Dua

814 Kata
Anara berkali-kali mengembuskan napasnya lelah, ia menatap bayangan dirinya dalam cermin. Percakapan tadi mengusik pikirannya. "Kalau laki-laki, menikah diusia 35 tahun itu, semakin matang. Kalau perempuan menikah diusia 35 tahun, bukan matang lagi. Malahan sudah jadi layu saking lamanya." Setetes air bening itu terlihat dari sudut mata indahnya, siapa yang mau jadi perawan tua? Batinnya menjerit. Semua yang terjadi dalam hidupnya tidak masuk dalam mimpinya waktu remaja, ia juga tidak ingin seperti ini. Dia terlalu sering menanggung malu. Pertama, dirinya ditinggalkan begitu saja saat pernikahan akan berlangsung kurang dari satu minggu lagi. Kedua, tidak lama dari itu, Kiara melangkahinya menikah dengan kekasih hati. Dan yang ketiga, dirinya harus menerima bermacam cibiran dan hinaan menyandang predikat perawan tua. "Ana?" ketukan pintu membuatnya tersadar dari lamunan. Anara tergesa mengusap matanya, kemudian menarik napas dalam-dalam sebelum akhirnya melangkah membukakan pintu. "Ada apa, Ma?" Mata Mamanya memicing menatapnya penuh selidik. "Kamu menangis?" "Nggak, Ma." "Terus kenapa?" Seketika Anara memutar bola matanya mencari alasan. "Nggak kenapa-kenapa, kok, Ma. Ana cuman kelilipan," jawabnya kikuk. "Jangan coba membohongi Mama, Mama tahu kamu nangis," tukas mama-nya kemudian melangkah masuk ke kamarnya. Kamar sederhana yang didominasi warna putih dan cokelat sentuhan dari kursi, meja, dan juga meja riasnya. Anara tidak memiliki warna favorit, dia hanya memilih apa yang memang dia inginkan, bukan yang dia sukai. "Ana nggak berbohong, Ma," kukuhnya menyusul sang mama ke dalam. "Ana cuman kelilipan." "Ya, ya. Mama percaya." Anara mendesah pelan. "Siapa yang jaga Abah di rumah sakit?" "Prakasa, dia minta Mama buat istirahat di rumah dan biar dia yang jaga malam ini." Anara duduk di tepi tempat tidur. "Padahal Mama bisa telepon Ana buat gantian jaga, nggak usah merepotkan Prakasa." Mamanya mengedik. "Kenapa? Bukannya Prakasa juga sama udah seperti anak Mama sama Abah," jawab sang mama sembari menatapnya lekat penuh maksud. Anara seketika berdiri. "Aku tetap nggak bisa memenuhi permintaan Abah, Ma." "Ana," sebuah usapan hangat, bertengger di bahunya. Anara berbalik, menatap Mamanya memelas. "Prakasa masih mencintai Kiara, kita tahu itu. Kita nggak bisa memaksakan kehendak, Ma," pintanya memelas. "Kiara sudah nggak ada. Kalian butuh membuka diri. Coba jalani dulu, Ana. Jangan menolak sebelum kamu mencoba," "Ma," "Mama baru selesai masak, kita makan malam terus antar makanan buat Prakasa sama Abah." Anara kembali mendesah gusar, ia hanya bisa mengangguk, sembari tersenyum lesu. Percuma. Orangtuanya tidak akan mendengarnya. *** Prakasa tengah memeriksa laporan di laptop, sesekali keningnya mengerenyit membaca berkas digital tersebut. "Sibuk, Sa?" Prakasa seketika mengangkat pandangannya, menatap lekat mertuanya. "Nggak terlalu, Bah. Kenapa? Abah perlu sesuatu?" tadinya, ia membawa pekerjaan ke rumah sakit untuk mengurangi kejenuhan. Abah menggeleng, tersenyum tipis. "Abah sudah lama nggak kerja kantoran," ucapnya menerawang. Prakasa tersenyum simpul, menutup laptopnya, kemudian mendekat pada Abah. "Abah, kan, sudah sepuh, memang lebih baik banyak istirahat." Abah mengangguk. "Bagaimana? Apa Anara sudah menerima?" Prakasa tersenyum menyesal. "Anara menolak, Bah. Saya juga nggak bisa memaksa dia untuk menyetujui keinginan Abah." Meski belum mencapai kata sepakat, tapi ia bisa menyimpulkan kalau Mbak iparnya itu menolak. "Saya yakin, jodoh Mbak Anara masih pending, tinggal kita bersabar saja, Bah," ucapnya berusaha menghibur ayah mertuanya. "Abah nggak minta macam-macam, cuma minta Anara menikah. Itu saja. " Helaan napas lelah terdengar. "Abah menyesal kenapa Abah punya sifat keras kepala, sekarang lihat, putri Abah sendiri yang keras kepalanya melebihi Abah," keluh Abah murung. Prakasa menggaruk kepalanya yang tak gatal, sedikit berpikir tentang sifat yang menurun. Memang sifat bisa menurun? Batinnya bertanya-tanya. "Sifat nggak mungkin menurun, kembali pada orangnya. Maksud Abah di sini itu balasan atas sifat dan sikap Abah di masa lalu," jelas beliau seolah mengerti kebingungan Prakasa. "Ah, kalau maksudnya seperti itu saya mengerti, Bah. Abah bukan keras kepala, tapi Abah tegas. Saya salut sama ketegasan Abah," pujinya yang hanya dijawab dengan senyum hampa. "Anara itu putri sulung Abah, dia banyak menutup diri setelah kejadian tragis waktu lalu." "Tragedi dimana Mbak Anara ditinggalkan calon suaminya?" tebak Prakasa yang langsung diangguki oleh beliau. "Abah salah, Abah terlalu mengekang Anara, sedangkan pada Kiara? Abah membebaskan pilihannya. Dulu, Abah terlalu awam mendidik seorang anak dan jatuhnya malah membentuk kepribadian Anara yang sekarang. Abah menyesal," ungkapnya menunduk dalam. Prakasa bisa menangkap jelas dari sorot mata ayah mertuanya penuh rasa bersalah dan penyesalan. Dulu, Kiara tidak terlalu banyak menceritakan tentang Anara, kelihatan juga dari cara Anara berkomunikasi sangat kaku. "Semua sudah berlalu, Bah. Nggak seharusnya menjadi beban pikiran Abah." Beliau menggeleng. "Justru semua ini menghantui Abah, Sa. Abah yang dengan teganya membuat Anara seperti sekarang. Maka dari itu, Abah meminta bantuan kamu buat meluluhkan hati Anara." Prakasa terenyuh, menatap sendu ayah mertuanya. "Saya akan mengusahakan yang terbaik, Bah. Meski saya nggak yakin penerimaan Anara akan bagus atau malah sebaliknya. Sekarang Abah jangan pikirkan apa-apa dulu, ya? Mengingat, pikiran Abah bisa meningkatkan tekanan darah dan nanti larinya ke jantung Abah bereaksi lagi." "Kamu mau berjanji buat bantu Abah, Sa?" Prakasa diam, menatap lekat ayah mertuanya. Tersenyum paksa, Prakasa mengangguk pelan. "Saya nggak bisa janji, Bah. Tapi, saya akan berusaha."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN