BAB 1
Ini kisah ku, namaku Titah, hari ini aku akan menikah dengan laki-laki pilihan ayahku (dijodohkan).
Dan laki-laki itu bernama Bagus, aku dijodohkan dengan Bagus, karena umur Bagus yang sudah tidak lama lagi, Bagus meninggal karena sakit.
Ijab kabul sudah selesai (saya sudah sah menjadi istrinya), Bagus menghembuskan nafas terakhirnya (meninggal dunia) di pangkuan ku.
Setelah suamiku meninggal dunia, tepatnya dihari ketujuh setelah kepergian suamiku, aku pindah ke jakarta dan tinggal bersama dengan kakek dan nenek ku (mbah Sakiman dan mbah Jumirah).
Bogor
Di rumah pak Nano,
Di ruang tengah..
"Bagaimana apakah ananda Bagus sudah siap untuk melaksanakan ijab kabul ?", tanya pak penghulu.
"Insyaallah sudah bapak penghulu", jawab Bagus.
"Baik, kita mulai saja ijab kabul nya", kata pak penghulu.
"Bismillahirrahmanirrahim, saya nikahkan engkau ananda Bagus bin bapak Adriansyah dengan Titah Kesumawardani binti bapak Sujatno dengan mas kawin seperangkat alat sholat dan Al-Qur'an dibayar tunai"
"Bismillahirrahmanirrahim, saya terima nikahnya Titah Kesumawardani binti bapak Sujatno dengan mas kawin seperangkat alat sholat dan Al-Qur'an tersebut tunai"
"Bagaimana saksi sah ?", tanya pak penghulu lagi.
"Sah..!!", jawab para saksi yang hadir di pernikahan Titah dan Bagus.
"Alhamdulillah, Bârakallâhu laka wa bâraka ‘alaika wa jama‘a bainakumâ fî khairin, Semoga Allah memberkahimu dalam suka dan duka dan semoga Allah mengumpulkan kalian berdua di dalam kebaikan.", pak penghulu membacakan doa untuk Titah dan Bagus.
"Aaaaa.., dadaku", kata Bagus yang kesakitan sambil memegang dadanya.
"Bagus.., pak tolong", kata Titah yang menaruhkan kepala Bagus dipangkuan nya.
"Pak, sudah, ini sudah waktunya, saya sudah menikah, dan untuk kamu istriku selamat tinggal", kata Bagus yang berada dipangkuan Titah.
"Tidak, Bagus..", kata Titah yang menangis.
Tujuh hari kemudian..
Masih di rumah pak Nano,
Di kamar Titah..
"Sudah seminggu kamu meninggalkan saya suamiku, walaupun kita belum kenal dan juga belum saling mencintai, saya istrimu dan kamu adalah suamiku, saya tidak sanggup tinggal di rumah bapak, karena terbayang-bayang kamu yang meninggal di pangkuan ku", kata Titah yang menangis mengingat tujuh hari sebelum kepergian suaminya.
"Kamu jadi pindah ke jakarta nak ?", tanya pak Nano.
"Jadi pak, mbak Marni, saya titip bapak ya", jawab Titah.
"Inggih mbak Titah"
(Iya mbak Titah), kata Marni.
Keesokan harinya..
Jakarta
Di rumah mbah Sakiman,
Di meja makan..
"Kang mas", mbah Jumirah memanggil mbah Sakiman.
"Inggih diajeng"
(Iya diajeng), jawab mbah Sakiman.
"Mangga dhahar enjang"
(Hayuk sarapan), kata mbah Jumirah.
"Oke..", sambung mbah Sakiman.
Tok..!! Tok..!! Tok..!! Tok..!!. Suara pintu rumah di ketuk.
Masih di meja makan..
"Sapa sing esuk-esuk ngene bertamu, jo.."
(Siapa yang pagi-pagi begini bertamu, jo..), kata mbah Sakiman.
"Inggih Mbah Sakiman"
(Iya mbah Sakiman), sambung Paijo.
"Coba delok neng ngarep, ana sapa"
(Coba lihat di depan, ada siapa), kata mbah Sakiman lagi.
"Laksanakan mbah Sakiman", sambung Paijo lagi.
Di depan rumah mbah Sakiman..
Tok..!! Tok..!! Tok..!! Tok..!!. Suara pintu rumah di ketuk.
"Assalamu'alaikum", Titah memberikan salam pada Paijo.
"Wa'alaikumussalam", Paijo menjawab salam dari Titah.
"Oalah mbak Titah, saya kira siapa, yuk masuk mbak..", kata Paijo yang membawakan barang-barang Titah.
"Iya mas jo, mbah Sakiman dan mbah Jumirah ada kan di rumah mas jo ?", tanya Titah.
"Ada mbak", jawab Paijo.
Di meja makan lagi..
"Kok Paijo lama sekali ya kang mas", kata mbah Jumirah.
"Iya, ya, diajeng, kita lihat saja yuk didepan", sambung mbah Sakiman.
"Yuk..", kata mbah Jumirah lagi.
Di ruang tamu..
"Ini barang-barang nya langsung saya masukan ke dalam kamar saja ya mbak", kata Paijo.
"Iya mas jo", sambung Titah.
"Sinten jo, tamu ne ?"
(Siapa jo, tamunya ?), tanya mbah Sakiman.
"Mbak Titah, mbah Sakiman", jawab Paijo.
"Oh.., cucuku", kata mbah Jumirah.
"Ada yang ingin mbah bahas denganmu, tapi nanti setelah kamu mandi, sarapan, dan istirahat, kamu belum sarapan kan ?", tanya mbah Jumirah.
"Iya mbah..", jawab Titah.
"Ya sudah mandi dulu gih, diajeng, tolong minta Aisyah untuk membawakan semua kebutuhan Titah untuk mandi", kata mbah Sakiman.
"Iya mbah Sakiman", sambung Titah.
"Inggih kang mas"
(Iya kang mas), sambung mbah Jumirah.
Di dapur..
"Aisyah", mbah Jumirah memanggil Aisyah.
"Inggih mbah Jumirah"
(Iya mbah Jumirah), jawab Aisyah.
"Kula tedha tolong, tolong panjenengan siapkan samukawis keperluan putu kula, oh nggih setunggal iseh, saksampune panjenengan siapkan sedaya keperluan putu kula, tolong panjenengan buatkan minuman uga cemilan konjuk piyambakipun, saksampune piyambakipun sarapan ugi bersama kula uga semah"
(Saya minta tolong kamu siapkan segala keperluan cucu saya, oh ya satu lagi, setelah kamu siapkan semua keperluan cucu saya, tolong kamu buatkan minuman dan cemilan untuk dia, setelah dia sarapan juga bersama saya dan suami), kata mbah Jumirah.
"Inggih mbah Jumirah"
(Iya mbah Jumirah), sambung Aisyah.
"Nggih sampun ngrika"
(Ya sudah sana), kata mbah Jumirah lagi.
"Inggih mbah Jumirah"
(Iya mbah Jumirah), sambung Aisyah lagi.
"Punapa nggih kula punika selalu merasa kesal, duka, menawi kula saweg berhadapan kaliyan piyambakipun"
(Kenapa ya saya itu selalu merasa kesal, marah, kalau saya sedang berhadapan dengan dia), kata mbah Jumirah.
Di kamar Titah..
"Permisi", kata Aisyah.
"Iya, kamu siapa ?", tanya Titah.
"Saya Aisyah", jawab Aisyah.
"Oh.., maaf ya sebelumnya saya bertanya padamu seperti tadi, saya baru melihat kamu di sini", kata Titah.
"Iya tidak apa mbak, ini semuanya sudah siap ya, saya taruh dimana ?", tanya Aisyah.
"Taruh di kasur saja mbak Aisyah", jawab Titah.
"Inggih mbak Titah"
(Iya mbak Titah), kata Aisyah.
"Terimakasih ya mbak", sambung Titah.
"Sama-sama mbak Titah, permisi", kata Aisyah lagi.
Di meja makan lagi..
"Kenapa diajeng ?", tanya mbah Sakiman.
"Biyasa kang mas, kula kesal uga duka iseh saben kula melihat anak punika, oh nggih kang mas"
(Biasa kang mas, saya kesal dan marah lagi setiap saya melihat anak itu, oh ya kang mas), jawab mbah Jumirah.
"Inggih diajeng, punapa ?"
(Iya diajeng, kenapa ?), tanya mbah Sakiman lagi.
"Kula tedha ampun ngantos Titah mangertos nggih kang mas"
(Saya minta jangan sampai Titah tau ya kang mas), jawab mbah Jumirah lagi.
"Mangertos soal menapa mbah Jumirah ?"
(Tau soal apa mbah Jumirah ?), tanya Titah.
"Mboten enten menapa-menapa kok nduk, sakmenika kita sarapan nggih"
(Tidak ada apa-apa kok nak, sekarang kita sarapan ya), jawab mbah Jumirah.
"Oh oke..", kata Titah.
"Oh ya nduk, nanti tolong ingatkan mbah Sakiman untuk membicarakan sesuatu padamu", sambung mbah Sakiman.
"Oke mbah Sakiman", kata Titah lagi.
"Oh ya nduk, bagaimana keadaan ibu, adik, dan keponakanmu di london bersama dengan ayah baru mu ?", tanya mbah Jumirah.
"Alhamdulillah baik mbah, oh ya memangnya mbah Sakiman mau ngomongin soal apa sih sama Titah ?", tanya Titah lagi.
"Sudah nanti saja di bahasnya ya nduk, sekarang kita sarapan dulu", jawab mbah Jumirah.
"Iya nduk, benar yang dikatakan oleh mbah mu", kata mbah Sakiman.
"Oh oke..", sambung Titah.
Di dapur lagi..
"Kenapa mbah Jumirah selalu membentak saya dan kenapa mbah Jumirah tidak pernah menganggap saya sebagai cucu menantunya dan mbah Jumirah malah menganggap saya pembantu di rumah ini", kata Aisyah.
"Mbak Aisyah, yang sabar ya menghadapi mbah Jumirah, yang bisa menolong mbak Aisyah hanya satu orang di rumah ini", sambung Paijo.
"Oh ya, siapa dia, mas jo ?", tanya Aisyah.
"Mbak Titah, cucu kesayangan dari mbah Jumirah dan mbah Sakiman", jawab Paijo.