"Ana tetap nggak akan mau menikah dengan Prakasa, Bah," tolaknya tegas setelah rundingan keluarga yang ujung-ujungnya tetap bermaksud sama.
"Apa salahnya menuruti Abah? Orang tua nggak mungkin menyesatkan anaknya, Anara!" balas Abah dengan nada bicara lebih tinggi dari Anara. "Kamu itu sudah tua, Anara. Kamu butuh pendamping," lanjutnya dengan suara kepayahan.
Anara menghela napas panjang, memalingkan wajah, menahan laju air matanya. "Ana akan mencari lelaki untuk menikahi Anara, Abah nggak usah khawatir," yakinnya dengan suara menahan getaran.
"Kamu itu keras kepala! Kamu nggak sadar-sadar juga kenapa Abah begitu kehilangan Kiara waktu itu? Karena Kiara lebih baik dari kamu!"
Mata Anara terpejam, setitik air mata lolos dari sudut matanya. Ia menahan napas, mengkilah desiran pedih dalam dadanya. Menjadi bayangan itu adalah hal paling mengerikan yang pernah ia rasakan.
Dibanding-bandingkan, ditekan, dan harus mematuhi segala aturan menghadirkan trauma dalam dirinya. Tidak ada celah untuknya mencurahkan semua keluh kesah pada kedua orangtuanya. Sakit? Tentu saja. Bila dilihat dari luar, Anara tampak tegas dan dingin seolah menangis dan kerapuhan tidak pernah masuk dalam kamus hidupnya. Padahal, Anara selalu bertemankan air mata. Dari sejak dirinya menyandang status seorang Kakak.
"Ana nggak bisa menuruti permintaan Abah kali ini," lirihnya menunduk dalam. "Ana akui, Ana nggak sebaik Kiara. Anara sadar," rintihnya pilu.
"An,"
Anara mengangkat pandangannya, menatap mama-nya lekat. "Apa pun yang Ana lakukan selalu salah kan, Ma? Jadi, bukan masalah kalau sekarang Ana membantah," ucapnya sembari tersenyum getir.
"Kamu terlalu berlebihan, An. Abah baru saja keluar dari rumah sakit dan kamu malah membuat Abah harus masuk ke rumah sakit lagi. Tega kamu, An?"
Mata bulat Anara beralih menatap Abahnya lekat. "Nggak, Bah. Ana nggak pernah mau Abah masuk rumah sakit lagi," jawabnya pelan. "Ana cuman nggak bisa memenuhi permintaan Abah," kukuhnya.
Sebuah gebrakan, membuat Anara berjengit, kemudian memejamkan matanya. Hatinya bergetar terasa menyakitkan, membuatnya ingin segera berlari menangis di kamarnya dan berteriak bahwa orangtuanya tidak pernah tahu apa yang menimpanya selama ini.
"Abah," tegur mama pelan.
"Kamu cuma memikirkan perasaan kamu, tanpa memikirkan perasaan Abah sama Mama?! Kamu terlalu bersikap abai, Ana! Usia kamu sudah kepala tiga, ingat omongan tetangga lebih perih dari sayatan pisau."
Senyum getir tersumir dari bibirnya. "Nggak akan ada yang mati karena omongan tetangga, Bah."
"Ada!" bentaknya sembari melotot. "Mati karena depresi!"
Tidak akan adakah rangkulan di sini? Tidak akan adakah belaian kasih sayang dan ucapan menenangkan di sini? Batinnya meraung kesakitan.
"Kalau Abah keberatan dan juga malu punya anak perawan tua, Ana bisa pergi sejauh mungkin dari Kota ini."
"ANARA!"
"Abah!" Anara beranjak segera menghampiri Abahnya yang terduduk lemas di sofa sembari memegangi dadanya. "Abah,"
"An, Mama sering bilang, jangan gunakan mulut kamu untuk mendebat orangtua. Apa susahnya menurut saja?" Anara seketika menatap mama-nya terluka. "Bukan kami nggak memedulikan perasaan kamu. Justru kami sangat memedulikan kamu, An."
"Maaf, Ma."
"Kamu istirahat saja, biar Abah juga istirahat. Ayo, Bah."
Anara segera menyingkir, terduduk lesu di sofa menundukkan kepalanya sehingga rambutnya terurai berantakan. Tetesan demi tetesan air mata lolos begitu saja, ia tak sanggup lagi membendung. Anara kalah, ia menangis tertahan.
***
Kening Prakasa mengerenyit heran setelah menjawab telepon dari Anara yang memintanya datang ke pantai. Mata tajamnya milirik jam dinding yang sudah menunjukkan pukul 8 malam. Ia segera memakai jaketnya, kemudian meraih kunci mobil, tergesa keluar dari ruang kerjanya. Ada apa dengan Anara? Suaranya terdengar sengau seperti habis menangis.
Sesampainya di pintu depan, Prakasa dihadang gadis yang sudah ia anggap sebagai anaknya sendiri. "Ada apa, Sya? Tumben malam-malam ke rumah, Om?" lagi, kebingungan Prakasa bertambah.
Natasya menyengir lebar penuh maksud, membuat Prakasa memutar bola matanya malas. "Jangan bilang mau numpang berantem di ruang olahraga, Om?" tebaknya yang langsung diangguki oleh Natasya. "Bunda tahu?" tanyanya yang digelengi oleh Natasya. "Na-"
"Sstttt..." jari telunjuk Natasya menempel di bibirnya sendiri. "Ayah nanti menyusul, Om Prakas jangan berisik."
Prakasa menepuk keningnya, Bapak dan Anak sama-sama suka merepotkan. Natasya dan Rayhan setiap malam tertentu suka menggunakan ruang olaharagnya untuk berlatih bela diri. "Terus uang sewanya?" tangan Prakasa terulur.
Bibir Natasya mengerucut. "Pelit banget, Om," cibirinya sembari mendelik.
Prakasa terkekeh pelan, mengacak gemas rambut Natasya. "Ya sudah, pakai saja. Bilang sama Ayah, kali ini Om nggak bisa menemani karena harus keluar," jelasnya. Memang biasanya, ia selalu bertanding dengan sahabatnya itu sebagai contoh langsung untuk Natasya, dan Natasya akan praktikan bersamanya atau bersama ayah-nya.
"Om mau ke mana? Tumben."
"Om ada urusan, Sya."
"Kan Ayahnya juga di sini. Urusan apa?"
"Mencari pasangan hidup kali, Sya." Seketika Prakasa menoleh pada sumber suara. "Mau ketemuan sama perempuan?"
Prakasa mengedik. "Kalau ketemuan sama perempuan mah, Natasya juga perempuan, Pak Bos."
"Ciee ... Om Prakas, ciee ..."
Prakasa menghela napas panjang, menggeleng pelan. "Sudah, Om mau berangkat dulu."
"Hati-hati, Om."
"Siip."
***
Sesampainya di pantai, netra cokelat gelap Prakasa mulai mengedarkan pandangannya. Debur ombak terdengar merdu, semilir angin malam menyejukkan dirinya. Kaki panjangnya melangkah lebar, menyusuri bibir pantai mencari keberadaan Anara. Langkahnya terhenti, mendapati seorang wanita berambut sebahu persis seperti Anara, berdiri membelakanginya menatap lurus ke depan. Prakasa mendekat, memberanikan diri menyentuh bahu wanita itu, meremasnya pelan. "An?"
Saat wanita itu berbalik, mata Prakasa menyipit. "Kamu menangis, An?" Prakasa terkesiap saat Anara seketika memeluknya, menangis dalam pelukannya. Ada apa? Bukan. Ada angin apa? Apa yang membuat seorang Anara menangis?