part 1
Bel pulang sekolah baru saja berbunyi. Kayla melangkah keluar dari gerbang SMA elitnya dengan santai, tas sekolah sling di bahu, dan earphone terpasang. Mobil supir keluarganya belum terlihat.
Ia baru saja hendak menelpon, ketika dari sudut jalan muncul tiga pria bertubuh besar. Salah satunya tersenyum miring.
“Eh, Nona Kayla… lama nggak ketemu. Bos pengen ngobrol sebentar.”
Kayla merapatkan tasnya. “Gue nggak ada urusan sama kalian. Minggir.”
Tentu saja mereka tidak mundur. Satu langkah lagi dan yang bertato di leher langsung meraih tangannya. Kayla bereaksi spontan—satu kuncian cepat membuat pria itu meringis. Tapi jumlah mereka tiga, dan di trotoar sore itu tidak banyak orang yang mau ikut campur.
Kayla berlari ke arah gang kecil di samping toko kelontong, berharap bisa memutar jalan ke tempat ramai. Tapi gang itu ternyata bercabang, menurun curam, dan berujung di terminal tua. Tanpa pikir panjang, ia melompat ke sebuah bus antarkota yang mesinnya sudah menyala.
“Ke mana, Mbak?” sopir bertanya.
“Asal jalan aja, Pak. Yang penting cepat.”
Bus itu bergerak meninggalkan kota. Langit sore berubah gelap, dan Kayla tertidur karena lelah. Saat ia terbangun, bus sudah berhenti di ujung jalan tanah, di tengah kabut pegunungan. Tidak ada gedung tinggi, hanya pepohonan, sawah, dan rumah-rumah kayu.
Suara dentang bambu terdengar dari kejauhan. Ketika Kayla mengikuti sumber suara, ia melihat sekelompok orang berlatih bela diri di halaman luas. Gerakan mereka tajam, penuh tenaga.
Namun suasana berubah tegang ketika seorang pria berambut panjang menghentikan latihan dan menatapnya tajam.
“Siapa kau? Mata-mata dari Naga Hitam?”
Dan begitu saja, Kayla sadar—ia baru saja melangkah ke tempat yang sama sekali bukan dunia lamanya.
*****
Udara pegunungan menusuk dingin, tapi tatapan orang-orang di halaman padepokan jauh lebih menusuk.
Puluhan pasang mata menatap Kayla karena penampilannya terlihat aneh di mata mereka, Beberapa bahkan berbisik-bisik, menebak nebak siapa dia yang berani datang ke desa terpencil ini. Sebagian dari mereka juga saling bergumam menyebut kata mata-mata dan Naga Hitam.
Pria berambut panjang yang tadi menuduhnya maju selangkah.
“Kalau bukan mata-mata, buktikan. Tunjukkan kalau kau bukan seperti yang kami duga”
Kayla mengangkat alis. “Dan kalau aku menolak?”
Pria itu menyeringai. “Kau akan kami kirim ke hutan, sendirian.”
Suara tawa dingin terdengar dari beberapa murid.
Sebenarnya Kayla sedang tidak ingin berkelahi dengan siapapun. Tapi demi harga diri dan ia tidak tau jalan pulang.. ia mencoba meladeni tantangan pria itu.
Kayla menarik napas panjang, melepas jaketnya, dan menaruh tas di tepi halaman.
“Oke. Siapa lawanku?”
Dari kerumunan, seorang pemuda bertubuh tegap melangkah maju. Wajahnya tenang, tapi matanya tajam—ini jelas bukan petarung biasa.
“Aku, Aji. Jangan menyesal.”
Pertarungan dimulai. Aji menyerang cepat, mencoba menebas kaki Kayla dengan sapuan rendah. Kayla melompat mundur, lalu membalas dengan tendangan putar. Gerakannya halus tapi bertenaga—hasil latihan bertahun-tahun dengan ayahnya.
Sorak-sorai terdengar dari murid-murid. Aji tampak terkejut, lalu meningkatkan kecepatan. Namun di detik berikutnya, Kayla berhasil memutar tubuhnya, memanfaatkan momentum Aji untuk menjatuhkannya ke tanah dengan teknik bantingan yang rapi.
Hening. Semua menatapnya dengan tatapan baru—campuran hormat dan heran.
Guru Surya yang sedari tadi duduk mengamati, berdiri perlahan.
“Anak ini… bukan sembarang orang. Tapi keahliannya justru akan membuat Naga Hitam lebih tertarik padanya.” gumamnya pelan.
Kayla mengerutkan dahi. “Naga Hitam? Siapa mereka?”
Aji menatapnya lama, lalu berkata pelan,
“Mereka adalah musuh lama kami. Dan sayangnya… sekarang kau ada di tengah permainan mereka.”
Kayla sama sekali tidak mengerti apa maksud dari ucapan Aji. Namun ia tidak begitu mempersoalkan.. begitu pula aji dia mengira kalau Kayla adalah seorang lelaki.. karena di desa terpencil itu yang pandai ilmu bela diri adalah seorang pria.
---