4. Takdir

918 Kata
Aveline kembali mencoba memutar gagang pintu kamar mewah itu untuk kesekian kalinya, tapi hasilnya tetap sama. Terkunci. Tak bergeming. Ia memukulnya dengan kepalan tangan, menendangnya kuat dengan kaki telanjang, hingga akhirnya tubuhnya pun limbung karena lelah yang menyerang. Sebelumnya, Dominic telah membopong tubuhnya dari ruang kerja ke dalam kamar ini dengan tiba-tiba, mengabaikan semua jeritan serta pukulan Aveline di tubuh pria itu. Meskipun berusaha sekuat tenaga meronta-ronta, namun Aveline tetap saja tidak bisa melepaskan dirinya dari cengkeraman Dominic, hingga akhirnya pria itu membawanya ke dalam kamar dan mengunci pintunya dari luar tanpa berkata-kata. Udara di dalam ruangan ini begitu hening, seolah ikut menikmati penderitaannya. Padahal kamar ini terlalu indah untuk disebut sebagai kurungan. Langit-langit tinggi dihiasi lampu gantung kristal yang gemerlap, dinding putih berlapis panel kayu mengkilat, karpet lembut yang mahal, dan ranjang berkanopi dengan tirai renda yang menjuntai anggun. Tapi bagi Aveline, semuanya hanyalah sebuah ironi yang kejam. Ruangan ini adalah sangkar emas yang luar biasa mewah, tapi tetap saja seperti penjara. Ia telah mencoba segalanya. Mencongkel kunci jendela dengan gagang sisir perak, menyeret kursi ke arah jendela besar dan mencoba memecahkannya dengan vas bunga dari besi. Tapi sayangnya tak ada yang berhasil. Kaca jendela itu terlalu tebal, membuat Aveline curiga jangan-jangan juga tembus peluru. Ketika ia berteriak minta tolong, tak ada satu suara pun yang menjawabnya. Dengan napas memburu dan tubuh yang mulai bergetar karena kelelahan, Aveline pun akhirnya terduduk di atas lantai. Ia meremas rambutnya kalut . Takut, marah, bingung, semuanya menyerbu dalam satu waktu. “Kenapa aku begitu bodoh… Kenapa aku begitu nekat ingin tahu siapa orang di balik semua donasi itu…” bisiknya lirih, dengan suara hampir tak terdengar di tengah keheningan yang menyakitkan. Ia menengadah wajah menatap langit-langit, lalu menutup mata rapat-rapat saat bayangan pria itu muncul begitu jelas di kepalanya. Dominic Wolfe. Tatapan dingin pria itu ketika memandangi tubuhnya dengan tak senonoh sekaligus penuh penilaian, serta ucapannya… ((Kamu akan membayarnya dengan tubuhmu, Aveline)) Kalimat itu terasa menusuk lebih dalam dari pisau tajam. Aveline merasa kotor. Seolah harga dirinya telah diremukkan hanya dalam sekejap. Gadis itu pun kembali bangkit dengan tubuh yang gemetar hebat penuh amarah. Ia menggedor pintu lagi, memukul dengan kedua tangan hingga kulitnya memerah. Ia menjerit, berteriak sampai suara seraknya berubah menjadi isakan tak bertenaga. Hingga akhirnya tubuhnya tak sanggup lagi untuk menopang dan kembali jatuh tergelincir di atas lantai yang dingin. Dan meringkuk seperti anak kecil yang ketakutan karena ditinggalkan sendirian di tengah hutan. *** Suara langkah pelan dan sentuhan di bahunya membuat Aveline terbangun. Ia membuka mata dengan panik, serta deru napasnya yang cepat dan tersengal. Di hadapannya telah berdiri tiga wanita berpakaian seragam berwarna gelap, dengan wajah mereka yang tanpa ekspresi dan dingin seperti batu. Tanpa berkata sepatah kata pun, mereka mulai mendekat. “Apa yang kalian lakukan?” teriak Aveline parau. Ia berusaha bangkit dan bergerak mundur, tapi belum sempat ia melakukan apa pun, tiba-tiba terdengar suara "klik" yang aneh. Seketika Aveline menatap kakinya, dimana sumber suara itu berasal. Dan ia pun bergidik. Borgol. Melingkar dingin di kedua pergelangan kakinya.. Aveline memandang benda logam itu dengan ngeri, dan tambah menggigil ketika melihat ketiga pelayan wanita itu yang semakin mendekat. “Tidak! Jangan sentuh aku! Lepaskan!” jeritnya, namun Aveline pun tak berkutik ketika dua orang memegangi tubuhnya, sedangkan satu orang mengacungkan sebuah gunting besar, dan mulai menggunting pakaian Aveline dari atas ke bawah. Seketika gaunnya terbelah dua, membuat Aveline semakin menjerit histeris. Namun tak satu pun dari ketiga wanita itu yang tampak terpengaruh. Sisa harga dirinya telah tergerus dengan perlahan saat tubuhnya dibersihkan, lalu dipakaikan sebuah gaun malam berwarna merah gelap, dengan potongan d**a yang rendah dan belahan tinggi di paha. Kainnya mahal, lembut seperti sutra, dan jatuh mengikuti lekuk tubuhnya. Aveline tak lagi melawan ketika dua wanita lain mulai menyisir rambutnya, membentuknya menjadi sanggul elegan, dan mengaplikasikan riasan tipis ke wajahnya. Ia hanya diam, tak sanggup berpikir lagi. *** Dengan borgol masih membelenggu kakinya, Aveline dibimbing untuk turun dari kamar. Setiap langkah terasa menyakitkan, tapi para pelayan itu terus memeganginya dengan tenang, seolah dirinya adalah seorang putri. Putri tawanan, alih-alih putri raja. Mula-mula Aveline tak mengerti ke mana mereka membawanya, sampai akhirnya mereka melewati pintu besar di lantai dasar Mansion dan... ... sebuah helikopter hitam mewah telah menunggu di halaman depan. Udara sore menerpa wajahnya, namun itu tak cukup untuk meredakan debar yang terus memenuhi dadanya. Aveline pun dibimbing oleh pelayan saat memasuki helikopter. Ia nyaris terjatuh saat menaiki tangga menuju kabin karena langkah canggungnya dengan borgol kaki, namun untung saja para pelayan bergerak sigap menahannya. Dan di dalam helikopter... Aveline melihat Dominic. Pria itu mengenakan setelan jas hitam yang sempurna dan terlihat mahal, duduk tenang dengan satu kaki disilangkan, serta tatapan matanya yang langsung tajam menghujam pada Aveline. Sorot dinginnya mengitari tubuh wanita itu dengan ekspresi puas. “Sekarang penampilanmu tampak jauh lebih pantas untuk menjadi milikku,” cetusnya ringan. Seolah kalimat itu bukan penghinaan, tapi adalah pujian. Aveline menatapnya dengan wajahnya memerah karena amarah dan rasa malu. “Kenapa Anda memborgolku? Apa ini sebuah lelucon sadis?!” Dominic menoleh pelan, sorot matanya penuh ancaman namun tetap tenang. “Bukan lelucon, Aveline. Aku hanya memperlakukanmu dengan selayaknya seseorang yang tidak tahu batasan. Jika kamu ingin kebebasan, maka kamu harus belajar satu hal yang penting, yaitu PATUH.” Dan helikopter pun mulai mengudara membawa mereka pergi dari Mansion, serta dari satu-satunya harapan Aveline untuk melarikan diri. Angin menerpa wajahnya dari jendela kecil di sisi kabin, dan saat itu juga Aveline pun tersadar… Bahwa ia sedang dibawa menuju takdir yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN