"Hei ... hei ... bengong mulu." Anara mengangkat pandangannya, tersenyum tipis membalas sapaan sahabatnya, Siren. "Mikirin apaan sih, An?" Anara menggeleng pelan, kembali mengaduk jus alpukatnya. "Lo kayak lagi banyak beban gitu. Kelihatan soalnya dari mata lo."
"Nggak ada mikirin apa-apa kok," jawabnya setelah sekian lama diam. "Gimana sama Gilang? Sudah sehat?" Siren sudah menikah, sudah mempunyai dua anak. Gilang adalah anak pertama Siren yang berusia 8 tahun. Berbeda dengan dirinya yang masih betah menyendiri.
Siren mengangkat bahu ringan, duduk di hadapan sahabatnya, menatap lekat Anara. Anara itu bisa dikategorikan wanita cantik, tetapi entah kenapa sampai detik ini belum ada lelaki yang benar-benar ingin meminang Anara. Anara juga terlalu sibuk dengan karirnya, mengingat sekarang sedang menjabat sebagai General Manajer di Perusahaan tempat mereka bekerja.
"Gilang sudah sehat. Kebiasaan lo tuh suka mengalihkan pembicaraan," cibirnya.
Anara tersenyum tipis. "Serius, gue nggak apa-apa, cuma dua hari yang lalu Abah masuk rumah sakit, sampai sekarang masih dirawat juga," jelasnya masih menyempilkan sebuah senyuman. Sebenarnya, bukan itu yang ia pikirkan. Namun tentang permintaan Abahnya dan keteguhan Prakasa yang mau menikahinya.
Mata Siren memicing sebelum akhirnya mengembuskan napas pelan. "Lo nggak bisa membohongi gue, An. Gue tahu lo, ya... meski kadang lo sok-sok'an misterius. Gila nggak sih," keluhnya memasang raut wajah sendu.
Anara menggeleng pelan, merunduk sedikit menyedot jusnya. "Lo-nya saja yang lebay, orang nggak apa-apa juga."
"Eleh, bohong banget lo. Gue aduin Roy Kinoshi biar diterawang, mampus lo."
"Tadinya, gue turun ke kantin itu mau menenangkan pikiran. Datang lo malah jadi tambah kusut pikiran gue," gerutu Anara kemudian tersenyum geli.
"Makanya, cari pasangan lah, An. Jangan terlalu betah sendiri. Perempuan juga punya batasan, loh. Maaf, bukan gue mau ngejudge lo. Gue hanya menyarankan sebagai sahabat lo."
Anara mengangguk paham. "Nggak masalah sih, memang iya faktanya gue perawan tua," kekehnya sumbang. "Sudah lah, teraktir gue sekarang," tukas Anara mengalihkan pembicaraan.
Siren menatap lekat sahabatnya, sebelum akhirnya mengembuskan napas pelan. Terkadang dirinya miris melihat Anara yang terus menyendiri dan selalu dijadikan bahan gosip di kantor mereka kalau salah satu karyawan mereka ada yang menikah.
Anara juga sangat bodo amatan, tapi namanya juga manusia. Pasti akan ada rasa sakit hati kalau mendengar langsung gelar yang disematkan oleh karyawan kantor.
"Enak saja. Ada juga elo yang harusnya teraktir gue, orang elo lebih gede duitnya daripada gue."
Anara tersenyum. "Sekali-kali lah dibayarin sama elo." tidak ada cara lain mengalihkan pikirannya hanya dengan makan atau merenung. Anara masih sedikit pening memikirkan nasibnya ke depan.
***
Jam kantor sudah selesai, Anara masih sibuk berkutat dengan laptop kesayangannya. Keningnya kadang mengerenyit, kadang ia menggigit ibu jarinya, atau kadang mengetuk meja dengan jari telunjuknya. Anara memang perfect dalam menuntaskan pekerjaannya. Baginya, kantor adalah rumah keduanya.
Sebuah ketukan terdengar dari pintu ruangannya yang terbuat dari kaca, fokus Anara beralih. Ia mendongak menatap pintu kaca transparan itu. "An, balik duluan," pamit Siren yang hanya dibalas dengan acungan jempol. Sosok Siren mulai menghilang, Anara kembali fokus pada pekerjaannya.
Di tempat lain, Prakasa memarkirkan mobil di basement kantor Anara. Prakasa harus segera memulai pendekatan mereka. Lebih cepat lebih baik. Ia juga sengaja tidak memberitahu Anara terlebih dahulu kalau dirinya akan menjemput, karena mobil Anara belum selesai diperbaiki. Kesempatan bagus.
Prakasa keluar dari mobil, ia menatap sekitar terlebih dahulu sebelum akhirnya mulai melangkah. Prakasa sudah bisa membayangkan bagaimana wajah Anara saat melihatnya menjemput Anara.
Prakasa memasuki lift, menekan lantai 10 tempat dimana ruangan Anara berada. Dadanya berdebar tidak karuan, bukan karena rasa cinta, melainkan sekelebat rasa bersalah memaksa Anara menikah dengannya tanpa akan ada rasa nantinya. Mau bagaimana lagi? Toh semuanya juga demi kebaikan Anara, mertuanya dan juga... Tidak ada.
Sesampainya di lantai sepuluh, ketukan langkah sepatu terdengar mengisi kesunyian koridor kantor yang memang sudah sepi. Ada beberapa lampu yang masih menyala, mungkin karyawan yang lembur.
Prakasa terdiam beberapa meter dari pintu kaca itu, menatap pintu kaca yang bisa langsung melihat ke dalam. Prakasa melipat tangan di d**a menatap Anara dengan tatapan yang sulit diartikan. Anara terlihat semakin cantik bila sedang serius seperti itu. Tanpa sadar Prakasa mengambil gawai-nya, lalu menghubungi nomor Anara.
"Ya?"
"Di mana, An?" sejak memutuskan untuk maju, Prakasa memang sudah tidak menggunakan embel-embel Mbak.
"Masih di kantor, kenapa?"
Prakasa tersenyum tipis saat mendengar suara datar Anara. "Aku jemput?" dan satu hal lagi, Prakasa mulai merubah memanggil dirinya saya menjadi aku, bertujuan untuk mengikis jarak tak terlihat antara mereka.
"Nggak usah. Aku bisa naik taksi."
"Yakin?" Prakasa masih betah berdiri di sana dan Anara belum menyadari kehadirannya.
"Ya."
"Bisa tolong lihat keluar dulu?"
Seketika Anara mengangkat pandangannya, terpaku melihat Prakasa yang berdiri di luar sana tersenyum tipis. Sebelah alis rapi Anara naik, ia mendengkus membuang padangannnya ke lain arah. Tidak, jangan tergoda.