Bukan Cewek Murahan

902 Kata
Apa dia bilang barusan? Ngompol? Dadaku bergemuruh menahan rasa kesal yang kian menjadi pada dokter preman ini. Ya ampun ... mimpi buruk apa aku tadi malam? Kenapa soreku suram? "Ngompol kamu bilang?" Aku mengentakkan kaki dan menatap Dokter Afzan penuh kekesalan. Sungguh, bertemu untuk kedua kalinya dengan dokter ini membuat harga diriku jatuh sampai ke dasar jurang. Tanpa rasa bersalah, dokter menyebalkan ini menahan tawa melihat kemarahan yang pastinya jelas tergambar di wajahku. "Maaf, ya, Jul, aku tinggal dulu. Pacar aku ini emang gampang ngambek." Belum sempat kulempar sumpah serapah, dokter bengis ini menarik tanganku dan membawaku menjauh dari hadapan Julia dan Nindi yang sedari tadi menahan tawa melihat drama murahan ini. Aku tak menyangka rasa setia kawan dalam diri Nindi musnah seketika, saat bertemu dengan dokter yang menurutnya tampan. Mengecewakan. "Nyebelin!" Aku menginjak kaki dokter Afzan dengan kuat saat kami sudah sama-sama berdiri di depan toilet perempuan. "Aw, si*lan lu, Cewek Alay!" Gigi dokter Afzan bergemeretak dengan mata melotot tajam saat menatapku. What? Setelah mengataiku ngompol sekarang dia mengataiku alay? Sungguh terlalu! "Cowok bengis!" Kini giliran aku yang memaki. Dokter Afzan tampak santai menanggapi. Aku heran, selalu ... saja dia santai dalam menanggapi kemarahanku sejak tadi. Apa mukaku terlalu imut? Entahlah. "Lagian, ngapain kamu ngaku-ngaku jadi pacar aku?" Aku memprotes sandiwaranya saat di depan Julia tadi. Dokter Afzan bersiul santai mendengar pertanyaan dariku. Nada marah yang pasti jelas tertangkap, tak membuatnya terpengaruh sama sekali. "Halah! Padahal dalam hati bersorak gembira, tuh, diakuin sebagai pacar cowok sekeren gue," cibir dokter berkulit putih ini padaku. Aku terpelongo. Apa dia bilang? Aku bersorak gembira? Dan … dia juga mengatakan dirinya keren? Over confidence sekali Pak Tua ini. Malas berdebat, aku menarik langkah menuju tempat di mana aku duduk bersama Nindi tadi. Aku terhenyak saat menyadari sahabat baikku sudah tak ada di sana. Di mana dia? Segera kuambil ponsel dari dalam saku celana jeans yang kukenakan. Siapa tahu aku menemukan jawaban atas kepulangan sahabatku yang begitu mendadak dan tanpa kabar berita. [Ra, aku pulang dulu, ya, Mama masuk RS] [Udah aku bayarin,kok] [Ntar kamu pulangnya bisa minta dianterin sama pacar baru kamu, ya.] [Kamu punya pacar diem-diem bae! Takut aku embat, ya …?] Pesan w******p beruntun diiringi banyak emoticon tertawa sampai keluar air mata Nindi kirimkan padaku. Tak cuma itu, berbagai stiker, dari stiker pentol, stiker bergambar Mimi Peri serta stiker orang mengunyah sandal pun melengkapi ejekan Nindi kali ini. Sahabat gak ada akhlak! Aku merutuk kesal membaca setiap pesan dan stiker-stiker bernada ejekan yang Nindi kirimkan padaku. Tak tahukah kau, Nindi, dia cuma dokter 'begajulan' yang mengaku jadi pacarku. Bukan pacar beneran! Aku menggigit bibir saat menyadari tak membawa uang cash. Ah, ya. Aku harus top up e-money kalau mau naik ojek atau taksi online sebelum pulang. Belum sempat aku membuka internet banking, ponselku yang baterainya tadi tinggal dua persen saat membaca pesan dari Nindi, mati. Ya ampun! Harus bagaimana aku sekarang? Ponsel mati, uang pun tak ada. Lengkap sudah penderitaanku kali ini, ya Tuhan. Aku meremas jari jemari dengan kaku. Bingung harus melakukan apa sekarang. Apa aku harus meminjam charger pada pelayan kafe? Ah, malu. Tapi … kalau tidak seperti itu bagaimana aku pulang? Masa iya jalan kaki? Bisa encok jalan sampai tiga kilometer. "Kenapa lu, Lay?" Tak ada hujan tak ada angin, dokter yang omongannya selalu ceplas-ceplos berdiri sambil menyilangkan tangan di hadapanku tiba-tiba. Aku mencebik kesal. "Gak sopan ganti-ganti nama orang sesuka hati! Nama aku Tiara, bukan Alay!" ketusku. Kebetulan ada dia, kan, jadi aku bisa menumpahkan rasa marah yang sedang menguasai hati. Lumayan kalau sudah tersalurkan, biar tidak gondok-gondok amat. "Ck ck ck! Mana temen lu tadi? Kasian amat ditinggal? Apa dia sebel karena setiap jalan lu minta ditraktir mulu?" Sekonyong-konyong dokter rese ini menuduhku dengan tuduhan yang bukan-bukan. "Jangan sembarangan, ya, kalau ngomong!" Dengan mata kepala sendiri aku bisa melihat dia begitu puas melihatku marah. Jadi penasaran, bagaimana kalau dia sedang dinas, bisakah dia serius dan bersikap ramah pada orang? Namun, masa iya aku harus kena syaraf kejepit dulu kalau mau melihatnya menangani pasien? Amit-amit …. Tak mau adu mulut lagi, aku berjalan menuju tempat di mana para pelayan kafe sibuk menyiapkan pesanan. Ya, aku harus menanggalkan rasa malu untuk sementara, dari pada harus pulang jalan kaki. "Mbak, ada charger?" Ragu-ragu aku bertanya pada pelayan kafe. Namun, ternyata pertanyaanku tak digubris. Ah, posisiku saat ini benar-benar sudah seperti orang yang hendak meminta sumbangan tapi tak dipedulikan. Sakit juga ternyata rasanya, ya? "Lay, ngenes amat nasib lu dikacangin sama pelayan kafe?" Lagi, tanpa diundang dan diminta, dokter preman datang mendekat sekedar untuk mengejek. Huh! Apa dia tak ada kerjaan lain, selain membuntutiku sekarang? Aku yang sedang kesal, diam tak menanggapi ejekannya. Aku tak mau buang energi untuk meladeninya yang seperti sedang puas melihat penderitaanku. "Lu mau pulang? Terus, ga ada duit? Handphone mati?" Ck! Sudah seperti Detektif Conan saja Pak Dokter ini sekarang. "Iya, Pak …." Aku sedikit menurunkan intonasi karena merasa posisiku saat ini tak memungkinkanku untuk bersikap angkuh. "Mau gue anter pulang?" tanyanya datar. Membuatku menatapnya tajam. "Tapi kamu nggak minta imbalan apa-apa, kan?" Aku menyelidik muka Dokter Afzan, mencari-cari adakah ketulusan dari kebaikannya kali ini. "Minta, lah! Emang di dunia ini apa yang gratis?" jawabnya santai. "Ya udah gak jadi! Maaf aku bukan cewek murahan, ya, Dok!" sambarku dengan hati masygul. "Emang dikira lu menarik, terus gue doyan sama lu? Krempeng begitu!" Ya ampun, setelah ngompol lanjut alay sekarang dia mengataiku kerempeng? Kurang ajar!
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN