Ciuman Kasih Sayang
Jihan menghela nafas panjangnya. Ia baru saja membaca berita di internet jika calon ahli waris perusahaan Priatmoko Group, Noah Priatmoko baru saja resmi bertunangan dengan putri konglongmerat Union Bank, Elisa Pratama. Jihan mengenal kedua orang ini. Noah Priatmoko adalah mantan pacarnya dan Elisa Pratama adalah sahabat karibnya. Teman se-SMA dan sekampus.
"Hidup memang seperti roda yang berputar. Akan terus berganti seiring berjalannya waktu. Aku pun harus melangkah maju! Semangat wahai diriku! Semangat Jihan!"
Jihan menutup pintu loker kerjanya usai berganti seragam toko.
Jihan nampak cantik dengan seragam toko yang didominasi warna hijau muda itu. Kulit putihnya semakin bercahaya. Hari ini, ia siap dengan penuh semangat untuk melayani para pelanggan toko!
.
.
.
OneMart pukul delapan pagi.
"Kadang aku suka tidak yakin jika mbak Jihan ini seorang kasir." Kata teman kerja Jihan yang satu shift dengan dirinya. Namanya Lea.
"Ada apa memangnya, Lea?" Tanya Jihan pada gadis enerjik setahun lebih muda darinya itu. "Ada sesuatu yang salah dengan diriku?" Lanjutnya.
"Mbak Jihan cantik, putih, memiliki mata besar, wajah mulus, mirip artis Korea, tapi malah memilih menjadi seorang kasir. Padahal wajah-wajah seperti mbak Jihan ini, lebih cocok jadi model!" Kata Lea.
Jihan tersenyum. "Ya mau bagaimana lagi, aku saat ini berakhir menjadi seorang kasir?"
"Astaga, Mbak Jihan, aku ini sedang serius mengatakannya!"
"Jika nanti kau bekerja di entertainment, jangan lupa rekomendasikan diriku pada produser film ternama! Mungkin saja ada yang tertarik kepada diriku untuk menjadi pemain film. Model iklan juga tidak apa-apa."
"Haha, Mbak Jihan selalu menyikapi hal dengan positif!"
Pagi hari diawali dengan tawa. Bekerja dengan senyuman dan penuh semangat. Meski banyak masalah pribadi yang menghadang, tanggung jawab tetap yang utama.
Jihan yatim piatu. Ia hanya tinggal dengan adiknya yang sakit-sakitan. Adiknya bernama Maura. Maura menderita gagal jantung sejak kecil. Awalnya ketika kedua orang tuanya masih hidup, semua berjalan dengan lancar termasuk dana untuk pengobatan Maura yang setiap hari harus tinggal di rumah sakit.
Namun, ketika orang tua Jihan meninggal dalam sebuah tragedi kecelakaan, semuanya berubah total. Asuransi jiwa peninggalan orang tuanya, sudah habis untuk biaya rumah sakit Maura. Rumah warisan yang dibangun sang ayah pun juga sudah digadaikan demi membiayai pengobatan Maura.
Masih untung Jihan kuliah memakai asuransi pendidikan, jadi ia bisa lulus dengan lancar tanpa harus memikirkan biaya.
Kini di usianya yang ke 23 tahun, Jihan sedang berusaha sekuat tenaga dalam menata kehidupannya. Masa bodoh dengan sang mantan yang bertunangan dengan sahabat karibnya. Yang terpenting saat ini adalah bagaimana tunggakkan biaya rumah sakit Maura bulan ini lunas, dan dirinya juga bisa makan meski hanya harus menyeduh mie instan seperti yang sudah-sudah.
.
.
.
Pukul tiga sore, Jihan tidak menyangka jika ia akan kedatangan sahabatnya di tempatnya bekerja, Elisa Pratama.
"Elisa, sebaiknya kau pulang saja jika tidak ingin belanja! Hormati pengunjung yang lain karena mereka sedang mengantri." Kata Jihan.
Elisa menoleh ke arah belakang dan benar, ada enam orang yang sedang mengantri menunggunya.
"Tapi aku perlu bicara denganmu, Jihan!"
"Hah, jika kau tak mempermasalahkannua, tunggu sejam lagi!"
"Iya, aku akan menunggumu." Elisa berjalan keluar toko dan duduk di kursi depan toko sembari menunggu Jihan selesai bekerja.
Sejam kemudian, Jihan keluar toko dan segera menemui Elisa.
"Aku pikir kau sudah pulang karena bosan terlalu lama menunggu seorang kasir yang sedang bekerja." Ucap Jihan.
"Jihan, caramu berbicara sangat berlebihan. Padahal aku ini temanmu, teman baikmu. Tidak ada yang salah menunggu temannya meski hanya seorang kasir!" Elisa tidak pernah menganggap rendah pekerjaan Jihan.
Jihan tersenyum. "Maaf-maaf, hanya bercanda! Ini, minumlah!" Jihan menyodorkan s**u kotak rasa coklat kesukaan Elisa.
"Waah, super pengertian memanglah hanya Jihan! I love you, my bestie!"
Jihan menghela nafas lalu duduk di kursi depan Elsa. "Jadi, ada perlu apa kau menemuiku, hm? Biar aku tebak, sepertinya ini hal yang penting? Kau rela menunggu lama sampai aku selesai bekerja." Tanya Jihan.
"Menikahlah dengan Noah Priatmoko!" Kata Elisa.
"Hah?" Kaget Jihan. Lelucon macam apa ini?
"Ayolah, kau harus menolongku! Kau tahu sendiri kan, jika aku ini hanya mencintai Edo? Aku tak mungkin menikah dengan Noah! Kau harus menggantikan diriku menikah dengan Noah!"
"Aku tahu kau dan Edo berpacaran semenjak kelas tiga SMA, kalian juga saling mencintai, tapi kau ini sudah resmi menjadi tunangannya Noah! Pestanya semalam, kan? Mana mungkin bisa dibatalkan!"
"Kata siapa tidak bisa dibatalkan? Tentu saja bisa!"
"..." Jihan menatap Elisa.
"Noah bilang, kalau kau mau menikah dengannya, maka pertunanganku dengan dia bisa dibatalkan." Elisa menatap Jihan penuh harap. "Maka dari itu, kau menikah saja dengan Noah! ... Satu lagi, kalian berdua dulu pernah pacaran, harusnya tak sulit bagi kalian yang sudah saling kenal untuk menikah." Tambah Elisa.
"Kenapa harus aku? Memang tidak ada wanita lain yang bisa menggantikan dirimu menikah dengan dirinya?" Keluh Jihan yang masih keberatan.
"Noah bilang, dia hanya mau menikah dengan dirimu! Only you, Jihan!"
Jihan merinding. Noah itu bukanlah laki-laki yang sederhana. Noah itu rumit, serumit melepas tali yang acak-acakkan.
"Aku akan memberikanmu waktu, jadi tolong pikirkan saja dulu, Jihan!" Kata Elisa.
"..."
Jihan sibuk dengan pemikirannya sendiri. Ia tahu jika Elisa itu sangat mencintai Edo. Menikah dengan Noah hanya akan membuat teman baiknya ini menderita. Namun, apa dirinya harus menggantikannya?
Menikah dengan Noah?
Apa dirinya sudah gila?
"Kenapa harus aku yang menikah dengannya?" Jihan frustasi hanya dengan membayangkannya saja.
Elisa menangis karena nampaknya Jihan tidak mau membantunya.
"Aku tidak mau menikah dengan laki-laki selain Edo! Aku dan Noah itu lebih nyaman sebagai teman. Aku sangat mencintai Edo. Kalau aku tak bisa bersama dengan Edo, lebih baik aku mati saja! Huwaaa... Semua orang jahat kepadaku! Tidak peduli terhadap diriku! Memaksakan kehendaknya kepadaku tanpa menanyakan bagaimana perasaanku!"
Jihan lagi-lagi menghela nafasnya. "Iya-iya, aku akan memikirkannya terlebih dahulu! Maafkan aku... Jangan menangis, Elisa. Kau terlihat sangat buruk jika menangis."
Elisa langsung mengusap air matanya dengan cepat. "Ini adalah kartu reservasi restoran gaya Eropa yang aku pesan untuk kalian berdua." Elisa menyodorkan sebuah kartu reservasi kepada Jihan.
"?" Jihan menerima kartu reservasi itu.
"Bicarakan hal ini dengan Noah nanti malam di dinner romantis kalian! Aku pergi dulu. Aku harus menemui Edo yang sedang menangis di rumahnya. Bye-bye sayangku, Jihan!" Senyum Elisa yang langsung kabur dari hadapan Jihan.
"Haiiishh, rubah betina itu! Sial, aku tertipu air mata buayanya! Haaah..."
Jihan yang kesal pun menatap kartu reservasi yang diberikan Elisa kepadanya.
"Bertemu dengannya ya? Sudah berapa lama aku tidak bertemu dengan dirinya? Terakhir melihatnya sekitar dua tahun yang lalu saat wisuda. Haah... hari ini, aku terlalu banyak menghela nafas."
.
.
.
Malam harinya, Jihan dan Noah pun bertemu.
Tak ada yang menyanksikan ketampan laki- laki ini. Dari ujung kaki sampai ujung rambut, semuanya nampak sempurna. Soal uang jangan ditanya, laki-laki yang apabila bosan tidak sengaja membeli helikopter ini adalah anak bungsu dari keluarga Priatmoko, pemilik dari perusahaan terbesar di Asia, Priatmoko Group.
Noah Priatmoko, mantan kekasih Jihan.
"Candlelight dinner sekelas restoran gaya Eropa dan kau datang hanya memakai kaos oblong dan celana jeans saja? Otakmu kau simpan dimana? Senang sekali mempermalukan dirimu sendiri." Ujar Noah.
"Yang malu itu diriku, bukan dirimu! Jadi aku tak perlu repot memikirkan kata racunmu." Kata Jihan ketus.
"Masih saja sakit hati soal yang dulu, heh?"
Jihan menodongkan garpu kepada Noah. Noah menghindarinya dengan cepat dan menahan tangan kanan Jihan dengan erat. Noah menghela nafasnya dan memberikan tatapan yang dingin kepada Jihan.
"Ah, kau melakukan hal yang sama seperti apa yang dilakukan Edo kemarin. Bedanya, Edo memukul wajahku." Noah melepaskan tangan kanan gadis berambut coklat panjang itu.
Kemarin, Edo kecewa kepada dirinya karena bertunangan dengan Elisa.
"Oh, aku tidak tanya dan aku juga tidak ingin tahu." Kata Jihan.
Dalam hati, wajar jika Edo memukul Noah. Edo itu sahabatan dengan Noah. Melihat kekasih Edo, si Elisa bertunangan dengan Noah, tentulah Edo akan marah besar. Masih untung hanya dipukul saja, dibunuh sekalian malah jauh lebih baik.
"Aku tak mau basa-basi. Aku yakin kau sudah mendengar semuanya dari Elisa. Jadi bagaimana, mau langsung menikah atau pacaran dulu?" Tanya Noah.
"Kau terlalu terburu-buru, Tuan!"
Noah bangun dari duduknya. Ia berjalan santai menuju Jihan yang sedang duduk di hadapannya. Ia lalu menyentuh dagu milik Jihan agar gadis ayu ini menatapnya.
"Aku sarankan, lebih baik jika langsung menikah sajalah, toh dulu kita juga sudah pernah pacaran sebelumnya... Kita sudah tidak asing dengan ciuman, kan?" Kata Noah.
Jihan menahan emosinya dan menepis tangan Noah dari dagunya. Tangannya ditahan lagi oleh Noah dan kali ini pria itu mengunci tangan Jihan cukup erat.
Jihan dapat melihat wajah pria itu semakin mendekat, ia dapat merasakan kehangatannya, mendengar suara nafasnya, dan mencium parfum pria yang mahal dari tubuh pria itu.
"Hanya ini jalan keluarnya..." Bisik Noah. "Tak hanya kau bisa menyelamatkan kisah cinta sahabatmu, kau juga akan bisa membuat adikmu yang sakit-sakitan itu merasakan indahnya dunia luar." Lanjutnya.
"Apa maksudmu itu?" Tanya Jihan.
"Aku sudah menemukan donor jantung yang cocok untuk adikmu, jika kau setuju menikah denganku, maka prosedur pencangkokan jantung akan bisa segera dilakukan." Jawab Noah.
Jihan kehabisan kata-kata. Ia hanya bisa membeku di tempat. Saat ini, dirinya sedang ditawan oleh kata-kata Noah yang menyebalkan. Ia ingin membantu Elisa, tapi ia tidak ingin lagi berhubungan dengan Noah. Namun bagaimana dengan adiknya? Apakah Noah sungguhan menemukan donor jantung yang cocok untuk Maura?
Tawaran yang menggiurkan! Meski begitu, Jihan tidak ingin mudah jatuh pada kata-kata penuh bisa dari mantan kekasihnya ini.
"Aku menginginkan seorang suami yang penyayang, bukan seorang dingin sepertimu. Menikah denganmu? Lebih baik kau bermimpi saja!" Kata Jihan.
Noah kemudian tersenyum sinis. "Kau selalu saja jual mahal. Apa kau tak ingin melihat usia adikmu bertambah?"
"Aku sudah bilang, aku ingin seorang suami yang penyayang bukan orang dingin sepertimu yang gila dan— mmph."
Dan Noah mencium bibir Jihan sebelum Jihan menyelesaikan kalimatnya.
Jihan dapat merasakan bibir Noah yang dingin bertemu dengan bibirnya. Rasanya tidak seperti yang ia bayangkan. Ini bukanlah ciuman pertamanya, tapi rasa ini sungguh berbeda. Rasanya bibir dingin itu perlahan menjadi hangat. Ciuman itu adalah ciuman paksa dari Noah, tapi entah kenapa Jihan tidak ingin ciuman itu berakhir.
Noah melepaskan ciumannya pada Jihan. "Sudah, kan?" Kata Noah.
"..." Jihan menatap kesal Noha
"Aku sudah menjadi penyayang seperti yang kau inginkan. Jika kau masih kurang, kita bisa melanjutkannya di hotel setelah ini." Tambah Noah.
Jihan menghapus bekas ciuman dari Noah. "Cih!" Kesalnya.
"Jadi, kau akan membantu Edo dan Elisa atau tidak? ... Ah, aku ubah pertanyaanku, kau sepertinya tak punya pilihan lain selain menikah denganku, kan?" Tanya Noah di atas angin.
"..." Memang tidak memiliki pilihan lain. Jika dirinya menikah dengan Noah, nyawa adiknya bisa terselamatkan juga. Jihan berpikir keras.
Noah mengambil cincin dari dalam saku jas miliknya dan memberikannya kepada Jihan. Sebuah cincin berlian.
Jihan mengambil cincin berlian itu dan menyisipkannya pada jari manisnya. Ia sudah gila. Ia memang sudah sangat gila! Tapi ada sisi dalam dirinya yang merasa bahwa ia telah membuat keputusan yang tepat.
Jihan ingin Elisa dan Edo yang sudah sangat banyak membantunya, bisa hidup bahagia. Lebih dari itu, ia ingin Maura, sang adik sehat dan berumur panjang.
"Apa ini pernikahan hitam di atas putih?" Tanya Jihan.
"Jika kau ingin menganggapnya seperti itu, aku tidak masalah. Namun, kau tetap harus mengikuti aturan mainku." Kata Noah.
"Aku bisa mengikuti semua aturan mainmu."
"Baguslah."
"Aku juga memiliki syarat."
"Katakan apa itu?"
"Aku ingin kehidupan pribadiku tidak kau campuri." Pinta Jihan.
"Oke. Tak masalah."
"Deal!"