2. Bertemu Lagi

1744 Kata
Sore menjelang malam hari, Mili diam termenung di balkon kamar seorang diri, aah … tidak juga karena ada dua ekor kucing peliharaan yang selalu mengikuti langkah Mili kemana-mana. Miko dan Miki. Pertemuannya dengan seorang Dimitri Handana siang tadi membuat gadis manis itu kehilangan sedikit semangatnya. Mili langsung saja mengingat semuanya, mulai dari awal pertemuannya dengan Dimitri saat masih di Singapura hampir satu tahun yang silam, hingga akhirnya terpisah lalu secara kebetulan bertemu lagi hari ini tanpa sengaja. “Ka- kamu … Mili anaknya tante Indah dan Om Bowo itu kan?” Ingatan Mili ditarik mundur pada saat pertemuan mereka berdua yang terjadi beberapa tahun lalu. Mili mengerutkan kening untuk sepersekian detik. Mencoba menggali ingatan tentang siapa sosok tegap nan tampan yang ada di depannya itu. “I- iya pak, eeh … Mas. Mas Dimi.. Mas Dimitri bukan sih?” Mili yang tadinya sedang sedang tak bersemangat karena bingung akan melanjutkan pekerjaan di Singapura atau kembali ke tanah air, mengerjapkan mata seketika. Dimitri mengembangkan senyum lebar. “Iya, Dimitri. Kamu masih ingat rupanya,” seru pria tegap itu membuat gadis manis di depannya tersipu seketika. Mendengar tebakannya benar, Mili tersenyum lebar seketika. “Aah, pasti ingat kalau soal Mas Dim.” jawab Mili lantas mengigiti bibir bawahnya. Gugup. “Kamu apa kabar Mili? Ngapain ada di Singapura?” tanya Dimitri cepat. Mengangguk dan tersenyum salah tingkah, Mili lantas menjawab, “Alhamdulillah kabar baik aku , Mas Dim. Sudah hampir satu tahun ini aku kerja di Singapura.” “Ooh, serius kerja di sini? di mana?” Dimitri memastikan lagi. “Di Rosemary Gallery Art, Mas. Kebetulan tadi habis ketemu client di hotel ini.” Dimitri manggut-manggut saja berlagak mengerti, padahal baru pertama kali ini ia mendengar tentang galeri seni semacam itu. “Ka- ka- kalau Mas Dim sendiri gimana kabarnya? ngapain di Singapura?” Mili memberanikan diri menatap sepasang netra sehitam jelaga milik sepupu jauhnya itu. “Seperti kamu lihat sendiri, Mas juga baik. Lagi ada seminar di hotel ini sampe hari jumat nanti.” ucap Dimitri terlihat santai sambil memasukkan kedua telapak tangannya ke dalam saku. Kedua alis tebal Mili kembali bertemu. “Seminar dari perusahaan Architema itu bukan?” “Ahh, iya yang itu. Kamu tau?” Mili mengangguk pelan. “Tadi sempat lihat bannernya sih di lobby hotel, ada seminar dari biro arsitek itu.” jawab Mili apa adanya. “Mas check in dulu ya, nanti kita ketemu lagi boleh kan Mil? nggak lagi sibuk kan hari ini?” Dimitri mengendikkan dagu ke arah resepsionis hotel yang tak begitu ramai. “Boleh aja Mas, kerjaanku juga udah beres kok. Udah nggak sibuk sama sekali.” jawab Mili langsung berbinar. “Oke, mau tunggu di sini atau ikut check in?” tawar Dimitri. Mili mendadak bingung sampai mengedip-ngedipkan matanya bak orang linglung. “Eeh? apa gimana maksudnya Mas?” “Mas kan mau taruh koper-koper ini ke kamar. Kamu mau nunggu di sini atau ikut ke kamar sebentar?” jawab Dimitri melirik sekilas ke arah koper besar berwarna cokelat gelap di sebelahnya. “Oooh, I see. Hmm, aku tunggu di sana aja, Mas.” Mili berbalik dan menunjuk deretan sofa panjang di dekat lobby utama hotel. “Oke, tunggu sebentar ya.” sosok jangkung berbadan tegap itu mengacak rambut pendek Mili dengan santainya. Gerakan sederhana seorang pada adiknya yang mendadak menciptakan desiran halus dalam hati Mili Frisela. Seorang gadis yang sebenarnya sudah mengubur dalam-dalam perasaan cintanya pada pria tampan ini sejak tahunan silam semenjak tau Dimitri sudah ada yang memiliki. Tak menunggu terlalu lama, tak sampai tiga puluh menit setelahnya, Dimitri sudah nampak keluar dari lift yang membawanya turun dari lantai atas. Tersenyum ramah pada Mili lantas mengulurkan tangannya secara refleks ke arah Mili. Mili mengerjap pelan tak paham dengan isyarat yang dilemparkan oleh Dimitri. “Apa Mas?” “Ayo ngobrol di luar aja, ada teman kuliah Mas yang punya tempat makan enak di sini.” Tak sabaran, Dimitri justru meraih telapak tangan Mili yang berukuran kecil jika dibandingkan dengan telapak tangan besar miliknya, pria itu lantas menarik tangan Mili pelan dalam genggaman. Meminta gadis manis itu untuk mengikuti langkahnya. Tak tau saja Dimitri bahwa jantung Mili sudah hampir lepas dari tempatnya karena perlakuannya. “Kamu ini … beneran udah kerja ya Mil?” Dimitri membuka suara begitu mereka berdua sampai di salah satu café dengan nuansa retro di sekitar Joo Chiat Rd. Keduanya baru saja memesan makanan ringan sebagai peneman reuni dadakan mereka. Bukan reuni teman lama sekolah, karena secara hirarki, keduanya masih terikat tali kekerabatan meski jauh. “Ckk, Mas Dim gimana sih? aku ini udah gede, udah dewasa malah. Ya udah kerja lah otomatis.” decak Mili mencoba memasang wajah senormal mungkin. Meski dalam hatinya sudah ribut sekali karena aura Dimitri masih sama kuatnya seperti beberapa tahun silam saat terakhir kali keduanya bertemu. “Beneran deh, kamu kayak masih anak SMA.” “Ya emang sih banyak yang bilang aku imut. Udah takdir Illahi kalau itu mah, nggak bisa nolak, Mas.” jawab Mili sontak membuat pria tampan di depannya terkekeh hingga menampilkan deretan giginya yang berjajar rapi. “Nggak kerasa ya, perasaan kita terakhir ketemu tuuh, waktu … hmm,” Dimitri menengadah seolah sedang mengingat-ngingat pertemuan terakhir mereka tahunan lalu. “Udah lebih dari empat tahunan kali, Mas. Hampir lima tahun lalu lah pokoknya,” gunting mili cepat-cepat. “Pas lamaran Mas Dim sama Mbak Fawnia, itu terakhir kita ketemu di Surabaya.” sambung Mili dengan raut wajah yang mendadak berubah sebal. Mengerjap beberapa kali, Dimitri lantas mengangguk pelan. Karena tiba-tiba saja bayangan Fawnia, sang mantan istri berkelebatan cepat di pelupuk mata. Perempuan cantik yang seharusnya sudah bahagai dengan pria lain yang bisa menjadi imam hidup yang menggantikan perannya dulu. “Ahh, jadi waktu itu ya, terakhir kita bertemu.” ulang Dimitri mengangguk-angguk pelan. “Iya. Hmm … eh iya gimana kabarnya mbak Fawnia, Mas? Masih stay di Surabaya ya?” tanya Mili memasang wajah santai, meskipun di dalam hatinya ia juga enggan menyerukan pertanyaan yang justru membuat nyeri dadanya. “Fawnia ya … hmm, harusnya sih baik-baik saja.” jawab Dimitri lantas dengan tenang menyesap cokelat dinginnya. ‘Harusnya?’ Seru Mili dalam hati. Kenapa jawaban Dimitri seolah-olah tak mengetahui kondisi istrinya sendiri secara pasti. Tatapan mata Dimitri yang sebelumnya berbinar juga berubah mendung seketika. “Kok ….” Mili menggantung kalimatnya saat raut wajah Dimitri menunjukkan keengganan. “Sekarang, Mas udah nggak barengan lagi sama Fawnia.” sambung Dimitri kini mengunyah kentang goreng yang baru saja disajikan di meja makan mereka oleh seorang pramusaji. Mili yang baru saja menenggak caramel macchiato hampir tersedak mendengar jawaban Dimitri. “Ma- mak- maksudnya nggak barengan gimana?” Mili mendadak tergeragap. “Divorce, Mil. Udah nggak sama-sama lagi.” komentar Dimitri santai sambil mengangkat kedua bahunya bersamaan. Mengerjapkan mata beberapa kali, Mili menelan susah payah salivanya. Cerai? Bagaimana bisa? Bukankah sepertinya rumah tangga Dimitri dan Fawnia tenang, adem ayem dan baik-baik saja? “Weeii, nggak usah kaget sampe segitunya ah.” Dimitri terkekeh ketika mencubit kecil pucuk hidung Mili yang tengah termangu. “Biasa aja responnya, udah lumrah terjadi kan?” “Kok bisa sih, Mas?” Lagi-lagi Dimitri mengangkat kedua pundaknya acuh tak acuh. “Ya, ternyata bisa. Wajar kan? Mas yang salah, jadi ya … Mas harus rela lepasin Fawnia.” “Udah lama?” Tak menampik ada percikan menyenangkan yang mendadak hadir di hati Mili. Salahkah jika ia tiba-tiba merasa bahagia saat mendengar Dimitri tak lagi ada yang memiliki? Salahkah jika mendadak saja rasa yang sempat terkubur lama kini perlahan mencuat lagi namun setengah mati gadis itu tutupi. “Hmm, hampir dua tahunan,” jawab Dimitri tak menutup-nutupi. Pria itu sudah berdamai dengan keadaan, sudah merelakan Fawnia berbahagia dengan pasangannya kini. Jadi tak ada yang harus ia sembunyikan tentang perpisahan mereka. “Duuuh, jadi duren dong sekarang?” ledek Mili mencoba mencairkan suasana. “Duda keren?” tebak Dimitri lantas tersenyum geli hingga menundukkan kepala. Mili yang tertular senyum Dimitri mengangguk tegas. “Iya.” “Emang Mas keren?” tanya Dimitri menunjuk dirinya sendiri tak yakin. “Iya dong, udahlah Mas Dimi itu cakep, tinggi tegap, masih muda, karir oke. Pasti deh udah berderet itu cewek yang ngincer.” “Ha ha … bisa aja kamu Mil, nggak lah. Nggak ada yang ngincer juga.” “Masa sih?” goda Mili menggerak-gerakkan jari telunjuknya ke udara. “Paling juga kamu.” tebak Dimitri asal, namun semerta-merta membuat Mili bungkam seketika. Drrrtt.. drrtt… Getaran ponsel yang diletakkan Mili di atas meja kecil sebelah balkon menyadarkan lamunan gadis itu dari kenangan saat bertemu lagi dengan Dimitri beberapa tahun silam. Layar gawai itu berkedip beberapa kali menampilkan nomor asing yang tak pernah ia ketahui sebelumnya. Sedikit ragu, Mili menggeser tombol berwarna hijau untuk menerima panggilan dari nomor asing tersebut. Khawatir kalau-kalau itu panggilan dari pihak kantor atau bisa saja itu nomor dari salah satu keluarga Mili yang mencoba mengabarkan perihal keadaan sang mama yang kini menetap di ibu kota bersama suami barunya. “Assalamu’alaikum, iya ha- halo?” “Wa’alaikumsalam. Benar ini nomornya … Mili?” tanya suara berat dari ujung sana. Mendengarnya barang beberapa detik saja sudah mampu menggetarkan hati Mili, tapi Mili memilih mengatupkan bibir, menahan prasangka yang mendadak hadir di pikirannya. “Iya, saya Mili. Maaf … ini si- si- siapa ya?” “Dimitri. Mas Dim, masa nggak hapal sama suara Mas sih?” jawab suara berat itu dengan nada santai. “Mas ... Dim.” Mili memejamkan mata dramatis, karena apa yang melintas di pikirannya ternyata benar adanya. “Iya. Bisa kita ketemuan, Mil?” Mili membeliakkan mata sekejap lantas dengan pelan bangkit berdiri dan duduk di tepian tempat tidurnya. Menimbang dengan bimbang haruskah ia mengiyakan ajakan Dimitri atau sebaliknya. “Mil?” panggil lawab bicaranya lagi karena Mili masih belum merespon. “Ket- ketemuan ngapain, Mas?” Mili tergeragap seketika. “Ada yang harus kita bicarakan, Mili.” “Apa—” Mili mengangkat salah satu tangannya lantas langsung menggigiti kukunya. “Banyak, Mil. Terutama tentang malam it—” Mili mendadak panik hingga tanpa sadar bangkit berdiri. “Lupain tentang malam itu, Mas.” “Nggak mungkin, Mil. Malam itu kita kan—” “Lupain aja, Mas! anggap malam itu nggak pernah terjadi.” paksa Mili setengah memohon. “Nggak bisa, Mili. Mas harus bertanggung jawab karena mengambil hal paling berharga yang kamu miliki.” Akhirnya Dimitri melontarkan kalimat yang paling ditakutkan Mili selama ini. Kejadian yang begitu ingin dilupakan gadis itu kembali menari-nari di pelupuk matanya. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN