Apakah Dia Marah?

784 Kata
"Bisa gak sih, kamu gak body shaming sama orang?" Aku yang kesal dan semakin gondok melotot saat mengungkit kejahatannya. Tak salah kan kalau aku menyebutnya penjahat? Bahkan nyinyirnya dia lebih parah daripada Lambe Turah yang followernya jutaan di IG. Huh! "Oh, ya, maaf. Cuma sedang menyampaikan fakta. Dan sepertinya lu butuh minum Appeton Weight Gain, deh." Ringan sekali dia berucap. Seperti tak takut dosa saja. Aku memalingkan muka, tak mau lagi berdebat karena tenagaku seolah telah terkuras sejak kedatangannya ke kafe ini. "Ya udah, gue pulang duluan." Dengan santai, Dokter Afzan berjalan meninggalkanku yang tengah berdiri kaku. "Mas, tunggu!" Aku segera menutup mulut saat menyadari memanggilnya dengan panggilan mas secara refleks. Dokter Afzan yang hampir sampai di pintu keluar, menoleh dan menatapku seraya membulatkan bibir membentuk huruf O. "Modus modus …! Giliran butuh pertolongan aja manggilnya mas, kalau nggak, nyebutnya preman" cibirnya menyebalkan. "Kenapa, heh?" Dia menaikkan sebelah alisnya saat bertanya dengan nada yang terdengar menyepelekan. "Ralat, ish. Maksud aku ... Pak, lah." Aku yang telah berdiri di sampingnya menegaskan kalau panggilan mas yang kuucapkan tadi adalah sebuah kesalahan. Dokter Afzan terlihat menggeleng pelan mendengar penjelasan yang kuungkapkan dari hati terdalam. Ah, sudahlah tidak penting. Aku cuma perlu tumpangan sekarang. Aku tak mau ibu tiriku menjelek-jelekkanku di depan Papa kalau sampai pulang lambat. Muak rasanya selalu dimarahi oleh Papa karena wanita menyebalkan itu selalu mengadu. "Entar sampe rumah aku ganti, deh duitnya," ucapku takut-takut saat mengikuti langkah sang dokter yang berjalan santai menuju tempat di mana kendaraannya diparkirkan. Seperti tak mendengar, dokter jangkung ini mengabaikan ucapanku. Mataku membelalak saat menyadari orang yang kuharapkan kebaikannya kali ini ternyata menaiki motor besar. Bukan. Bukan aku matre dan pilih-pilih. Aku cuma berpikir apa nyaman berboncengan menggunakan motor besar dengan orang yang baru dikenal? "Ngapain lu bengong?" Aku tersentak dari lamunan saat menyadari Pak Dokter sudah menaiki motornya. "Gak jadi ikut?" tanyanya dengan tangan kanan menyambar helm. "Jadi," jawabaku gugup. Dari pada kena marah Papa, lebih baik aku memanfaatkan kebaikan dokter rese ini. Aku yakin, dia tak akan berbuat asusila. Masa iya dia yang seorang dokter bakal menodai profesinya dengan perbuatan m***m? Tidak mungkin kan? Ragu-ragu aku naik ke atas motor besar milik Dokter Afzan. Meski baru mengenal, aku tetap meyakinkan diri kalau dia memang orang baik. Ya, dia orang baik. Aku terus berbisik dalam hati. Saat duduk di jok belakang motor Pak Dokter, kemarahan Papa sudah membayang di kepala. Ya Allah, semoga nanti tak ada yang melihat aku diantar dokter rese ini. Tanpa diminta, bayangan pahit perpisahan Papa dan Mama di masa lalu menghinggapi pikiran membuat hatiku tiba-tiba terasa kalut. Dan refleks, tanganku memeluk erat tubuh Dokter Afzan sekadar mencari ketenangan atas rasa tak nyaman yang selama ini mengacaukan hati. Benar kata orang, perceraian kedua orang tua amat menyiksa psikologis anak mereka. Termasuk aku yang sudah 13 tahun ini merasakannya. Buru-buru aku melepas pelukan dengan kaku saat menyadari telah memeluk terlalu erat lelaki yang kini memboncengku. "Maaf," ucapku gugup. Ya ampun, tangan! Main peluk saja, sih? Orang baru kenal juga! Aku menyesalkan tanganku yang tak tahu diri karena main peluk dokter satu ini. Dokter rasa preman yang tampaknya sedang fokus membawa motornya, tak menggubris ucapanku. Dia cuek atau jaim, ya? Kenapa dari tadi aku dikacangin terus? Selama dalam perjalan kami tak banyak bicara. Hanya sesekali kami bercakap ketika aku memberi tahu di mana jalan menuju rumahku padanya. Jantungku berdetak hebat saat sepasang mataku menangkap Papa berdiri sambil berkacak pinggang di depan pagar rumah kami, saat aku yang pulang diantar oleh dokter Afzan sampai di rumah. Ya Allah, kenapa kau tak mengabulkan doaku? Dari ekor mataku, aku bisa melihat muka Papa merah padam ketika menatapku turun dari motor besar sang dokter. Dokter Afzan mengangguk ramah sesaat membuka kaca helmnya ketika berpandangan dengan Papa yang mukanya tampak garang dan tak bersahabat. Papaku menunjukkan wajah sinis menanggapi sikap ramah sang dokter. "Siapa dia, Tiara?" Suara Papa terdengar berat. Aku tahu, Papa tak suka kalau aku menghabiskan waktu untuk berpacaran. Tak berfaedah katanya. Menurutnya lebih baik aku menikah muda daripada pacar-pacaran yang katanya cuma banyak mendatangkan efek negatif. OMG? Aku harus menjawab apa sekarang? Apa Papa bakal percaya kalau aku bilang Dokter Afzan adalah orang yang kebetulan mengantarku pulang karena putrinya lupa tak membawa uang dan ponsel miliknya mati? Apa Papa akan percaya? "Ca-calon suami Tiara, Pa. Dia bakal ngelamar Tiara minggu depan," jawabku sekenanya. Papa nampak tercengang mendengar jawaban yang kuberikan. Sementara Dokter Afzan yang masih mengenakan helm terbelalak mendengar ucapanku. Mungkin dia tak akan pernah menyangka aku bakal benar-benar mengatakan bualannya di depan Julia saat di kafe tadi. Takut-takut aku menatap wajah dokter Afzan yang memandangku seolah tak percaya. Apa dia marah? Pasti iya. Lihat saja wajahnya. Sudah jadi seperti tomat sekarang. Matang lagi itu tomatnya, ya ampun!
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN