GEJOLAK RASA

1191 Kata
“Mas Rangga katanya mau antar. Menurut dia bahaya kalau aku naik taxy online, Mas Hendra. Gimana menurut kamu, Mas?” Sepertinya Hendra terdiam beberapa detik. Sampai dia kembali bersuara, “Dulu waktu kuliah, dia memang sering main ke rumah aku, Dek. Bapak sama Ibu hapal sama dia. Lah, kok sekarang malah jadi bos aku.” “Haaahhh?! Jadi dia bos Mas Hendra?” “Iya, Dek. Kan, aku pernah cerita.” “Ta-tapi, Laras kira, dia Rangga yang lain. Soalnya kenapa mau kamu suruh, Mas. Dia 'kan bos? Aapalagi tadi bilang mau barengin aku ke Magelang juga." “Ya, dari dulu dia memang kayak gitu orangnya, Dek. Baik sekali." "Terus, Mas? Dia nawarin tumpangan, boleh enggak?" “Coba telponnya kamu kasihkan sama Rangga, Dek!” “Baik, Mas.” Larasati melangkah lebar, menuju ruang tamu. Kemudian, dia menyodorkan HP jadul miliknya pada Rangga. "Mas Hendra ingin bicara." Rangga menerima ponsel milik Laras. “Hallo, Rangga." "Hei." "Makasih banyak, kamu sudah repot-repot antar duit buat istri aku.” “Iya, Hen. Sekalian jalan kok.” “Apa benar kamu mau antar Larasati ke Magelang? Jauh loh, Rangga. Semarang ke Magelang.” “Bukan ngantar sih, tepatnya memberi tumpangan karena aku juga ada urusan ke sana." Hendra terdiam. "Gimana?" ulang Rangga. "Sekalian juga silahturahmi sama Bapak Ibu kamu. Udah lama sekali kan?”  “I-iya, sih. Cuman aku makin enggak enak sama kamu. Makin merepotkan kayak gini, Bro." "Santai aja lah, bukannya kita saling merepotkan udah biasa?" Terdengar suara tawa yang terkekeh. "Wahhh, aku enggak tahu mau bilang apa, Bro. Yang jelas terima kasih banyak, kamu seorang Bos, mau berbuat gini sama aku. Kamu benar-benar udah sangat baik sama aku, Rangga.” “Ashhh! Jangan kamu ulang-ulang ucapan terima kasih itu!” Mereka berdua terdiam lagi. “Rencana akan berangkat kapan?” “Terserah istri kamu aja sih.” Sembari Rangga menatap Larasati yang juga melihat ke arahnya. “Mbak Laras mau rencana pergi kapan?” “Kalau besok pagi gimana Mas?” Rangga kembali menyodorkan ponsel milik Larasati. “Gimana Mas, kalau besok pagi?” tanya Laras pada Hendra. “Boleh. Hati-hati ya, Sayang. Jangan bicara macam-macam, bagaimana pun juga dia bos aku." “Iya, Mas. Pasti kalau itu." "Sampaikan salam buat Bos aku.” “Iya.” Segera Larasati menutup teleponnya. “Mas Rangga dapat salam dari Mas Hendra. Bilangnya hati-hati.” Rangga tersenyum lebar tanpa memperlihatkan giginya yang putih rapi berjajar. “Kalau gitu, aku pulang dulu, ya Mbak!” Larasati tersenyum, "Enggak usah pakai, Mbak. Cukup Laras saja, Mas Rangga." "Oke, Ras. Aku pulang dulu." “Silakan Mas Rangga. Biar saya antar sampai depan.” Mereka berdua keluar rumah menuju pagar. “Ehhhh, besok pagi kamu bisa telpon aku enggak?” Sejenak Larasati terdiam. Dia memandang aneh pada Rangga. Dahinya sampai mengernyit keheranan. “Ma-maksud … Mas Rangga?” “Ya, aku ‘kan enggak biasa bangun pagi, Laras. Jadi, kalau enggak ada yang bangunin, besok kita bisa telat.” Akal licik Rangga mulai bermain. Tanpa Larasati menyadarinya. “Ohhh … gitu. Mau dibangunin jam berapa Mas?” “Terserah kamu, jam tiga, jam empat, juga boleh.” “Baik, Mas.” Namun Rangga masih berdiam dan menoleh pada Laras. “Terus ... mana nomer Hp kamu?” “Ohhh, aku lupa Mas Rangga.” Segera Larasati memberikan nomer ponselnya. “Ini, Mas Rangga simpan ya!” “Oke, nanti sesampai di rumah. Aku japri, biar Laras bisa simpan nomer aku.” “Iya, Mas.” Sembari mengulum senyum manis. Membuat hati Rangga semakin berdebar-debar tidak karuan. Ingin saja dia menempelkan bibirnya di bibir Larasati. Mengulum sampai lama, hingga berkeringat. Namun sayang, hanya imajinasi belaka. ‘Pasti aku akan bisa mendapatkan kamu!’ batin Rangga. Selepas kepergian Rangga. Entah mengapa, Larasati merasa ada rasa yang mencuat dari palung hati terdalam. Membuat hatinya jadi berbunga-bunga. Saat ini dia terlihat semringah dan senyum-senyum sendiri. Langkah kaki terburu-buru masuk rumah dan mengunci pintu. Sejenak Larasati menyandarkan tubuhnya. Menarik napas dalam-dalam, sembari menggenggam ponsel tua dan merapatkan di d**a. Masih terbayang saat dengan sigap, Rangga menyambar tubuhnya. Meraih dan mendekap erat. Bahkan aroma tubuh lelaki tampan, dengan roti sobeknya yang mempesona. Semakin membuat d**a Larasati berdebar-debar kencang. Saat membayangkan senyum manis wajah Rangga. Tiba-tiba dia menggelengkan kepalanya kuat-kuat. “Kenapa aku jadi mikirin Mas Rangga?” Laras tersentak. Lalu memukul kepalanya berulang-ulang. "Memalukan, kenapa aku jadi memikirkan lelaki lain? Dasar kami ini Laras!!!" Berulang kali wanita cantik ini, menyalahkan dirinya.  Langkahnya terhenti di depan meja rias. Wanita cantik itu menatap keseluruhan tubuhnya. Sampai mengamati wajah yang masih terlihat muda, 27 tahun. Tampak Laras mengangkat dengan kedua tangan bagian indah dadanya. Begitu juga bagian bemper belakang. Seolah ingin memastikan bahwa bentuk tubuh sintal, masih dia miliki. Lalu, terdengar kembali hela napas panjang. Larasati terduduk di pinggiran kasur, seraya menyisir rambutnya yang lurus kecoklatan. “Kenapa aku jadi mikirin Mas Rangga terus sih? Bagaimana ini?” Sambil memukul kepala yang tak bersalah. Tak lama, senyum mengembang kembali di bibirnya. Perasaan Larasati benar-benar berbunga-bunga lagi. Enam tahun pernikahannya dengan Hendra, akan tetapi masih belum dikaruniai anak. Sesekali dia mengusap perutnya sendiri. Berharap Hendra segera bisa memberikan momongan. Beberapa kali mereka memeriksakan kondisi tubuh keduanya. Dokter mengatakan semua baik-baik saja. Mungkin Tuhan masih belum berkehendak. Tiba-tiba, deringan telepon cukup mengejutkan Larasati. Segera dia meraih ponsel dan raut wajahnya langsung berubah semringah lagi. “Mas … Rangga,” desis Larasati. Jemari tangannya terlihat bergetar dan berkeringat dingin. Dia bingung harus menjawab atau hanya diam saja. Sampai panggilan itu terhenti dengan sendirinya. Masih terlihat di wajah Larasati kegamangan hati. Antara meneruskan riak aneh yang mulai mengisi hati. Atau menghentikan semua rasa aneh ini, sebelum terlambat. Namun semakin Larasati mencoba menahan, gemuruh itu kian menggebu. Bahkan dia berharap Rangga meneleponnya lagi. Pandangan Laras tak lepas dari ponsel, yang mengharapkan Rangga kembali meneleponnya. Kalau itu yang terjadi, tak akan dia siakan kesempatan ini. Sampai harapan itu pun tercipta. Hanya berjarak sekian detik, ponsel Laras kembali berdering kencang. “Hallo!” Suara Rangga yang serak berat, menambah kesempurnaannya. “I-iya, Mas Rangga. Ada apa?” Tampak Laras yang gugup. Dia sampai menggosok lututnya sendiri agar hatinya tidak gundah. “Ehhh ….” Terdengar suara Rangga yang ragu saat ingin mengucapkan sesuatu. “Ada apa, Mas Rangga?” ulang Laras. “A-aku baru sampai rumah. Kamu lagi ngapain?” “Lagi … bersihin wajah. Memangnya kenapa, Mas?” “Udah mau bobok, ya?” Sejenak Larasati mengatur pergolakan hati yang kian melesak. Dadanya berdebar tak karuan. Namun dia berusaha untuk tetap tenang. “Masih, belum kok Mas.” “Aku lagi pengen ngobrol. Maklum jomblo.” “Ohhh …!” Hanya satu kata yang terucap dari bibir Larasati. Dia bingung ingin menanggapi Rangga yang bagaimana. “Jomblo? Memang Mas Rangga belum menikah?” “Belum. Enggak ada cewek yang mau.” ‘Kenapa jantung aku berdetak cepat kayak gini Tuhan?’ bisik Larasati dalam hati. “Kamu kok diam, Laras?” Kali ini, Rangga seperti bisa merasakan, jika Larasati tengah bertarung dengan kegalauan hatinya sendiri.   “Ma-maaf, Mas Rangga. Aku enggak percaya kalau Mas Rangga jomblo. Apalagi lelaki seperti Mas Rangga, pasti banyak yang suka.” “Aku pengen cewek seperti kamu. Gimana?”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN