Setelah kesepakatan yang Erwin dan Giska lakukan. Giska akhirnya pergi juga liburan bersama teman-teman sosialitanya. Sedangkan Erwin tidak ada pilihan lain, kecuali pulang ke rumah sederhana yang sudah dirinya berikan pada Maya-- istri keduanya.
"Kita ke mana Pak?" tanya supir Erwin, menoleh ke arah kursi penumpang di belakangnya.
"Kita ke rumah yang kemarin!" titah Erwin. "Pak Danang, apa mobil ini sudah dicuci?" tanya Erwin.
"Sudah Pak, sesuai perintah Bapak. Setelah mengantar Bu Maya, saya langsung membawa mobil ke pencucian mobil di tempat biasa," jawab supir Erwin--pak Danang.
"Baguslah. Saya tidak mau, kuman-kuman yang menempel di tubuh gadis kampung itu mengotori mobil mahal saya," sahut Erwin, seakan jijik dengan Maya.
Pak Erwin ini ternyata aneh juga. Katanya tidak kotor, kenapa malah kembali ke rumah bu Maya? batin pak Danang, kemudian menjalankan mobil mahal Erwin.
Sesampainya Erwin di depan rumah Maya. Ada rasa enggan yang membuat Erwin seakan berat melangkahkan kakinya masuk.
"Silahkan Pak!" ujar pak Danang, menyadarkan Erwin dari lamunan.
"Ah iya. Pak Danang boleh pergi sekarang, nanti siang kirimkan mobil saya ke rumah ini!" titah Erwin.
Erwin berdiri tepat di depan pintu rumah. Tangannya terangkat mengetuk pintu rumah beberapa kali.
"Ke mana sih gadis desa ini! Kenapa dia tidak membuka pintu sama sekali?" gerutu Erwin.
"Saya di sini!" Sebuah suara terdengar tegas dari arah belakang Erwin.
Erwin sontak berpaling karena terkejut. Air wajahnya terlihat kesal, mendengar kata-kata yang menurut Erwin dingin sekali.
"Dari mana saja kamu? Kenapa pergi tidak bilang?" tanya Axel, dengan nada sedikit membentak.
"Maaf. Saya baru dari sana, beli bahan masakan. Saya tidak bilang, karena saya tidak tau harus minta ijin ke mana," jawab Maya, wajah Maya terlihat datar sekali.
Erwin terdiam. Dirinya bahkan lupa memberi nomor ponselnya pada gadis desa yang kemarin baru saja dirinya nikahi secara siri. Tanpa mengabaikan Maya, Erwin malah mengambil kunci di tangan Maya dan langsung membuka pintu.
Maya hanya diam saja. Setelah tadi malam dilaluinya dengan kesendirian. Dirinya mulai mengerti di mana posisinya sekarang. Bagaimana bisa, sebuah rumah tangga akan berjalan dengan lancar, kalau menikah saja tanpa ada perkenalan dan pendekatan lebih dulu.
"Sudah selesai tugas bisnisnya?" tanya Maya, meletakkan bahan belanjaannya di meja dekat kompor.
"Ya," jawab Erwin, dengan cueknya.
Maya menghela nafas berat. Impian untuk punya rumah tangga yang adem ayem kini pupus sudah, saat menerima perlakuan seperti itu. Namun, Maya tetap bersabar.
Sabar May, ini baru hari pertama. Mungkin semua ini karena belum saling kenal saja, batin Maya.
"Dari mana kamu dapat uang belanja seperti ini?" tanya Erwin, memilih duduk di sofa depan televisi.
"Saya beli dengan uang saya sendiri, yang saya bawa dari desa," jawab Maya.
"Oh," Hanya satu kata saja yang keluar dari mulut Erwin, membuat Maya mendesah kesal.
Tanpa mau berdebat atau membahas hal lain lagi. Maya gegas pergi ke dapur menyiapkan semua bahan masakannya. Dari tadi pagi, Maya harus rela menahan rasa lapar, akibat tidak ada stok makanan yang disediakan oleh Erwin di rumah yang baru dirinya tinggali.
Cukup lama Maya berkutat di dapur, akhirnya beberapa hidangan siap juga. Masakan khas desa yang sudah sering dirinya buat, terlihat begitu enak. Belum lagi aroma yang menyeruak memenuhi ruangan, membuat Erwin langsung merasa lapar. Apalagi sebelum pergi dari rumah utama, dirinya belum sempat memakan apa pun.
"Mau makan bersama?" ajak Maya, bicara penuh ke hati-hatian.
Erwin tidak melirik apalagi berbalik menatap Maya. Entah mengapa, hatinya masih belum bisa menerima istri keduanya itu. Walaupun dirinya sendiri yang membuat rencana gila ini, tetap saja rasanya sulit. Diam Erwin dianggap Maya sebagai tanda penolakan. Tanpa mengulangi ajakannya lagi, Maya bergegas pergi ke meja makan.
Erwin berbalik saat Maya sudah pergi. Rasa lapar dan perut keroncongan, yang sedari tadi terus meronta ingin diisi, membuat Erwin kesal, karena Maya tidak memaksanya untuk makan bersama.
Dengan sangat terpaksa, Erwin beranjak dari duduknya menghampiri Maya yang sedang sibuk memasukan makanan ke dalam piring. "Apa begini cara kamu melayani suami? Satu kali mengajak, setelah itu pergi begitu saja," sentak Erwin, marah-marah tidak jelas.
Maya mengerutkan keningnya. Dirinya bahkan sudah mengajak sang suami makan, tapi yang diajak malah tidak ada respon sama sekali. "Maaf, saya kira anda tidak mau makan," ucap Maya, memilih mengalah, dari pada harus berdebat di depan makanan. "Ayo makan! Hanya masakan desa sederhana, semoga suka," lanjut Maya, dengan cekatan menata piring kosong Erwin dengan berbagai hidangan yang sudah dirinya masak.
Erwin melirik sekilas ke arah piringnya. Ada urap dan bermacam-macam sayur, tempe goreng, tahu goreng, ikan goreng, semuanya serba digoreng, dan tak lupa sambal terasi yang terlihat begitu menggugah selera.
"Hanya ini saja?" tanya Erwin, sok jual mahal.
Maya mengangguk, lalu duduk di kursinya sendiri. "Hanya ini, makanan sederhana," jawab Maya dengan santainya.
"Aku tidak terbiasa dengan makanan seperti ini. Apa tidak ada menu lain lagi?" protes Erwin.
"Maaf, uang saya hanya cukup beli bahan ini saja. Jadi, yang ada cuma ini saja," sahut Maya, setelah itu memulai makan paginya yang kesiangan, tanpa mempedulikan Erwin yang masih berdiri dengan wajah kesalnya.
Mau makan, ya, makan saja. Kalau tidak mau, juga tidak apa-apa. Memberi uang tidak, banyak tingkah, batin Maya, tersenyum miring tanpa Erwin sadari.
Tangan Erwin menarik kasar kursi di depannya. Kata-kata Maya, bagaikan sebuah tamparan keras untuk Erwin, yang memang tidak ada memberi satu rupiah pun uang kepada Maya. Dengan kesalnya, Erwin memakan makanannya.
Baru satu suap makanan masuk ke dalam mulutnya, mata Erwin langsung terbuka lebar.
Ternyata enak juga, malah enak sekali. Pintar masak juga gadis desa ini. Sedangkan Giska, mana pernah dia masak di rumah untuk aku, batin Erwin memuji masakan Maya dalam hati.
"Bagaimana? Apa enak?" tanya Maya, yang sedari tadi memperhatikan Erwin makan dengan lahapnya.
"Enak tidak enak, ya, tetap harus dimakan. Jangan terlalu percaya diri kamu! Aku hanya menghargai makanan saja," ketus Erwin, merasa malu mengakui, jika makanan itu memang enak.
Maya mengangguk, gadis desa itu memilih untuk tidak terlalu banyak bicara saat makan. Sedangkan Erwin, setelah mengatakan itu juga melanjutkan makannya tanpa bicara satu patah kata pun.
"Mau tambah?" tanya Maya, melihat isi makanan di piring Erwin sudah hampir habis.
"Tidak usah!" tolak Erwin, dengan ketusnya. "Tapi, kalau kamu memaksa, aku tidak akan pernah menolak rezeki," lanjut Erwin, perutnya memang masih sangat lapar.
Maya tersenyum sekilas, lalu berdiri mengambilkan makanan untuk Erwin. Saat Maya ingin menuangkan nasi ke dalam piring Erwin, tangan Maya tidak sengaja bersentuhan langsung dengan kulit tangan Erwin. Tatapan keduanya saling berpandangan, sebelum akhirnya Erwin beranjak berdiri.