Kayla Nadinda, perempuan dengan kemeja biru cerah itu berjalan menuju pintu rumah sahabatnya yang masih diterangi oleh lampu-lampu mahal setelah melewati pagar hitam yang menjulang tinggi. Siapa lagi kalau bukan Rere?
Dengan pakaian layaknya seorang wanita ingin melamar kerja, Kayla berdiri tegap untuk menekan bel rumah yang megahnya sampai berkali-kali lipat dari kediamannya sendiri.
Empat kali menekan bel, Rere belum juga membukakan pintu. Retina cokelat madu itu terlihat layu, pagi buta seperti ini sangat tidak masuk akal untuk melamar kerja. Apalagi Kayla sangat tahu betul jika Rere adalah anak dari pengusaha tekstil kaya raya. Tanpa harus bekerja pun, Rere sudah bisa hidup damai, tenteram dan sejahtera.
Aneh sekali bukan?
"Kay, besok lo harus dateng pagi-pagi ke rumah gue ya! Jangan sampe enggak. Kita mau ngelamar kerja jam 4 pagi, dan lo ngga usah banyak tanya. Bye!"
Begitu kata Rere, ketika perempuan berambut ikal tersebut meneleponnya tanpa menyapa. Bahkan, Kayla tidak diberi kesempatan untuk berbicara.
Bagaimana bisa melamar kerja pada jam empat pagi? Terlebih, baru kemarin mereka wisuda. Surat Keterangan Kelulusan pun belum mereka dapatkan apalagi Ijazah yang notabenenya sangat penting untuk melamar pekerjaan.
Kayla ingin menekan bel lagi, namun pintu sudah terbuka sangat lebar. Menampilkan sesosok pria bertubuh tinggi. Mungkin jika dibandingkan dengan tubuh Kayla yang hanya setinggi 165 cm, pria di hadapannya bisa mencapai 180 cm.
"Kamu... cari siapa?"
Kayla sudah mengenal siapa manusia yang bertanya kepadanya. Namun, ini baru kali kedua pertemuan Kayla dan Reno -kakaknya Rere, selepas wisuda kemarin.
"E-eh, Om Reno." Kayla menyapa, bibir tebalnya mengulas senyuman manis, membuat Reno menatapnya tanpa berkedip barang sejenak.
"Ck, saya bukan om kamu. Saya juga masih muda, jangan panggil saya seperti itu. Umur saya baru--"
"Dia udah tua, Kay. Jangan mau, hih," pangkas Rere, perempuan yang tak kalah putih dari kakaknya itu mengendus menjijikkan ketika mendengar rangkaian kata-kata yang keluar dari mulut sulung Athalas.
Kayla tak bergeming.
Ternyata... perempuan berkulit sawo matang itu takut. Aura yang dipancarkan oleh Reno berhasil membuatnya panas dingin.
"Masuk Kay, jangan dengerin celotehannya Om Reno si tua bangka yang ngga kenal umur itu." Rere menyindir, menatap sinis Reno yang tengah melototinya.
Kayla hanya bisa tersenyum kikuk, dia melangkah perlahan untuk memasuki rumah sahabatnya, melewati Reno yang masih berdiri diambang pintu yang terbuka lebar.
"Lo langsung ke kamar gue aja, Kay."
Rere memerintahkan sahabatnya yang tak jua menjawab, tapi langsung menuruti perintahnya. Menaiki anak-anak tangga sampai berada di hadapan kamar Rere dan memasukinya.
"Amnesia dengan syarat yang saya buat kemarin?"
Rere menatap lekat kakaknya.
"Gue ngga lupa. Mending lo diem aja, gue punya cara sendiri buat nyatuin lo sama Kayla." Rere membuang napasnya dengan kasar. "Lagian ngapain si lo buru-buru amat. Kebelet kawin ya lo?"
Kurang sopan memang, tetapi Rere sudah membuat skenario yang terbaik untuk kakaknya. Walaupun Reno berbakat dalam segala hal, tetapi pria itu sangat lemah jika berurusan dengan perempuan. Maklum, ini hal pertama yang dilakukan Reno semasa hidupnya.
Rere berjalan menjauh, meninggalkan kakaknya yang masih terpaku diambang pintu.
Tak luput dari pandangan Reno, dia terus menatap Rere hingga adiknya itu berbalik menatapnya juga. Tanpa rasa takut, Rere menjulurkan lidahnya.
Melihat kelakuan Rere, Reno hanya menggeram.
***
Tingkah adik-kakak itu membuat Kayla yang kini tengah duduk di single sofa dalam kamar Rere melamun. Tenaga matanya sudah hampir redup.
Rupanya... Kayla benar-benar mengantuk.
"Kay," panggil Rere.
"Apa?"
"Lo jangan tidur, Kay." Rere memperingati.
"Gue ngga tidur Re, cuma merem doang," ujar Kayla. "Lagian lo ngapain sih ngajak ngelamar kerja pagi-pagi kayak gini?"
"Loh-loh-loh, ngelamar kerja 'kan emang seharusnya pagi."
Kayla bangkit dari sofa, dia terbawa suasana oleh kata-kata Rere.
"Ya tapi ngga sepagi ini juga, Re. Lo gak liat sekarang masih jam setengah lima?"
"Emangnya yang bener jam berapa?"
"Astaga, lo punya kakak, kenapa ngga lo tanya aja sih?"
Rere memutar bola matanya. "Cowok yang tadi maksud lo?"
Kayla mengangguk. "Emangnya siapa lagi? Masa satpam rumah lo sih."
"Kayaknya iya deh, Kay. Pak satpam itu lebih cocok dijadiin kakak gue dibanding om-om tadi."
Sudahlah, berdebat dengan Rere itu meracuni akal pikiran. Akan lebih baik jika Kayla pergi ke dapur, membuat cokelat panas yang akan memanjakan mata serta pikirannya.
"Lo... mau ke mana?"
"Dapur. Lo mau gue buatin cokelat panas?"
Rere mengibaskan tangannya ke kanan dan ke kiri, dia menimang tawaran Kayla.
"Kayaknya... cokelat dingin lebih pas buat gue."
Terserah lah, Kayla menurut saja.
***
Di dapur, Kayla sedang menunggu air mendidih dari dalam panci. Walaupun sudah ada dispenser mahal yang airnya sudah siap dipakai kapan saja, tetapi merebus air lagi apa salahnya?
Kalau ada yang susah, kenapa harus yang mudah?
Kayla cekikikan sendiri, air yang dia rebus sudah hampir mendidih dan bergelembung. Cokelat sachet juga sudah dia buka bungkusnya. Sisanya, Kayla hanya perlu memasukkan air rebusannya ke dalam cangkir.
Perempuan hitam manis itu mengambil lap kecil untuk memegang gagang panci, dia mengangkat pancinya lalu berbalik badan dan--
"Ahhw!!!"
Kenapa Reno bisa berada di belakangnya?
"Kak Reno ngga pa-pa?!"
Kayla panik, panci itu sudah terjatuh, air panasnya pun sudah mengenai kaki Reno.
Astaga.
Kayla benar-benar panas dingin sungguhan. Ditambah Reno yang tidak menjawab pertanyaannya melainkan terus meringis perih.
"Kak Reno, ayo!"
Karena panik, Kayla menarik tangan Reno ke atas pundaknya. Perempuan mungil itu mencoba membopong dan mengajak Reno untuk duduk di kursi dapur walaupun pria itu bisa melakukannya sendiri.
"K-Kayla ambilin kotak P3K-nya dulu ya, Kak. Kak Reno tunggu di sini jangan ke mana-mana, oke?"
Reno berkedip, pria itu menurut saja seperti bayi.
Matanya terus melihat punggung Kayla yang berjalan ke sana-ke mari mencari kotak P3K, membuat Reno tak bisa lepas pandang dari perempuan manis yang sudah membuatnya terpikat.
Kenapa Kayla tidak bertanya saja pada Reno mengenai di mana rumah ini menyimpan kotak obatnya?
Ck, 'kan sudah dibilang kalau ada yang sulit kenapa harus mengerjakan yang mudah?
Satu menit mencari, Kayla menemukannya. Perempuan dengan rambut sebahu itu berjalan mendekat ke arah Reno, lalu berjongkok di hadapan korbannya.
"Kak, Kayla minta maaf ya." Kayla berkata sambil mengobati kaki Reno yang sudah memerah. "Kayla minta maaf banget, Kayla ngga tau kalo ada Kak Reno di belakang Kayla."
Ngga pa-pa Kay, saya juga ngga akan pernah bisa marah sama kamu. "Hm."
Kayla diam, mendengar deheman Reno membuat hatinya teriris. Apa Kayla terlalu salah ya?
"Maafin Kayla, Kak. Kayla janji bakal ngobatin kaki Kak Reno sampai sembuh."
Reno tersenyum kesenangan.
Dengan senang hati, Kayla. Apa perlu kaki saya tidak usah sembuh selamanya agar kamu bisa terus mengobati saya setiap hari? "Hm."
Demi apa pun, Kayla merasa bersalah.
Reno yang asyik dengan guratan pikirannya sendiri tanpa sengaja menatap ke arah lantai dua. Lebih tepatnya pada pintu kamar Rere, dia melihat adiknya sedang berkomat-kamit di atas sana seraya bergantian menatapnya dan Kayla.