“Kamu apa kabar Mili?” Dimitri membuka suara setelah keduanya asik dalam keheningan padahal sudah beberapa menit sudah berlalu sejak Dimitri dan Mili memutuskan bertemu si salah satu cafe di pusat kota Surabaya.
“Ak- ak- aku baik, Mas. Mas Dim sendiri gimana kabarnya?” Mili memberanikan diri mengangkat wajahnya untuk sepersekian detik demi membalas tatapan Dimitri yang sedari tadi tak pernah sedikit pun berpaling darinya.
“Seperti yang kamu lihat sendiri,” Dimitri sedikit mengangkat bahu. “Sepertinya, aku terlihat baik, kan?”
Sepertinya?
Berarti sebenarnya tak baik, begitu maksudnya? gumam Mili hanya mampu ia sembunyikan dalam hati.
“Ternyata kamu di Surabaya selama ini. Mas kira kamu kembali ke Singapura, pantas saja beberapa kali Mas sengaja ke sana untuk mencari keberadaan kamu nggak berhasil sama sekali.” seru Dimitri membuat wajah Mili mengernyit seketika.
Dimitri ke sampai kembali ke Singapura demi mencari keberadaannya?
“Udah lama di Surabaya?” sambung Dimitri lagi masih tak melepaskan fokus dari sepasang netra kecoklatan milik Mili Frisela. Gadis yang selama ini ia cari namun tak pernah menemukan ujung yang sesuai dengan inginnya.
“Ba- baru jalan tiga minggu lebih di Surabaya, sebelumnya juga pernah di Bogor beberapa minggu sebelum akhirnya memutuskan stay di sini aja.” jawab Mili kembali menundukkan pandangan, dan memilih untuk menyesap jus jeruk yang ia pesan tadi.
“Bogor?”
Mili mengangguk sekali. “Rumah Mas Nala.” jawab gadis itu kemudian. Nala adalah nama kakak satu-satunya yang Mili miliki. Pria berusia tiga puluh dua tahun itu tinggal di Bogor bersama keluarga kecilnya. Ketika Mili mulai sering berseteru dengan sang mama, Nala adalah salah satu tujuan untuk mencurahkan segala keluh kesah.
Mendengar jawaban Mili, Dimitri hanya manggut-manggut mencoba mengerti. Dia kenal dengan Nala, namun tak sedekat hubungannya dengan Mili sebagai sesama sepupu. “Mas denger dari Mama kalau kamu tinggal sama Tante Indah dan keluarga barunya di Jakarta. Tapi … ternyata kamu udah nggak di sana begitu aku dapatkan alamat beliau.”
“Mas Dim … cari aku sampai ke rumah Mama juga?” tanya Mili sedikit gelisah. Tentu saja Dimitri tak bisa menemukannya, karena Mili buru-buru menghilang setelah menghabiskan malam yang sangat memalukan itu.
“Tentu saja Mas cari, karena kamu tiba-tiba ngilang setelah malam itu, Mil. Atau kamu sengaja menghindari Mas ya?” desak Dimitri menatap lurus ke wajah Mili.
“Eng- enggak Mas, aku hanya … nggak mau tinggal di Jakarta. Aku nggak cocok sama keluarga baru mama. Aku nggak bisa.” jawab Mili kembali menunduk, lantaran tak siap membalas tatapan tajam dari Dimitri.
Dimitri mengangguk pelan lantas kembali bertanya. “Lalu kenapa kamu ganti nomor sejak pertemuan kita di club malam itu?”
Sampai detik ini Dimitri masih menyimpan nomor ponsel Mili sejak mereka bertemu di Singapura ketika mereka bertemu pertama kalinya. Tapi semenjak gadis itu memutuskan untuk menghilang setelah keduanya terjebak malam panas di Jakarta ketika Mili mabuk berat, Dimitri terlalu kesulitan untuk melacak nomor Mili.
“Mas kesulitan menghubungi kamu, Mili.” sambung Dimitri dengan nada jauh lebih tenang.
Mili mendadak bergerak gelisah saat diingatkan lagi dengan kejadian kurang lebih enam bulan lalu saat mereka berdua kembali bertemu di Jakarta. “Ah, itu, anu … hmm, itu ya, karena aku sengaja ganti nomor. Maaf.”
“Untuk sengaja menghilang dan menjauh dari Mas?” tembak Dimitri tak sabaran.
Tak menunggu jawaban dari gadis yang masih setia menunduk di depannya, Dimitri justru mengeluarkan ponsel dari saku celana lantas menatap layarnya dengan seksama.
“Tau nggak, diam-diam aku cek ponsel Fala, demi mencari nomor kamu.” imbuh pria itu dengan wajah serius.
“Ka- kak Fala?”
“Hmmm, iya Fala. Kakak tingkat kesayangan kamu itu.” angguk Dimitri pelan. “Kenapa? kamu keberatan aku cari tau sampai seperti ini?”
“Eh? bukan seperti itu.” lirih Mili mengerjap seketika.
“Lalu?”
“Aku rasa … hmm, aku rasa kita nggak seharusnya bertemu seperti ini saat Mas Dim ternyata sudah punya ikatan dengan Kak Fala.” cicit Mili dengan suara sangat pelan. Sampai-sampai Dimitri harus mencondongkan tubuhnya ke arah depan demi mendengarkan dengan seksama ucapan gadis itu.
“Kenap—”
“Karena dengan bertemu berdua seperti ini kembali bikin aku inget sama kejadian malam itu, Mas.” potong Mili cepat-cepat. “Kejadian tidak pantas yang seharusnya tidak pernah terjadi di antara kita, kejadian yang harus sama-sama kita lupakan dan anggap tak pernah kita lalui.” sambung gadis itu lalu menunduk lagi dengan tatapan penuh sesal.
“Kenapa harus dilupakan? memang kamu bisa lupa?” Dimitri sedikit menaikkan nada suaranya hingga Mili berjingkat terkejut. “Semudah itu, Mil?” tuntut Dimitri lagi.
“Ta- tap- tapi, Mas.” Mili tergeragap tak bisa menemukan kata-kata yang tepat untuk mewakili bagaimana kacaunya perasaannya saat ini.
“Aku bisa tanggung jawab Mil. Aku bukan lelaki berengsek yang bisa tidur dengan sembarang perempuan lalu ninggalin mereka gitu aja. No.”
Bukan hanya kehilangan kata-kata. Mili kini merasa ada banyak meteor yang bertubrukan tanpa suara dalam kepalanya. Bukan hanya itu, ia juga merasa kedua kakinya kini lemas seolah tak menapak bumi lagi. Bisa-bisanya pria berstatus calon suami dari sahabatnya ini berucap dengan mudahnya akan bertanggung jawab setelah malam panas yang mereka lalui mereka bersama.
“Ma- Mas nggak perlu sampe tanggung jawab gitu, Mas.” Mili menggeleng cepat.
“Why?” kejar Dimitri meraih dengan cepat telapak tangan dingin Mili di atas meja.
“Aku nggak hamil!!” hanya itu yang terlintas dalam kepala Mili dan spontan terucap begitu saja. Perempuan itu bahkan sampai mengatupkan bibir dan berkaca-kaca setelah mendengar jawabannya sendiri.
“Mil,” Dimitri semakin mengeratkan genggaman tangannya karena Mili mulai mencoba menariknya. “Ini bukan hanya karena kemungkinan kamu hamil atau nggak ….”
“Mas benar-benar nggak harus tanggung jawab. Karena kejadian malam itu murni kesalahanku kan? meskipun aku belum bisa mengingat jelas bagaimana awalnya, sudah pasti aku yang ngerayu Mas duluan kan? Jadi Mas nggak perlu merasa bersalah sampai merasa wajib tanggung jawab ke aku. Nggak Mas!” Suara Mili bergetar saat mengutarakan alasannya yang lebih masuk akal dari pada jawaban sebelumnya. Dengan gerakan cepat perempuan itu menghapus lelehan air mata yang membasahi wajah cantiknya.
“Kak Fala nggak bisa Mas tinggalin gitu aja, demi aku yang … hanya perempuan perayu tak tau malu ini.” dengan satu gerakan cepat, Mili menarik satu tangannya dari genggaman Dimitri. Meski merasa ada kehangatan yang mendadak hilang, Mili tak bisa terlena dengan genggaman nyaman dari kakak sepupunya ini.
“Ini bukan karena Fala. Nggak ada hubungannya sama sekali.” desisi Dimitri.
“Lalu ngapain Mas ngomong mau tanggung jawab segala. Mas nggak kasihan sama tunangan Mas itu? Kalian bentar lagi nikah kan?”
Mili tak asal bicara. Mili mendengar secara langsung dari Fala kalau dirinya dan Dimitri akan melangsungkan pernikahan dalam waktu dekat.
Lagi-lagi Dimitri menggeleng pelan. “Mas bisa batalin pertunangan dan rencana pernikahan itu. Mas lebih milih kamu Mil.”
“Karena rasa kasihan? atau rasa bersalah lantaran udah merawanin aku?” balas Mili blak-blakan. Tak perduli lagi dengan lelehan air mata yang sudah mengalir deras dari kedua sudut matanya. Gadis itu cepat-cepat menghapus jejak basah yang mendadak membanjiri wajahnya dengan kedua telapak tangan bergantian.
“Karena aku sayangnya sama kamu Mil, bukan sama Fala.” pekik Dimitri tak tahan lagi.
“Ngaco kamu, Mas.” Mili melempar asal tissue yang ia gunakan untuk menghapus air mata. Lalu dengan cepat perempuan itu bangkit berdiri, memundurkan kursi yang duduki hingga menimbulkan suara deritan kecil. Dan, tanpa membuang waktu perempuan cantik itu berlalu meninggalkan Dimitri seorang diri.
“Mil, Mili tunggu.” Dimitri ikut bangkit hendak mengejar Mili yang sudah berlari di depannya. Namun seorang pramusaji menghadang jalannya dengan tergesa-gesa.
“Maaf Mas tagihannya,” seru pemuda dengan seragam warna hitam yang bertuliskan nama cafe. “silakan selesaikan dulu di meja kasir sebelah sana.”
“s**t!” umpat Dimitri menghentikan langkah. Dengan cepat ia mengeluarkan dompet dan lembaran-lembaran uang berwarna merah lantas menyerahkannya pada pramusaji tersebut. “Tolong kamu kasihkan kasir, kembaliannya buat kamu.” seru Dimitri dengan cepat menyerahkan lembaran tersebut pada pramusaji yang melengkungkan senyum lebar.
“Terima kasih banyak, Mas.” Angguk pemuda itu lantas mundur beberapa langkah untuk memberi jalan. Sepasang matanya berbinar membayangkan berapa banyak nominal yang bisa ia dapatkan dari sisa p********n Dimitri yang tagihannya tak seberapa.
Dimitri hanya mengangguk lalu berjalan cepat setengah berlari untuk mengejar Mili yang sudah menghilang dari pandangannya. Menoleh ke kanan dan kiri bak orang linglung, Dimitri benar-benar kehilangan jejak Mili. Bahkan di area parkir yang tak begitu ramai ia tak bisa menemukan sosok gadis cantik itu.
Berjalan asal ke arah jalan raya, Dimitri mengepalkan kedua tangannya kesal saat melihat Mili sudah ada di seberang jalan, sedang buru-buru masuk ke dalam taksi yang ia hentikan. Pria itu mengepalkan tangan penuh sesal, pertemuan yang ia harapkan akan berujung pada satu keputusan, kenapa malah kacau begini.
Harusnya Dimitri bisa menahan diri agar tak membuat Mili emosi dan gegabah sehingga meninggalkannya seperti ini. Padahal pria itu berniat bersujud di kaki Mili demi memohon ampun akan tindakannya di malam itu. Tindakan yang tak sepatutnya dilakukan oleh seorang kakak yang seharusnya bisa menjaga adik sepupunya, bukan malah … menodainya.
Dimitri meraup wajahnya dengan satu gerakan kasar. “Aku akan mendapatkanmu, Mili. Bukan, bukan karena rasa iba atau tanggung jawab lantaran rasa bersalah. Tapi karena, memang kamu yang berhasil meruntuhkan dinginnya hatiku selama ini.” gumam pria itu dalam hati.
***