan tubuh yang perlahan condong ke depan seolah ingin mendekat. “Sesuatu yang berharga?” gadis bersurai coklat keemasan itu pun mengulang dengan suara ragu. “Apa maksud Anda? Aku bahkan tak memiliki apa-apa. Dan aku juga bukan siapa-siapa.” Dominic tidak menjawab. Pria itu hanya menatap Aveline untuk sesaat, lalu dengan tenang kembali melanjutkan makannya, seolah pertanyaan gadis itu hanyalah angin lalu. Aveline yang merasa tak dianggap, serta-merta mengepalkan kedua tangannya yang berada di atas pangkuannya, seraya menahan luapan emosi yang bercampur antara frustasi dan rasa ingin tahu yang menggerogoti. Setelah beberapa menit kesunyian yang disertai rasa canggung itu pun berlalu, Dominic akhirnya meletakkan serbet makannya dan segera berdiri. Kursinya bergeser ringan, tapi suara gesekan kaki kursi di atas lantai dek itu cukup membuat Aveline terkejut. Aveline tetap diam di tempatnya dan tak bergerak sedikit pun, hanya menatap Dominic yang kini tengah berjalan perlahan ke arahnya. Pria bersurai coklat gelap itu lalu berhenti tepat di depannya. Tubuhnya berdiri tegap dan menjulang, sementara posisi Aveline yang masih duduk membuat gadis itu harus mendongakkan wajahnya. Dan saat pandangan mereka bertemu… Aveline merasa tenggorokannya seperti tercekik oleh tatapan Dominic yang begitu dalam dan pekat. Mata cokelat tua itu seperti menyimpan sesuatu yang tak bisa Aveline pahami. Penuh misteri, bahaya, tapi juga semacam rasa memiliki yang aneh. “Pergelangan kakimu pasti terasa sakit karena borgol itu, kan?” tanya Dominic dengan tiba-tiba dan tak diduga. Suaranya maskulin pria itu mengalun lembut, tapi dengan tekanan yang membuat jantung Aveline berdegup lebih kencang. Aveline yang masih terperangkap dalam efek hipnotis pada sorot kelam mata Dominic, akhirnya hanya bisa mengangguk perlahan tanpa berucap sepatah kata pun. Dominic menurunkan tubuhnya sedikit, dengan tatapan yang tetap lekat tanpa putus kepada Aveline. “Aku akan melepaskannya, Aveline. Aku akan lepaskan borgol itu, tapi kamu harus berjanji tidak akan melakukan hal bodoh seperti mencoba untuk melarikan diri. Mengerti?” Aveline mendesah lelah. “Melarikan diri?” ulangnya seraya mendengus pelan, lalu menatap Dominic lebih tajam. “Apa Anda berpikir kalau aku sebodoh itu? Ini adalah kapal pesiar, Tuan Dominic. Dan kita sedang berada di tengah-tengah lautan. Bahkan jika aku pun bisa berenang jauh, tapi mau ke mana tujuannya? Ke bulan?” Sebuah senyum tipis muncul di sudut bibir Dominic, namun bukan senyum yang ramah. Melainkan semacam senyum licik yang seolah berkata, 'baguslah, akhirnya kamu mulai mengerti.' Lalu dengan cekatan Dominic pun menurunkan tubuhnya, dan segera membuka borgol di pergelangan kaki Aveline dengan menggunakan kunci dari saku jasnya. Dingin logam yang telah membelenggu kaki Aveline kini serta-merta hilang, hanya menyisakan sedikit ruam kemerahan di kulitnya yang putih. Aveline mengusap kulitnya perlahan, seolah ia masih belum percaya jika borgol itu benar-benar dilepas. Borgol di kaki Aveline sekarang telah terbuka seluruhnya, dan gadis itu pun menarik napas dalam-dalam. Kini ia telah bebas, meskipun bukan kebebasan yang utuh, melainkan hanya sedikit ruang gerak yang tetap saja penuh dengan kendali oleh Dominic. "Sebenarnya aku belum mempercayaimu sepenuhnya," guman Dominic tanpa menatap Aveline. "Tapi di sisi lain aku juga ingin melihat… seberapa jauh kamu akan bertahan dengan sebuah kebebasan yang semu." Aveline mengerutkan dahi, mencoba memahami kalimat itu seraya menatap Dominic yang perlahan berdiri. "Tuan Dominic," panggil Aveline pelan. "Anda belum menjawab pertanyaanku tadi… apa maksudnya aku memiliki sesuatu yang berharga? Aku benar-benar tidak mengerti, bisakah Anda tolong jelaskan?" Dominic tak serta-merta menjawab, alih-alih membiarkan suara ombak yang berhembus di laut terdengar lirih, diselingi desiran angin yang membawa aroma asin serta parfum maskulin pria itu. Dominic mengulurkan jarinya untuk menangkup dagu lancip Aveline, hingga membuat gadis itu benar-benar mendongak ke arahnya. "Aku memilihmu," ucap pria itu akhirnya dengan suara rendah dan dingin. "Karena hanya kamulah satu-satunya yang bisa membuatku tetap merasa hidup, Nona Aveline Rose." ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN