bc

UNVEIL

book_age12+
364
IKUTI
1.8K
BACA
dark
reincarnation/transmigration
brave
king
tragedy
bxg
vampire
sword-and-sorcery
another world
superpower
like
intro-logo
Uraian

[ Lacoste Universe Series #1 ]

Sudah 600 tahun berlalu sejak kepergian bangsa Elf dan bangsa Vampire dari Negeri Lacoste. Kepergian kedua bangsa dengan kekuatan sihir luar biasa itu selalu menyimpan tanda tanya, mengapa dan apa alasan mereka pergi dari Lacoste? Hingga saat ini, tak pernah ada manusia yang tau alasan kepergian kedua bangsa itu.

Sebuah ramalan pun muncul tepat 2 tahun sebelum kelahiran seorang anak laki-laki yang disebut akan membawa kesejahteraan sekaligus malapetaka bagi Lacoste bernama Gerhard Alastair. Satu persatu kejadian janggal terjadi, mulai dari manusia yang berubah menjadi batu hingga kemunculan kembali seorang manusia keturunan vampire yang hidup berdampingan dengan manusia. Sampai akhirnya ditemukan kembali sebuah buku dengan nama Hamkhat de Noblessed, buku t*******g yang berisikan misteri lengkap mengenai Lacoste termasuk berbagai jawaban yang selama ini menjadi tanda tanya besar bagi kebanyakan orang.

Sebenarnya apa isi dari buku tersebut? Dan misteri apa yang disimpan di dalamnya?

© 2021 by BIANINDY.

・cover source・

❥ Firda Graphic

☘ Lacoste Universe Trilogy ☘

#1 Unveil

#2 Light Up The Darkness

#3 The One's Halfpace

✦ Update setiap Sabtu & Minggu ✦

chap-preview
Pratinjau gratis
[1] The Fool
Desa Solandis Kota Adarlan, 2001 Teriknya sinar matahari terasa hangat menyelimuti kota Adarlan. Burung-burung saling bersahutan, menghasilkan kicauan bernada yang terdengar merdu bagi para penduduk kota itu. Kota Adarlan, adalah sebuah kota industrial yang pekerjaan utama dari para penduduknya adalah seorang penambang, petani, nelayan serta pembibitan berbagai tanaman yang nantinya disalurkan kepada tiga besar kota lainnya, yakni Kota Eyelwe, Kota Wendlyn serta Kota Terassen. Hasil sumber daya alam Kota Adarlan pun terkenal paling melimpah daripada ketiga kota lainnya. Kota Terassen adalah satu-satunya Ibu Kota dari Kerajaan Odor yang masih berkuasa hingga detik ini, sedangkan Kerajaan lainnya satu persatu tumbang karena kurangnya pemasukan ekonomi serta angka korupsi yang tinggi pada sistem perpajakannya. Sedangkan Kota Wendlyn adalah Kota yang paling maju daripada ketiga kota lainnya. Baik kendaraan maupun teknologinya, selalu bersumber dari kota ini, sehingga penduduk asli Kota Wendlyn seringkali disebut sebagai orang modern dan paling disegani. Terakhir adalah Kota Eyelwe. Beberapa penduduk menyebut Kota Eyelwe adalah kota mati. Suasana di kota itu selalu gelap, minim pencahayaan dan bahkan penduduk asli kota itu dikenal paling tidak ramah, mereka tidak segan mengusir dan tidak memberikan izin kepada para pendatang. Namun, karena Kota Eyelwe adalah kota yang juga dipimpin oleh Kerajaan Odor, jadi mau tidak mau ketiga kota lainnya pun harus turut membangun perekoniman kota tersebut. Keempat kota besar tersebut berlokasi di sebuah pulau besar bernama Velassen, dengan Negeri nya yang disebut dengan Lacoste. Tuk ! Tuk ! Tuk ! Suara palu terdengar saling bersahutan di sebuah lokasi penambangan batu bara. Pekerjaan sebagai seorang penambang batu bara adalah salah satu pekerjaan dengan gaji tertinggi di Adarlan, itulah yang menjadi penyebab penduduk asli Adarlan selalu berlomba-lomba untuk memiliki keturunan laki-laki agar bisa meneruskan posisi pekerjaan sebagai seorang penambang. Tidak sembarang orang yang bisa bekerja sebagai penambang batu bara. Biasanya hanya orang-orang pilihan Raja lah yang bisa bekerja disana. Namun, umumnya lebih dicondongkan sebagai pekerjaan turun temurun penduduk Adarlan. Terik matahari sepertinya tidak pernah melunturkan semangat para penambang batu bara di sana. Berlaku pula bagi seorang pria dengan perawakan tinggi serta otot bisepnya yang masih terlihat jelas meski usianya sudah memasuki kepala tiga. Pria itu tampak menyeka keringat yang mengalir di pelipisnya. Sesekali ia menegakkan posisi tubuhnya lalu melanjutkan kembali pekerjaan yang ada di depan mata. “William!” pekik salah seorang pekerja sembari berusaha menggerakan kakinya agar melangkah lebih cepat. Pria bernama William itu pun menolehkan pandangannya. Ia bisa melihat dengan jelas orang yang baru saja memanggil namanya dari ujung jalan sedang berusaha berlari sekuat tenaga. William menyunggingkan senyumannya dan melambaikan tangan. “Aku disini,” sahut William. William meletakkan palu yang ia gunakan untuk mengambil batu bara lalu berjalan perlahan menghampiri orang yang memanggil namanya, berharap bisa meringankan jarak antara mereka. “Haah—" suara napas orang itu terdengar memburu dan begitu kencang di telinga William. “Ada apa, Nic? Kenapa kau terlihat terburu-buru sekali?” tanya William setelah sosok bernama Nico itu berhasil mencapai posisinya. “Anu—” napasnya masih terdengar memburu. William yang masih bisa mendengarnya pun menunggu di hadapan Nico sembari menyilangkan kedua tangannya di depan d**a. “Hari ini, akan ada seorang peramal yang datang ke Adarlan. Lokasinya tidak jauh dari rumahmu. Apa kau tidak mau mencoba meramal tentang kapan kau bisa memiliki anak?” tanya Nico setelah berhasil mengatur kecepatan napasnya. William terdengar berdecak, “Ck! Yang benar saja, Nico. Aku sudah berulang kali ke peramal namun tetap saja tidak ada hasil. Mereka hanya akan menjawab sebentar lagi. Namun kenyataannya, sudah sepuluh tahun aku menikah dan masih belum memiliki seorang bayi.” Nico bisa melihat dengan jelas ekspresi putus asa seorang William Alastair. Benar saja, sahabatnya itu sudah menikah dengan Sagira sejak sepuluh tahun yang lalu, namun entah mengapa mereka sulit sekali memiliki seorang anak. Sedangkan teman William yang lain, sudah lebih dulu memiliki anak yang bahkan sudah mulai bersekolah. “Apa kau tidak mau mencobanya sekali lagi? Mungkin kali ini akan membuahkan hasil,” rayu Nico. Seorang peramal di Lacoste seringkali diibaratkan sebagai sosok suci atau utusan dari langit. Mereka memiliki bakat spiritual yang jauh di atas rata-rata kebanyakan penduduk lainnya. Bahkan setiap kali sebuah kota didatangi seorang peramal, orang-orang akan dengan senang menyambutnya dan bahkan memberi jamuan yang tidak biasa. Sedangkan sang peramal yang dijamu harus mau memberikan ramalan dan membaca masa depan dari orang-orang yang memberikan jamuan terbaiknya. “Aku takut jika hasilnya sama saja. Hanya membuang-buang upah harianku saja. Bayangkan jika aku mengambil cuti sehari dan aku kehilangan bayaranku sebesar 20 wyon. Yang benar saja, Nico!” ujar William yang mulai terdengar frustasi. “Aku akan memberimu 20 wyon dan kau harus datang ke peramal itu. Entah kenapa, firasatku mengatakan baik kali ini. Aku yakin akan—” “Membuahkan hasil?” potong William. “Kau selalu berkata begitu,” sambungnya. Nico menggerakan jari telunjuknya ke kanan dan ke kiri tepat di depan wajah William. “Kali ini aku yakin. Aku juga berjanji membayarmu untuk mendatangi peramal itu, kan?” William pun mendesahkan. Ia terlihat mulai berpikir sampai akhirnya ia pun menganggukan kepala dan menyetujui tawaran dari sahabatnya itu. “Baiklah, aku akan datang ke peramal itu. Tunggu disini, aku akan mengambil paluku terlebih dahulu dan segera kembali ke sini.” William memutar tubuhnya dan berjalan menghampiri palu miliknya lalu memasukannya ke dalam saku belakang celana nya. Setelah itu, ia kembali berjalan menghampiri Nico dan bersama-sama pergi ke peramal tersebut. ***** Setibanya di sebuah kedai, Nico dan William langsung mensejajarkan diri mereka ke dalam sebuah antrian panjang. Sepertinya berita tentang hadirnya seorang peramal di Kota Adarlan sudah menyebar ke seluruh telinga penduduknya. “Antriannya panjang sekali,” gumam Nico. Seseorang yang berdiri di depan Nico pun menolehkan pandangannya dan menyahuti gumaman Nico. “Apa kau tidak tahu? Dia adalah Yuhwa. Seorang peramal terkenal dari Kota Wendlyn. Katanya, ia adalah seorang peramal terpercaya dari Raja. Ia bahkan sangat anggun,” ujar pria itu. William yang mendengarnya pun merasa gejolak semangatnya kembali bangkit. Rasa putus asa nya perlahan memudar dan dengan semangat serta tekad kuat ia meyakini hatinya bahwa peramal kali ini bisa memberikan keberuntungan dan kejelasan bagi keluarga kecilnya. Dua jam lah berlalu, satu persatu orang-orang yang diramal keluar dari dalam kedai. Beberapa di antaranya merasa sangat senang dan gembira namun tak jarang yang keluar berlinang air mata. Kini giliran Nico dan William pun tiba. Sebelum mereka masuk ke dalam kedai, Nico menyerahkan sekantung emas kepada para penjaga. Setelah penjaga itu menyetujui dengan barang yang diberikan oleh Nico, mereka pun membukakan pintu. Di ujung ruangan itu, tampak seorang wanita berambut panjang lengkap dengan sebuah hiasan kecil di atas kepalanya. Nico dan William perlahan masuk ke dalam dan mendudukan diri mereka di hadapan peramal itu. “Selamat datang,” ujar Yuhwa. Nico dan William tampak canggung, mereka hanya membalasnya dengan anggukan kepala serta senyuman pahit. “Santai saja. Aku bukan peramal tua yang kaku,” sambungnya. “Ah, ba-iklah,” jawab Nico terbata-bata. “Jadi, apa yang ingin aku ramalkan untuk kalian?” tanya Yuhwa sembari melihat William dan Nico secara bergantian. Nico pun menyikut lengan William kasar, menyuruh agar pria di sebelahnya membuka suara. “Saya William Alastair bermaksud ingin menanyakan, apakah istri saya Sagira bisa hamil dalam waktu dekat. Mengingat pernikahan saya dan—” Ucapan William segera terhenti saat ia melihat Yuhwa mengeluarkan kartu entah dari mana. Ia perlahan mulai mengkocok kartu itu sembari memejamkan mata dan mulutnya pun terus mengucapkan sesuatu seperti sebuah mantra ajaib yang akan mendatangkan keberuntungan. Beberapa saat kemudian, ia mulai meletakkan tiga kartu di atas meja secara tertutup dan meletakkan kartu sisanya di sisi lain. William dan Nico antusias melihat apa yang akan terlihat di balik kartu itu. Yuhwa membalikan ketiga kartu itu secara berurutan dan memicingkan matanya. Sesaat ia tampak menutup mulutnya dengan kedua tangannya. “Apa? Apa itu?” tanya Nico yang sudah semakin penasaran dengan arti gambar-gambar pada kartu yang ada di atas meja. Yuhwa menunjuk kartu pertama yang ia balik. Kartu itu memiliki gambar seperti seorang perempuan yang sedang menimang seorang bayi kecil. “Ini, sepertinya dalam waktu dekat istrimu akan hamil atau mungkin saja istrimu sedang hamil saat ini. Aku tidak tahu apakah ini sebuah usaha yang sia-sia karena kamu datang padaku dan bertanya kapan kamu bisa memiliki anak, namun kenyataannya istrimu tengah berbadan dua,” jelas Yuhwa. William yang mendengar itu sontak membelalakan matanya seolah tak percaya. Yuhwa pun kembali melanjutkan ramalannya ke kartu yang ada di sebelahnya. Pada kartu itu terlihat gambar seorang pria yang sedang duduk di sebuah kolam dengan banyak emas, seolah-olah pria itu sedang mandi di siang hari dengan sekolam emas. “Kau sepertinya benar-benar akan menghadapi keberuntungan, tuan. Lihatlah gambar ini, ini menjelaskan bahwa kau akan segera menikmati hidupmu dengan baik. Entah itu dengan kekayaan atau dengan kesejahteraan yang didatangkan oleh anakmu kelak.” Sebuah senyuman tampak terukir dari bibir William. Ia semakin bersemangat mendengar ramalannya yang terakhir. Namun sepertinya kartu terakhir tidak berkata demikian. Raut wajah Yuhwa berubah seketika ketika ia melihat kartu hitam. Tidak ada gambar apapun disana. Hanya sebuah warna hitam mengkilap. “Apakah kartu yang terakhir berarti baik-baik saja seperti yang sebelumnya?” tanya Nico. “Kartu terakhir ini, aku tidak tahu kenapa dia bisa keluar. Padahal aku sudah menyembunyikan kartu ini di dalam kotak dan berharap tidak akan ada kesialan besar. Namun, sepertinya ini akan menjadi takdir bagi anakmu,” jawab Yuhwa sembari melihat wajah William dan menatap mata pria itu. Yuhwa menggerakan tangannya menyentuh kartu berwarna hitam mengkilap itu lalu memajukan kartu itu ke hadapan William. “Warna hitam tidak selalu buruk, namun tidak juga pertanda baik. Hasil dari kartu ini selalu ambigu tapi selalu berdampak besar. Bisa memberikan arti kau akan beruntung sekali ataupun s**l sekali. Namun jika disandingan dengan dua kartu sebelumnya, sepertinya ini akan lebih ditujukan pada anakmu. Anakmu akan terlahir dengan keberuntungan namun juga dengan kesialan yang sepertinya akan dialami oleh dirinya sendiri.” William yang mendengar penjelasan dari Yuhwa pun langsung membelalakan matanya, “Apa maksudmu anakku akan menjadi s**l?” tanya William. “Tidak jug—” “Aku tidak akan mempercayai semua ramalanmu. Mana mungkin ramalan baik tiba-tiba saja disandingkan dengan sesuatu yang buruk?” potong William. William langsung berdiri dan meninggalkan Yuhwa serta Nico dengan kasar. “Wil!” panggil Nico namun tak ditanggapi oleh William. “Sepertinya temanku tidak bisa menerima kejadian yang akan datang untuk dirinya dan juga keluarganya. Maafkan atas sikap temanku yang kasar.” Nico segera bangkit dari duduknya dan membungkukan tubuhnya sebagai rasa tanda hormatnya. “Terima kasih,” sambung Nico. Nico pun berjalan menyusul William yang sudah lebih dulu keluar dari kedai. Yuhwa terdiam merenung melihat ketiga kartu di hadapannya. Ia pun berinisiatif membuka satu kartu lainnya dan biasanya akan menjelaskan kartu ke tiga, jika saja kartu yang ke tiga bermaksud ambigu. Saat Yuhwa membalikkan kartu keempat, ia tidak bisa menahan rasa terkejutnya. “Hah—” Tangan Yuhwa gemetar melihat kartu yang baru saja ia balik itu. Tampak sebuah gunung tumpukan manusia yang dipenuhi dengan darah serta sebuah pedang yang tertancap di puncaknya. “Kenapa dua kartu ini bisa keluar secara berurutan? Siapa sebenarnya pria tadi? Dan akan jadi apa anaknya kelak?” gumam Yuhwa. Yuhwa pun segera menyingkirkan dua kartu terakhir tadi dan membakarnya di atas meja. “Ini tidak boleh terjadi.” ***** Kedua pria itu akhirnya tiba di depan sebuah rumah kecil yang terbuat dari kayu-kayu tua. Tak ada pagar atau batas apapun di sekitar rumah itu. Hanya sebuah halaman luas dengan tanaman herba yang tumbuh lebat. William berjalan memasuki rumah itu, sesaat sebelum ia membuka pintu rumahnya, ia membalikan badannya dan melambaikan tangannya pada Nico. “Terima kasih!” ucapnya. Nico pun membalas lambaian tangan temannya. Setelah William masuk ke dalam rumahnya, Nico pun masuk ke sebuah rumah yang berada di tepat di sebrang rumah William. Posisi rumah mereka bersebrangan dan kedua pria itu pun sudah mengenal satu sama lain sejak kecil. Jadi tidak heran jika mereka terlihat sangat akrab dan santai satu sama lain. “Aku pulang,” ujar William. William berjalan masuk ke kamarnya dan menemukan istrinya sedang terduduk di tepi ranjang. “Sagira?” panggil William. Wanita yang merasa namanya dipanggil itu langsung menolehkan kepalanya. Matanya tampak berkaca-kaca. Dengan semangat ia langsung beranjak dari duduknya dan berlari menghampiri suaminya dan memeluknya dengan erat. “Ada apa, Sagira?” tanya William yang bingung dengan perlakuan istrinya yang tak biasa itu. Sagira mendongakkan kepalanya dan menatap pria tinggi di hadapanya, “Aku hamil.” Dua kata singkat yang selalu ingin didengar oleh William sejak dulu akhirnya berhasil diucapkan dengan lantang oleh wanita yang ia cintai. Mata William berkaca-kaca, ia kembali teringat dengan ramalan yang baru saja ia dapat beberapa saat yang lalu dan langsung terjadi di hadapannya. “Benarkah?” tanya William sembari menundukan tubuhnya, berusaha mensejajarkan tingginya dengan sang istri. Sagira menganggukan kepalanya dengan mantap. Ia mengeluarkan sebuah alat pendeteksi kehamilan berberntuk seperti sebuah pensil ke wajah William. “Lihatlah tanda apa itu,” ujar Sagira semangat. William melihat tanda tambah dengan jelas di sana. Ia pun langsung menggendong tubuh istrinya dengan semangat. “Aku akan menjadi ayah!” pekik William. Pria itu pun mengecup kening istrinya dengan penuh bahagia. “Terima kasih, Sagira,” ujar William. Sagira yang sama bahagianya pun hanya bisa menganggukan kepala. Tanpa terasa air mata mengalir di pipi wanita itu. Dia menangis dengan bahagia. Untuk sesaat, ia merasa dunia sedang berbaik hati pada mereka. Langit telah mengizinkan sepasang suami istri itu untuk membesarkan seorang anak. “Aku akan izin kepada atasanku untuk mengantarkanmu ke seorang tabib besok. Kita harus segera memeriksanya,” ujar William. “Oke,” jawab Sagira sembari tersenyum. Keesokan harinya, William pun mengantarkan sang istrinya untuk periksa kandungan ke seorang tabib di pusat kota. Senyuman pun terus terpancar dari sepasang suami istri itu. Penantian mereka setelah 10 tahun terbayar dengan manis.

editor-pick
Dreame-Pilihan editor

bc

Marriage Aggreement

read
86.9K
bc

FATE ; Rebirth of the princess

read
36.0K
bc

Rise from the Darkness

read
8.5K
bc

Pulau Bertatahkan Hasrat

read
639.9K
bc

Rebirth of The Queen

read
3.7K
bc

Life of An (Completed)

read
1.1M
bc

Scandal Para Ipar

read
707.9K

Pindai untuk mengunduh app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook