Suasana dalam mobil begitu hening, Prakasa sibuk menyetir, sedangkan Anara sibuk dengan pikirannya sendiri. Setelah kedatangan tiba-tiba Prakasa, Anara terpaksa menutup pekerjaannya, kemudian membereskan semua barang-barangnya untuk dibawa pulang. Tidak. Kejutan itu tidak akan mempan meluluhkan keras hatinya. "Mau makan dulu di mana?" Anara melirik Prakasa sekilas sebelum akhirnya mengangkat bahu tak peduli. Dilihat dari samping saja Prakasa tampak memukau, tetapi sekali lagi. Ia tak akan tergoda. Tidak akan pernah.
"Kita makan di kafe cepat saji saja bagaimana?"
"Aku sudah makan," jawab Anara singkat setelah sekian lama bungkam.
Prakasa tersenyum tipis. "Kamu nggak perlu sekaku itu, An," ujar Prakasa dengan nada rendah.
Anara menoleh, menatap lekat Prakasa. "Aku nggak kaku," bantahnya tak terima. Anara kemudian membuang pandangan ke lain arah. "Mungkin itu cuma perasaan kamu saja."
Kekehan pelan lolos dari bibir tebal Prakasa. "Bukan perasaan, lebih ke gestur tubuh kamu kaku banget," pungkas Prakasa tenang. "Aku nggak makan perempuan, kok," canda Prakasa garing.
Anara memutar bola mata jengah, melipat tangan di d**a, bersikap abai. Prkasa menyadari itu, ia hanya bisa menghela napas, menggeleng tak habis pikir ada wanita sekaku dan sedingin Anara. Suasana mendadak hening lagi, keduanya memilih diam daripada ujung-ujungnya berdebat tidak jelas.
***
Mobil Prakasa sudah terparkir di halaman kafe cepat saji, Prakasa membuka seftybeltnya. Ia tersenyum tipis menunjukkan lesung pipinya. "Ayo."
"Aku sudah kenyang, kalau kamu mau makan, silakan. Pesan buat dibawa pulang saja." Anara menolak lagi, memilih memainkan gawai-nya.
Sebelah alis Prakasa naik, memperhatikan Anara. "Jangan terlalu tinggi punya gengsi, mengingat gengsi nggak akan buat kamu kenyang," ucapnya dengan nada tenang. "Mulut kamu boleh bilang sudah kenyang, tapi aku yakin perut kamu nggak sekenyang mulut kamu, An," tambahnya dengan nada penuh peringatan.
Anara mendengkus, seketika menatap tajam Prakasa. "Aku pikir di sini nggak ada Abah atau Mama, Sa. Jadi kamu nggak perlu berakting atau apalah itu sejenisnya," ketusnya.
"Siapa yang berakting?"
"Kamu!" tunjuknya, "kamu melakukan semua ini buat Abah, kan? Dan sekarang Abah nggak lihat kita, nggak perlu pura-pura."
Prakasa merubah duduknya menghadap Anara. "Kenapa kamu keras kepala banget sih, An?" Lama-lama batas kesabarannya bisa habis menghadapi wanita jenis Anara.
"Aku yakin kamu pasti sudah tahu karakterku," sahutnya menggeram rendah.
"Tapi, aku nggak tahu karakter kamu sekeras ini. Batu juga kalah kerasnya," cibirnya, "apa salahnya mencoba? Oke, katakanlah semua ini karena Abah, tapi, kamu sadar nggak, sih, kalau Abah itu cuma jalan yang Tuhan ciptakan buat kita supaya bisa dekat."
Anara menatap Prakasa menyalak. "Aku tegas menolak karena pertama, aku lebih tua dari kamu. Kedua, karir aku lebih tinggi dari kamu. Dan ketiga, kamu itu adik ipar aku, Sa. Kamu masih mencintai Kiara, aku tahu," sela Anara, kemudian mendesah gusar. "Aku nggak mau kalau sampai Abah mengharapkan lebih dengan hubungan nggak jelas ini."
"An," Prakasa meraih jemari Anara, menggenggamnya erat. "Kamu lupa siapa kamu?" pertanyaan Prakasa sukses membuat kening Anara mengerenyit tak mengerti. "Kamu lupa sama kodrat kamu. Kamu itu perempuan, An." Netra cokelat gelap Prakasa berhasil menembus netra cokelat terang Anara. "Setangguh apa pun kamu, sehebat apa pun kamu, kamu tetap butuh pendamping. Kamu nggak bisa terus sendiri. Kamu perempuan yang pasti membutuhkan sandaran, An."
Pandangan Anara mengabur, seketika mengalihkan pandangannya ke lain arah, enggan menatap Prakasa terlalu lama. Apa yang dikatakan Prakasa memang benar, tapi, bukan berarti harus dengan Prakasa juga. Batinnya menjerit. "Tapi nggak harus sama kamu, Sa."
Genggaman Prakasa mengerat. "Kenapa? Kenapa nggak harus sama aku?" Prakasa balik bertanya.
Anara kembali menatap Prakasa dengan linangan air mata. "Kamu lelaki yang mencintai adikku dengan tulus, kamu lelaki yang membuat adikku berbunga-bunga. Kamu juga cinta sejati adikku. Dan aku nggak mau mengulang semuanya. Aku nggak mau menjadi bayangan Kiara. Aku lelah dan sudah bosan bila terus menjadi bayangan Kiara," isaknya kecil.
Prakasa terenyuh, untuk pertama kalinya ia melihat Anara meneteskan air mata. Menangis, nyaris terisak. "Nggak akan ada yang menjadi bayangan di sini."
Anara menatap Prakasa serius. "Ada. Karena ini bukan pilihan kamu, ini sebuah keterpakasaan. Dan aku jelas menolaknya."
"Nggak ada salahnya Naik Ranjang," Prakasa masih bersikeras.
"Ya. Memang nggak ada salahnya, tapi yang salah di sini adalah bukan hati kamu yang memilih dan aku nggak mau gagal untuk kesekian kalinya. Kita bisa jelaskan sama Abah baik-baik kalau kita memang nggak bisa menikah. Aku lebih baik jadi perawan tua daripada harus hidup dalam bayang-bayang Kiara. Jujur sama hati kamu, Sa. Kalau kamu memang masih mencintai Kiara, bahkan sangat mencintai Kiara. Jangan bohongi hati kamu hanya demi kepuasan Abah, karena di sini kita yang menjalani. Bukan mereka."