Syefa Yasmin

3055 Kata
---**--- Beberapa tahun yang lalu., Rumah Qomar Al-Amin, Jakarta, Indonesia., Ruang tamu., Siang hari.,             Pria berusia 59 tahun itu tampak menahan amarahnya saat putri sulungnya memberikan kabar mengejutkan yang tak pernah mereka sangka. “Jadi kau sudah hamil 2 minggu ?” Rahangnya mengeras. Sebagai seorang Ayah, Qomar Al-Amin sangat kecewa terhadap putrinya yang ternyata terjun pada dunia bebas di Negara Paman Sam, tempat dimana putrinya bekerja sejak 2 tahun lalu. Bahkan istrinya yang bernama Miranda Yasira, dia masih duduk di sofa dengan pandangan kosongnya menghadap sang putri sulung yang bernama Syefa Yasmin. Dia masih sangat syok, setelah putrinya kembali ke Indonesia dengan kabar menyahat hati.             Kabar dari putrinya yang akrab disapa Yasmin justru membuatnya menangis saat ini. “Tega sekali kamu, Yasmin.” Gumam Miranda menatap ke arah wanita yang dipanggil Yasmin oleh keluarganya.             Syefa Yasmin, dia masih diam duduk di lantai dengan kepala tertunduk ke bawah. Dia menangis dalam diam, dan tidak memperdulikan penampilannya saat ini.             Sedangkan wanita berusia 24 tahun yang juga berada disana. Dia melihat sang Kakak tampak sangat sedih dan kacau. Salma Yasmir, dia ingin sekali memeluk sang Kakak. Tapi dia sendiri juga sangat kecewa terhadap sikap sang Kakak yang melawan Ayahnya sendiri hanya demi membela pria yang menurutnya sangat tidak sopan.             Syefa, dia memberanikan diri mendongakkan wajahnya, menatap wajah sang Ayah yang sudah berdiri di ujung sana, menatapnya lekat penuh kekecewaan. “Ayah … maafkan, Yasmin …” Gumam Syefa membalas tatapan Ayahnya dengan wajah penuh luka kesedihan.             Qomar sangat kecewa terhadap putrinya. Selama ini, dia tidak pernah merasakan kekecewaan sangat mendalam meski dua putrinya melakukan kesalahan fatal.             Tapi hari ini, pengakuan besar putrinya benar-benar membuktikan kalau dirinya telah gagal menjadi seorang Ayah dan pemimpin keluarga. Dia gagal mendidik putrinya yang hidup bebas di Negara berjulukan Paman Sam. “Ayah tidak menyangka kau seperti ini, Yasmin.” Dia masih menatap putrinya dengan amarah yang sangat tertahan di dadanya. Nafas yang sangat sulit membuat dadanya naik dan turun.             Syefa menggelengkan pelan kepalanya, merunduk ke lantai. Dia kembali menitihkan air mata saat nada amarah tertahan itu terdengar di telinganya.             Sebagai seorang putri yang sangat dekat dengan Ayahnya sendiri, Syefa sangat paham dengan karakter sang Ayah. Bahkan dia tidak pernah melihat dan mendengar ucapan kasar dari Ayahnya meski mereka melakukan kesalahan fatal.             Tapi Syefa paham, dia memang sudah melakukan kesalahan yang sangat besar. Dan apa yang dia lakukan, memang harus dipertanggung jawabkan. Meski dia tahu resikonya sangat besar dan akan menentang keluarganya sendiri.             Qomar masih terus melanjutkan kalimatnya. Tidak peduli jika putrinya terus menangis. “Kau menghancurkan kepercayaan kami …” Kepala Qomar menggeleng pelan. Nada suaranya sudah terdengar pasrah.             Syefa menggelengkan pelan kepalanya. Kepalanya terdongak, dia berlutut dan menghampiri sang Ayah dengan gerakan kaki menyeret lantai. “Ayah … maafkan, Yasmin …” Dia bersujud dan hendak menyentuh kedua kaki sang Ayah. Namun tubuh besar dengan pakaian panjang tertutup itu justru mundur beberapa langkah ke belakang. “Jangan sentuh aku … aku bukan Ayahmu!” Qomar mengalihkan pandangannya ke sembarang arah. Suaranya begitu lirih. Ingin rasanya dia mendekap putrinya saat ini, namun kenyataan justru membuat hatinya seperti ditusuk sebilah pisau tajam.             Syefa menahan tangisnya dalam diam. Keningnya berkerut menahan sesak di dadanya. Kesalahan yang membuatnya terjebak. Dia tidak bisa mundur, tapi dia juga tidak bisa melawan keluarganya sendiri. “Ayah … Yasmin, mohon … maafkan, Yasmin …” Dia terus bersujud meski sang Ayah menolak untuk disentuh olehnya.             Qomar berbalik badan, menghadap ke arah taman samping rumah mereka. Dia sudah tidak sanggup melihat putrinya yang tak bisa menjaga amanah dan harga dirinya sebagai seorang Ayah.             Syefa masih terus menangis dalam diam. Dia berbalik badan dan mendekati sang Mama, menyeret kakinya di lantai. Dia terus bersujud dan bersimpuh di kaki wanita yang sangat dia sayangi itu. “Mama … Mama, maafkan Yasmin. Yasmin khilaf. Maafkan Yasmin, Ma.” Ucapnya sembari menangis dan bersimpuh, menciumi kedua tangan sang Mama.             Sebagai seorang Ibu, Miranda tentu kecewa dengan anak yang selama ini dia kandung dan dia besarkan justru memberikan aib untuk keluarga mereka. Putrinya merantau di Negeri orang dengan doa dan harapan dapat memberikan kabar baik dan membanggakan keluarga, justru memberi tinta hitam untuk mereka. “Kenapa kau lakukan ini pada kami, Yasmin …” Miranda tak kuasa menahan tangisnya lagi.             Air matanya kembali menetes, melihat kesusahan putrinya. Bahkan dia sendiri sudah takt ahu harus berbuat apa.             Apalagi putrinya tetap bersih keras meminta restu mereka untuk menikah dengan pria yang menurutnya tidak pantas dengan putrinya. Tidak bisa menghalangi kasihnya sebagai seorang Ibu, Miranda mengangkat kedua tangannya membelai puncak kepala sang putri. “Dengar, Nak … kau bisa memulai hidup barumu disini …” “Jangann kembali lagi kesana. Tinggalkan pria itu … kita bisa besarkan anakmu disini.” Gumam Miranda seraya menasehati kembali putrinya.             Syefa semakin menangis dan memeluk kedua kaki sang Ibu. “Maafkan Yasmin, Ma. Maafkan Yasmin …”             Dia terus menggelengkann pelan kepalanya seraya menolak halus keinginan sang Mama. “Yasmin memang tidak pantas menjadi putri kalian lagi.” Syefa semakin terisak dan terus menciumi kedua kaki sang Mama.             Syefa bingung harus membuat keputusan seperti apa. Dia sangat mencintai pria yang merupakan Ayah biologis dari anak yang tengah dia kandung saat ini.             Hatinya menolak untuk meninggalkan pria itu. Namun dia juga tidak ingin membantah perkataan kedua orang tuanya.             Di sisi lain, Salma menangis melihat Kakaknya seperti ini. Dia duduk di sofa sudut ruangan, dan ikut menangis. Susah baginya untuk membuka suara jika Ayah mereka sudah dalam keadaan marah seperti ini.             Qomar Al-Amin, dia merasa tidak perlu berlama-lama membuat keputusan. Tanpa berbalik badan menghadap mereka, dia kembali membuka suaranya. “Kau hanya punya dua pilihan …” “Tinggalkan pria itu, dan jangan kembali lagi kesana.” Dia menghela panjang nafasnya sebelum melanjutkan kalimatnya. “Atau kau memilih dia, mempertahankan kandunganmu. Dan kau keluar dari rumah ini.” Ucapnya tegas dengan suara tak bersahabat. Deg!             Syefa terdiam sesaat mendengar kalimat yang diucapkan oleh Ayahnya barusan. Dia sedikit mengolah kalimat Ayahnya mengenai mempertahankan kandungan.             Apakah yang dimaksud Ayahnya adalah menggugurkan bayinya. Atau mungkin dia salah menafsirkan kalimat.             Kepalanya terdongak ke atas. Dengan wajah sudah memerah dan penuh air mata, dia melihat wajah sang Mama penuh kekecewaan.             Dengan berbesar hati, Syefa membuka suaranya lagi. “Ma ? Apa Ayah memintaku untuk menggugurkan kandunganku ?” Syefa menatap lekat sang Mama. Nada bicaranya begitu getir. Hanya kepasrahan yang terdengar disana.             Miranda memejamkan kedua matanya dan terus menangis. Dia sendiri tidak tahu harus menjawabnya dengan kalimat apa. Hatinya sangat sedih melihat putri sulungnya yang berada dalam keadaan sangat sulit. “Kau, wanita pintar, Yasmin. Kau tidak perlu ragu menelaah kalimatku.” Sahut Qomar dengan nada bicara masih terdengar dingin.             Syefa menghela panjang nafasnya. Sejak 1 jam yang lalu, dia berusaha meyakinkan kedua orang tuanya bahwa pria yang dia cintai memang tulus dan berhati baik.             Dia hanya meminta restu dan tidak akan menyusahkan hidup mereka saat sudah berkeluarga kelak. Namun keluarganya justru bersih keras untuk tidak mau mendengar keinginannya.             Syefa merasa jika Ayahnya sudah sangat keterlaluan. Menyuruhnya untuk menggugurkan kandungannya yang juga calon cucu mereka meski diluar pernikahan.             Sepertinya sudah tidak ada lagi yang harus dia lakukan. Hatinya tiba-tiba nyeri mendengar perkataan Ayahnya beberapa menit lalu.             Dia beranjak dari posisi bersimpuhnya. Hingga Miranda dan Salma melihatnya bingung.             Syefa berbalik badan dan mendekati sang Ayah. Dia terus memandangi punggung tegap sang Ayah yang memakai jubah berwarna abu-abu. “Ayah …”             Belum sempat Syefa menyelesaikan kalimatnya, tangan kiri Qomar sudah terangkat seraya menyuruhnya untuk diam. Sikap Ayahnya membuat hati Syefa semakin nyeri.             Dia menghela panjang nafasnya. Dan terus melanjutkan kalimatnya. “Yasmin tidak menyangka Ayah bisa menyuruhku menggugurkan kandunganku sendiri. Padahal ini juga calon cucu kalian …”             Qomar langsung menyelanya. “Dia bukan cucuku!” sahut Qomar menentang keras. Kedua tangannya sudah tergepal sejak tadi.             Syefa tersenyum tipis. Dia sungguh tidak menyangka Ayahnya begitu keras menentang hubungan mereka dan bayi yang tengah dia kandung.             Dia pikir, sudah tidak ada harapan lagi baginya di rumah ini. “Yasmin minta maaf sudah membuat kalian malu. Yasmin janji, tidak akan pernah lagi menampakkan wajah di keluarga ini sampai kapanpun.” Ucapnya lalu melangkahkan kakinya keluar dari rumah itu.             Dia tidak tahu kenapa, dia tidak bisa menerima kalimat Ayahnya. Kalimat yang sangat membuatnya sakit hati. Dia pikir, dia harus segera kembali ke hotelnya dan mengurus tiket menuju New York hari ini juga.             Miranda langsung beranjak dari duduknya, dan mengejar putrinya. “Yasmin! Kamu mau kemana, Sayang! Kembali, Nak! Dengarkan kami dulu!” teriak Miranda ke arah luar.             Salma juga ikut keluar rumah mengejar sang Kakak yang terus berjalan menuju pagar depan rumah. “Mbak Yasmin! Mbak, jangan pergi! Dengarkan Ayah, Mbak!” “Mbak!!” Salam berteriak keras sembari mengejar sang Kakak yang berjalan sangat cepat.             Qomar turut mengejar sang putri. Jantungnya bergedup kencang, melihat putrinya benar-benar ingin meninggalkan rumah mereka. “Yasmin! Kembali ke rumah!!” “Ayah bilang kembali ke rumah sekarang juga, Yasmin!!”             Syefa tidak peduli dengan mereka. Dia terus melangkahkan kakinya keluar dari halaman rumah. “Yasmin!!” “Kau tidak akan pernah bahagia dengan pria itu, Yasmin!!”             Qomar mengejar mereka, namun dadanya tiba-tiba terasa nyeri hingga membuatnya tersungkur di halaman rumah yang dihiasi dengan bata coklat rapi. “Aahh …” Dia menyentuh dadanya, suaranya tercekat.             Miranda dan Salma menoleh ke arah belakang. “Ayah!!” “Ayah!”             Mereka berdua langsung berbalik, mendekati Qomar yang sudah tersungkur di lantai. “Kejar, Mbakmu, Salma.” Qomar tak mampu bersuara tinggi. Dadanya sangat sesak, namun pikirannya terus tertuju pada putrinya yang tak mau kembali.             Salma dihadapkan dengan situasi yang sangat sulit. Dia kembali mengejar sang Kakak yang sudah berlari menuju jalan utama. “Mbak Yasmin!!” “Mbak! Ayah pingsan!! Mbak, jangan pergi!! Jangan tinggalkan Salma!!” Salma berteriak kuat saat melihat sang Kakak mulai naik angkutan umum.             Salma menangis dan berlari sekencang-kencangnya. “Mbak Yasmin!! Jangan tinggalkan kami!!” Dia menangis melihat angkutan umum yang ditumpangi oleh Syefa sudah melaju jauh dari rumah mereka. …             Syefa sakit hati dengan ucapan sang Ayah. Dia tahu kalau mereka memanggil dan mengejarnya. Tapi dia memilih untuk tidak mau berbalik ke arah belakang lagi.             Dia juga mendengar suara terbata sang Ayah yang jatuh tersungkur di halaman rumah mereka. Tapi tekad Syefa sudah bulat untuk menjalani pilihan hidupnya.             Pilihannya untuk tetap menikah dengan pria yang sangat dia cintai. Sekaligus calon Ayah dari anak yang tengah dia kandung. Pria itu bernama Farhat Saddam. ---**--- Beberapa tahun kemudian., Althafiance Corporation, New York, USA., Ruangan Design., Sore hari.,             Syefa membuka pejaman matanya setelah dirinya mengingat kembali kejadian terakhir sebelum dia benar-benar pergi dari rumahnya. Air matanya mulai menetes. ’Maafkan Yasmin, Yah ... Ma ...’ Bathin Syefa seraya meminta maaf kepada kedua orang tuanya.             Awalnya dia sempat khawatir dengan kabar dari Salma jika Ayah mereka masuk ke ruangan ICU. Tapi setelah mendapatkan perawatan intensif, Syefa akhirnya lega jika Ayahnya sudah dalam kondisi baik-baik saja.             Dia menarik kedua tangannya ke atas, merenggangkan tubuhnya yang sudah kaku sejak tadi. ”Hahh ...”             Waktu sudah memperbolehkan seluruh pekerja Althafiance untuk kembali dari kantor. Syefa membereskan meja kerjanya. Dia mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan, beberapa pekerja lain juga tampak sibuk membereskan meja kerja mereka.             Dia sangat lelah sekali. Pikirannya saat ini terus tertuju pada pria yang sudah sah menjadi suaminya sejak 2 tahun yang lalu.             Suaminya, Farhat Saddam tidak kembali ke apartemen sejak mereka bertengkar 4 hari yang lalu. Dia tidak menyangka jika Farhat bisa setega itu pada dirinya.             Bahkan pria itu tampak bahagia saat dulu dia dinyatakan keguguran setelah 1 minggu pernikahan mereka. Dengan alasan bahwa dirinya belum siap menjadi seorang Ayah, dan Syefa harus menelan pil pahit saat Farhat mengatakan terpaksa menikahinya.             Tapi di sisi lain, Syefa merasa ini semua sudah ditakdirkan oleh Tuhan. Sebab dirinya sudah menandatangani kontrak pekerjaan dengan catatan tidak boleh menikah dan hamil sebelum 4 tahun bekerja di perusahaan Althafiance.             Setelah dia membereskan meja kerjanya, dia memutuskan kembali ke apartemennya. Tubuhnya sudah sangat lelah sekali. Fokusnya saat ini adalah mandi dan langsung tidur di kamar sederhananya. *** The Margara Apartment, New York, USA., Malam hari.,             Wajah Syefa sudah merah padam. Dia benar-benar sudah muak melihat ulah Farhat yang tidak bisa menjaga hatinya. Kedua tangannya sudah tergepal kuat.             Saat setelah sampai di apartemennya, dia justru melihat Farhat sudah berada di dalam apartemennya dengan kunci lain yang sama. Lelahnya belum hilang, tapi justru sikap Farhat membuatnya tidak habis pikir. “Kau pilih dia atau aku ?” Syefa bertanya dengan nada datar, matanya masih menatap tajam kekasih Farhat yang tidak dia ketahui namanya itu.             Farhat menyeringai dan merangkul mesra kekasihnya. “Maafkan aku, Syefa. Aku tidak bisa melanjutkan rumah tangga bersama denganmu lagi. Dan tentu saja, aku memilih dia.” Balasnya sembari menatap Syefa yang terlihat kecewa.             Syefa menghela panjang nafasnya. Dia berjalan menuju pintu apartemennya, lalu membukanya. “Kalau begitu, silahkan keluar dari apartemenku. Dan aku akan melanjutkan gugatan ceraiku.” Ucapnya tanpa melihat ke arah Farhat.             Farhat menggandeng tangan kekasihnya dan mengajaknya keluar dari sana. “Ayo, Sayang. Kita keluar dari sini. Lagi pula, tidak ada barang berharga yang bisa aku bawa dari sini.” Ucapnya lalu mengecup singkat bibir kekasihnya.             Syefa sangat jijik mendengarnya. Namun, dia berusaha untuk mendiamkan bibirnya saja.             Setelah Farhat dan kekasihnya pergi dari apartemennya. Dia menutup kasar pintu itu, dan menjerit sekuat-kuatnya. “Aaahhkkk!!” “Kenapa kau tega sekali padaku, Farhat!!”             Syefa menjerit dan menangis, dia terduduk di lantai. Dadanya sungguh sesak. Dia tidak menyangka jika Farhat benar-benar tidak berubah dan sangat ingin berpisah dengannya.             Tidak lama berselang waktu, tiba-tiba perutnya sangat sakit sekali. “Ssshhh …”             Kepalanya juga terasa pusing. Entah kenapa, dia merasa perlu ke Rumah Sakit sekarang. Dia tidak ingin pingsan di apartemen seorang diri.             Tanpa mengganti pakaian kerja bermotif khas Althafiance yang tengah dia pakai, Syefa langsung bergegas turun ke lantai bawah. Dia memesan taksi, dan langsung berangkat ke Rumah Sakit saat itu juga. ..**..             Syefa Yasmin, wanita berusia 30 tahun berkebangsaan Indonesia. Dia merantau ke Negeri Paman Sam karena diterima bekerja di salah satu perusahaan asing ternama, Althafiance Corporation sebagai karyawan di bagian design.             Sebelumnya, Syefa merupakan wanita penurut dan sangat menyayangi keluarganya. Tapi sejak dirinya menetap di New York, pergaulan bebasnya mempertemukan dirinya dengan pria bernama Farhat Saddam. Pria yang saat itu sudah menghamili dirinya sekaligus pria yang ditentang oleh keluarganya. Tapi saat itu, Syefa justru lebih memilih Farhat dari pada keluarganya sendiri. Karena dia memikirkan bayi yang tengah dia kandung. Tidak peduli dengan nasibnya di mata keluarganya sendiri, Syefa menikah dengan Farhat tanpa perwakilan dari keluarganya. Harapan penuhnya saat itu telah diserahkan oleh Farhat. Namun, sangat disayangkan sikap Farhat berubah sejak 1 minggu pernikahan mereka. Hingga mereka sering bertengkar karena masalah ekonomi.             Pertengkaran mereka membuat Farhat terang-terangan menunjukkan kekasih barunya. Hal itu membuat Syefa syok, dan akhirnya dia jatuh pingsan.             Farhat melarikan Syefa ke Rumah Sakit saat itu juga. Dokter menyatakan bahwa kandungannya tidak bisa diselamatkan.             Ekspresi bahagia Farhat membuat Syefa sangat sedih. Syefa meminta penjelasan atas sikap Farhat padanya. Namun tidak ada penjelasan berarti dari bibir Farhat.             Akhirnya Syefa mantap untuk menggugat cerai Farhat. Dia merasa bahwa perjuangannya telah sia-sia.             Tapi setelah beberapa hari gugatan cerai itu diserahkan ke pengadilan, Farhat meminta rujuk kembali. Syefa sempat memikirkan hal itu.             Farhat tampak memohon dan bersujud di kaki Syefa, hingga akhirnya Syefa luluh dan memberikan kesempatan kedua untuk Farhat.             Mereka kembali tinggal bersama. Hingga 2 tahun kemudian, Farhat masih terus melakukan kesalahan yang sama.             Dia terus saja berselingkuh di belakang Syefa. Bahkan sampai Syefa sendiri sudah lelah dan ingin mengakhiri ikatan rumah tangga mereka.             Syefa merasa jika Farhat memiliki penyakit yang tidak akan pulih sampai kapanpun. Apalagi dia berani membawa kekasih barunya yang lain ke apartemennya.             Mungkin perceraian adalah jalan satu-satunya untuk hubungan mereka. Syefa ingin hidup tenang dan tidak terusik lagi dengan Farhat yang sangat suka menghabiskan uangnya. *** Presbyterian New York Hospital of Columbia and Cornell, New York, USA., Ruangan Obgyn., Malam hari.,             Syefa terdiam saat mendengar kalimat pertama yang dilontarkan oleh wanita paruh baya yang berprofesi sebagai Dokter ahli kandungan itu. “Yah, Nyonya Syefa. Anda tengah hamil. Dan kandungan Anda sudah memasuki usia 2 bulan.” Ucap Dokter paruh baya itu padanya. Pandangannya kosong menatap Dokter itu. Dia sudah menyiapkan segala berkas perceraian antara dirinya dengan Farhat. Haruskah gugatan itu diurungkan kembali demi bayi yang tengah dia kandung, pikirnya bertanya seorang diri.             Tidak hanya itu, posisinya di Althafiance juga belum bekerja sampai 4 tahun lamanya. Selama ini, dia berusaha menyembunyikan identitasnya sebagai seorang istri dari Farhat. Tapi kalau dia hamil, apakah dia bisa menyembunyikan perutnya yang pasti akan membesar dengan seiring berjalannya waktu.             Dokter itu kembali melanjutkan kalimatnya. “Tapi, Nyonya Syefa … ada 1 hal penting yang harus saya sampaikan ...”             Nada bicara Dokter itu benar-benar membuat jantung Syefa berdetak tidak karuan. “Apa itu, Dokter ?” Syefa berusaha untuk menetralkan suasana hatinya yang masih sangat kacau. Dia terus memegang perutnya.             Dokter itu tampak menghela panjang nafasnya. “Nyonya … maaf jika saya harus mengatakan hal ini …” “Kondisi bayi Anda tidak normal …” Deg!             Syefa tertegun mendengarnya. “Anda punya 2 pilihan dalam hal ini. Menggugurkannya atau Anda mau mempertahankannya dengan persentase 85%, bayi Anda akan terlahir dengan cacat fisik …” Deg!             Air mata Syefa menetes saat itu juga. Dia hanya bisa diam, tubuhnya menjadi sangat lemas sekali. “Anda diizinkan untuk menggugurkan bayi Anda, karena resiko yang akan terjadi. Tapi pilihan ada di tangan Anda, Nyonya Syefa.” Dokter itu tersenyum tipis padanya. … Koridor utama.,             Setelah selesai membahas segala hal mengenai kandungannya. Syefa memilih untuk istirahat sejenak di koridor utama Rumah Sakit yang dikhususkan untuk ruangan Obgyn. Dia duduk sembari menyandarkan kepalanya disana, kedua tangannya mengelus pelan perutnya. ‘Mama tidak mau mengulang kesalahan yang sama, Sayang. Mama sudah membuat banyak kesalahan …’ ‘Kali ini, Mama tidak mau melakukan kesalahan besar lagi.’ Bathinnya seraya berbicara pada bayi yang tengah dia kandung. …             Lama Syefa duduk disana, hingga seorang pria berjalan tergesa-gesa menuju lift pribadi yang ada disana. Dia melewati koridor yang searah dengan ruangan Obgyn. Pria itu mengernyitkan keningnya kala melihat wanita yang duduk disana, memakai seragam Althafiance. Langkahnya sedikit melambat. ‘Wajahnya tidak asing.’ Bathin pria itu dari kejauhan. “Tuan Gaza, Nyonya Ayra menyuruh Anda untuk segera ke ruangan. Karena Nyonya Abraham terus memanggil nama Anda.” Suara pria itu menyadarkan lamunan Bossnya.             Dia tersadar, dan kembali melangkah lebar menuju lift yang sudah terbuka untuknya. * * Novel By : Msdyayu (Akun Dreame/Innovel, IG, sss)
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN