Ucapan dingin itu bagaikan palu godam yang menghantam Aveline.
((Bayar saja dengan tubuhmu. Setiap hari. Setiap malam))
Napas gadis itu pun seketika tercekat. Jantungnya seakan berhenti berdetak untuk sejenak, sebelum kembali memukul dinding dadanya dengan ritme irama yang kacau.
Aveline hanya bisa terdiam membeku untuk beberapa saat. Seolah tak percaya, dan tak sanggup mengerti dengan apa yang barusan saja ia dengar.
“... A-apa?” bisiknya pelan dan hampir tak terdengar. Kakinya yang gemetar pun refleks membawa langkah mundur yang goyah.
Tumit sepatunya berderit pelan di atas lantai marmer yang mengilap.
Manik birunya melebar dan bibirnya terbuka, namun tak ada satu pun kata yang bisa keluar.
Ia hanya bisa menatap Dominic dengan sorot tak percaya, bahwa pria itu baru saja menunjukkan wajah aslinya.
Wajah seorang yang terlalu tenang untuk disebut manusia biasa, setelah mengucapkan kalimat kejam yang tak pernah Aveline bayangkan akan keluar dari bibir sosok malaikat yang selama ini ia puja.
Sementara itu, Dominic masih tak bergerak. Ia hanya menatap Aveline dengan sorot gelap yang tetap tak terbaca.
Namun saat Aveline mundur lagi satu langkah, pria itu tiba-tiba bergerak maju.
Aveline kembali melangkah mundur, dan Dominic pun kembali maju dengan langkah lambat namun tegas, seperti predator yang sangat yakin jika mangsanya takkan bisa melarikan diri.
Aveline yang mulai merasa panik, terus melangkah mundur hingga punggungnya akhirnya membentur sesuatu yang keras dan dingin.
Aveline pun tahu ia telah terpojok dan tak lagi bisa bergerak karena tertahan oleh pintu yang tertutup rapat di belakangnya.
Gadis itu pun buru-buru mengulurkan tangannya untuk mencari gagang pintu, dan mencoba membukanya.
Tapi sayangnya, Dominic telah sampai di hadapannya sebelum Aveline melakukannya.
Hanya dalam sekejap, satu tangan pria itu telah terangkat dan menutup ruang antara mereka, serta sekaligus menahan pintu tepat di sisi kepala Aveline.
“Jangan coba-coba untuk kabur,” desisnya pelan, namun seperti sebuah bisikan dengan nada yang setajam pisau.
Aveline kini menahan napasnya. Tubuhnya semakin gemetar dalam kurungan tubuh Dominic, serta sorot manik coklat pria itu yang mengunci pandangannya.
Tatapan Dominic turun dari manik biru laut Aveline hingga ke hidungnya yang mancung, bibirnya yang tampak lembut dan rapuh, sekaligus menggiurkan.
Lalu kembali turun ke dagu lancipnya, lehernya yang putih dan jenjang.
Gadis ini memang memiliki wajah yang cukup cantik, serta tubuh yang sempurna. Tapi, sayangnya...
“Kenapa kamu mengenakan gaun lusuh seperti itu?” suara Dominic kembali terdengar, kali ini lebih tenang namun seolah menyiratkan sebuah teguran.
Matanya terus menelusuri sosok Aveline dari ujung kepala hingga ujung kaki. “Bukankah aku mengirimkan cukup banyak uang setiap bulan? Apa tidak cukup untuk membeli pakaian yang pantas dan layak?”
Nada suara pria itu terdengar aneh. Bukan sekadar kecewa, tapi seolah menuntut. Menyudutkan.
Aveline pun menggigit bibir bawahnya. “A-aku... Aku masih menyimpan sisa uang dari Anda, Tuan. Aku tak pernah membelanjakan semuanya. Aku... tak ingin menyia-nyiakan sesuatu yang bukan milikku.” Gadis itu berucap dengan suara parau, namun ia tetap memaksakan diri untuk menjawab.
Mata coklat Dominic pun seketika menyipit. “Bukan milikmu?!”
Aveline mengangguk pelan, menelan ludahnya yang terasa seperti menelan sebutir batu. “Aku hanya... hanya menerimanya karena tak punya pilihan waktu itu. Tapi aku selalu berniat mengembalikannya."
Dominic kini semakin mencondongkan tubuhnya. Tangannya yang satu lagi kini ikut menyentuh pintu, dan mengurung Aveline sepenuhnya.
“Jangan membuatku kesal, Aveline. Aku tak pernah meminta pengembalian uang yang telah kuberikan padamu, bukan?” Ia menatap gadis itu lurus-lurus.
Tampak serius, namun tak terdengar emosi di dalamnya, dan justru itulah yang membuat Dominic terdengar sangat berbahaya.
Aveline memejamkan mata sejenak, tubuhnya semakin bergetar. “Baiklah kalau begitu. Aku akan pergi, Tuan. Tolong... lepaskan aku...” bisiknya. “Aku tidak akan menyusahkan Anda lagi.”
Dominic menyeringai tipis, tapi tatapannya tak mencair sedikit pun. “Aku tidak bisa melepas apa yang sudah menjadi milikku, Aveline.”
Pernyataan itu membuat Aveline terkejut, dan merasakan kemarahan yang perlahan mendesak keluar dari d**a.
Ia pun mengangkat wajahnya. Meski tatapan matanya masih gentar, tapi kini juga diwarnai oleh keberanian yang baru saja tumbuh.
“Aku memang berhutang budi dan sangat berterima kasih, tapi itu bukan berarti aku akan menjadi milik siapa pun, termasuk Anda, Tuan Dominic Wolfe!" Cetusnya pelan namun tegas.
Dominic tidak langsung menjawab. Hanya diam dan menatap Aveline dalam-dalam, seakan sedang mengingat setiap detail wajahnya.
Lalu masih tanpa senyum serta masih tanpa tanda-tanda emosi apa pun di wajahnya, pria itu kembali bersuara.
"Kesalahan terbesarmu adalah, ketika mengira bahwa kamu masih memiliki pilihan, Aveline.”
Perkataan dengan nada dingin itu membuat Aveline membeku dengan napas tercekat.
Dominic lalu kembali melanjutkan dengan suaranya yang tenang tapi menakutkan. “Kamu tahu, Aveline? Sejak awal aku tak pernah ingin menjadi tanpa nama. Aku bisa saja muncul sejak dulu, tapi aku memilih untuk menunggu, memperhatikan, dan mengawasi, hingga saatnya kamu telah siap untuk menjadi milikku. Bukan secara hukum atau pun secara formal, tapi secara utuh. Tubuhmu. Hatimu. Dan seluruh hidupmu.”
Aveline masih terdiam dengan benak yang kacau dan dipenuhi dengan ketakutan.
Seluruh huruf dalam setiap kata yang keluar dari bibir Dominic terdengar terlalu obsesif dan mengerikan baginya.
“Setiap langkahmu dan setiap keputusanmu, akulah yang memastikannya agar tetap berada di jalurnya. Kamu pikir beasiswa itu adalah kebetulan? Apartemen murah di lokasi elit itu adalah sebuah keberuntungan? Tidak.”
Wajah tampan pria itu kini semakin tampak lebih gelap, sebelum kembali berkata. “Aku yang mengatur semuanya, Aveline. Karena dari sejak awal, aku memang sudah memilihmu.”
Aveline memalingkan wajahnya dan berusaha menjauh, tapi dinding di belakangnya dan tubuh Dominic terlalu kokoh menghimpitnya.
“Dan sekarang,” bisik Dominic, begitu dekat hingga Aveline bisa merasakan napasnya di kulit lehernya. “Kamu tidak akan ke mana-mana, Aveline Rose.”
“Karena aku tidak pernah memilih sesuatu untuk dibiarkan pergi begitu saja.”
***