Berdebat

1037 Kata
Maya duduk bersandar di sofa ruang tamu di rumah barunya. Tanpa Maya tau harus melalukan apa. Tas kain lusuh yang dibawanya dari desa juga masih tergeletak begitu saja di lantai keramik. Erwin pergi tanpa mengatakan apa-apa. Hari pertama Maya menginjakkan kaki di kota, nyatanya tidak seindah bayangannya sewaktu berada di desa. Dengan lesunya Maya beranjak dari duduknya. Menyusuri setiap sudut dan ruangan yang ada di rumah itu. Dengan tas lusuh yang tetap setia dia jinjing, kini Maya berdiri di depan pintu yang dirinya yakini itu adalah pintu kamar yang akan dia tempati. Perlahan Maya membuka pintu kamar. Kamar berukuran besar dengan nuansa hijau, sedikit menyegarkan hati dan pikiran Maya saat melihatnya. "Apa hidup di kota memang seperti ini? Orang terlihat sibuk dengan kegiatan dan urusan masing-masing. Bahkan di hari pertama pernikahan sendiri," Maya bermonolog sendiri, meratapi nasibnya yang sekarang. Duduk sebentar di atas kasur empuk berwarna putih. Maya langsung beranjak merapikan barang bawaannya. Hidup seorang diri memang sudah biasa Maya jalani. Bahkan semenjak kepergian kedua orang tuanya karena sebuah kecelakaan. Hanya saja, sekarang ini berbeda. Dulu hidup sendiri dengan menyandang status gadis. Sekarang dirinya sudah menyandang status istri, dari pria kota yang mengabaikannya. Waktu sudah menunjukan pukul tujuh malam. Adzan magrib sudah berkumandang. Maya yang sudah terbiasa dengan semua itu, bergegas berjalan menuju kamar mandi yang ada di dalam kamar. Disaat Maya sedang bersujud dan bersimpuh di rumah barunya, lain halnya dengan Erwin yang sedang asyik bermesraan dengan istri sahnya. Di rumah besar yang merupakan rumah utama Erwin dan Giska, keduanya sedang mentertawakan nasib Maya dan merayakan awal keberhasilan rencana Erwin. Bahkan, saat adzan berkumandang pun, keduanya nampak acuh. "Apa gadis kampung itu tinggal di rumah yang ada di Melati?" tanya Giska, bergelayut manja di d**a bidang Erwin. "Hem, seperti yang kamu bilang. Aku meninggalkan dia di sana, lalu pulang ke rumah ini menemui kamu. Semuanya sudah beres, tinggal menunggu waktu yang pas untuk membangun lahan itu menjadi resort penghasil uang untuk keluarga kita," sahut Erwin dengan liciknya. "Tapi ini hanya bertahan selama 40 hari saja kan? Awas saja kalau sampai lebih dari itu!" ancam Giska, wajahnya terlihat cemberut. "Kamu tenang saja Sayang, semuanya akan berjalan sesuai rencana. Kamu hanya perlu bersabar saja untuk sementara waktu ini," ujar Erwin meyakinkan sang istri. "Hem, baguslah kalau begitu. Semoga saja berjalan sesuai rencana. Oh iya, apa gadis kampung itu satu mobil dengan kamu saat menuju ke kota?" tanya Giska, dari raut wajahnya tampak tidak suka. "Mau bagaimana lagi? Aku terpaksa membawanya ikut dalam mobil. Tapi, kamu tenang saja. Aku sudah meminta kang Ujang untuk mencuci mobil sampai kebagian terdalamnya. Semua bekas gadis kampung itu pasti hilang tanpa sisa," sahut Erwin. "Sayang, apa ini tidak berlebihan? Bagaimana jika orang lain tau, kamu punya istri lain lagi selain aku? Apa kamu tidak malu nantinya? Apalagi yang jadi istri kedua kamu itu hanya gadis desa yang bodoh dan lugu," cibir Giska. "Sudah aku katakan sebelumnya, kamu tenang saja. Semuanya aman, dan ini tidak berlebihan sama sekali. Aku tidak mungkin mengambil gadis seperti dia untuk dijadikan istri, tanpa ada keuntungan besar yang aku dapatkan. Jadi, kamu stop berpikiran yang tidak-tidak atau khawatir. Semuanya aman terkendali, dia juga tidak mungkin ke mana-mana. Kata bibi dan pamannya, ini kali pertama dia pergi ke kota. Jadi, aku yakin dia tidak akan berani pergi jauh-jauh dari rumah itu," ucap Erwin. "Baguslah kalau begitu. Kalau sampai orang-orang tau, kamu menikah lagi dengan gadis kampungan. Bisa rusak citraku di depan teman-temanku. Kalau saingannya oke sih, mungkin masih mending. Ini saingannya hanya gadis kampung yang bodoh, lugu, dan aku yakin wajahnya pasti sangat jauh di bawah standar nasional," Giska terus saja bicara semaunya mencibir bahkan menghina Maya. Sayangnya dia lebih cantik dari pada kamu, Gis. Kalau sampai kamu tau dan bertemu langsung dengan dia, kamu pasti akan malu sendiri. Wajahnya masih original, sedangkan kamu sudah banyak permakannya, batin Erwin, tersenyum masam mengingat bagaimana sang istri selalu mempermak wajahnya di dokter kecantikan. "Kenapa kamu diam saja? Yang aku katakan itu benar kan?" tanya Giska, menarik lengan Erwin. "Iya, kamu benar. Oh iya, besok pagi aku harus kembali ke rumah itu. Aku hanya malam ini saja menemani kamu tidur. Kalau lama-lama di sini, dia pasti akan curiga. Bisa-bisa lahan itu tidak jadi berpindah tangan," ucap Erwin, mengalihkan pembicaraan. "Kenapa cepat sekali? Bukannya perjanjian awal tidak seperti ini? Kenapa sekarang kamu berniat menghabiskan waktu dengan gadis desa itu?" Giska tidak terima dengan keinginan Erwin. "Bukannya mau menghabiskan waktu dengan dia. Kamu harusnya mengerti, ini semua juga demi kita. Kalau aku berhasil membangun resort di lahan itu. Yang untung bukan hanya aku, tapi kamu juga. Uang belanja kamu sudah pasti akan semakin banyak," ucap Erwin, menjanjikan Giska. "Hem, awas saja kalau kamu bohong! Kamu boleh satu minggu di rumah itu. Aku mau minta ijin sekalian, besok aku juga mau pergi sama teman-temanku ke vila yang ada di kota B. Kamu tidak apa-apa kan?" tanya Giska. "Mau liburan lagi? Bukannya satu minggu yang lalu kamu baru saja liburan. Masa iya harus pergi lagi? Ingat Gis, kita sedang program hamil. Kalau kamu pergi-pergi terus, kapan kamu mau hamil? Kita sudah lima tahun menikah, masa belum punya anak juga?" Erwin benar-benar geram mendengar Giska akan pergi. "Kenapa kamu malah membentakku seperti ini? Biasanya kamu juga tidak masalah. Apa semua ini karena gadis itu? Aku sudah berbaik hati mengijinkan kamu menikah lagi, aku juga sudah mengijinkan kamu tinggal di rumah itu selama aku pergi. Kenapa kamu malah membawa-bawa anak?" bentak Giska, tak kalah geram. "Oke kamu boleh pergi. Hanya satu minggu saja, jangan sampai lebih! Setelah itu, tidak ada pergi liburan lagi. Satu lagi, aku seperti ini bukan karena gadis desa itu. Siapa dia, sampai bisa membuatku berubah? Aku seperti ini hanya karena menginginkan anak dari kamu. Itu saja. Semua yang aku lakukan sekarang juga bukan hanya untuk aku seorang, kamu juga menikmatinya," Erwin beranjak dari tempat tidur. Perasaannya benar-benar kesal menghadapi sang istri yang selalu saja memilih bersenang-senang. Disaat Erwin sedang berdebat dengan Giska di rumah utama. Maya justru terlihat asyik menyiapkan makan malam untuk dirinya sendiri. Ditinggalkan saat malam pertama pernikahan memang menyedihkan sekali. Tapi, sebisa mungkin Maya bersikap biasa saja. Semua pemikiran buruk yang tadinya sempat terpikir, dirinya buang jauh-jauh dan terus mencoba berpikiran positif. Padahal, semua pemikiran positif itu nyatanya hanya kenegatifan yang terjadi.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN