"Kak Reno," panggil perempuan berusia delapan belas tahun itu.
"Hm?"
"Besok Rere wisuda, Kak Reno mau 'kan temenin Rere?" tanyanya.
"Gak."
"Kak Reno, please... temenin ya, Kak?" Rere memohon, perempuan dengan netra hitam pekat yang sama persis seperti kakaknya itu sudah mengambil ancang-ancang untuk menangis. "Rere janji bakal ngelakuin apa aja deh buat Kak Reno, ya-ya-ya? Temenin Rere ya?"
"Mana orang tua kamu?" Reno bertanya dengan nada dingin, matanya menatap salah satu menu dari sepuluh lauk di atas meja makan.
Rere merasa frustrasi. "Ish Kak Reno, papi sama mami 'kan juga orang tuanya Kakak!"
"Hm."
"Astaga Kak Reno, mau ya, Kak? Lagi pula kalo mami sama papi ngga pergi honeymoon, Rere bakal minta ditemeninnya sama mereka kok, bukan sama Kakak." Rere... seperti berbicara dengan batu.
Kakaknya itu super dingin. Namanya, Reno Athalas. Kata maminya, dari bayi pun sifat Reno sudah terlihat dingin, angkuh, susah bicara kalau bukan tentang hal yang tidak penting dan dia adalah orang yang sok paling berkuasa. Tidak ada yang bisa menentang keinginannya, pria dewasa itu sungguh keras kepala. Jika sudah ada maunya, ya sudah, dia akan menjadi semuanya.
Kakak kurang ajar.
"Hm."
"Ish alah!" mungkin kalau bukan karena kepepet, Rere tidak akan mau memohon seperti ini pada kakaknya. "Jadi, gimana niiih. Kak Reno mau ngga?"
Rere... membuat selera makan Reno menurun. Pria itu menatap mata adiknya setelah menyapu lauk-lauk yang sudah memanjakan mata.
"Repot. Sewa orang tua sana."
Merasa sudah gagal menjadi Adik, Rere akhirnya pergi menuju kamar. Meninggalkan Reno sendiri di ruang makan yang sepi nan hampa itu, membiarkan banyak sekali makanan yang tidak termakan meminta untuk disentuh oleh kegagahan tangan kakaknya.
Pria dewasa itu... akhirnya kembali ke kamarnya juga. Dia kehilangan selera makan hanya karena ocehan Rere yang terus berdenging di telinganya.
"Suara Rere, membuat saya mual." Reno bermonolog, dia berjalan menuju toilet yang ada di kamarnya. Menatap cermin yang ada di atas wastafel.
Reno... memejamkan mata, dia memutar kembali kejadian delapan belas tahun lalu ketika dirinya masih duduk dibangku sekolah dasar.
Saat itu, Reno dan saudara perempuannya sedang mengelilingi taman setelah pulang sekolah.
"Dedek bayinya gemoi, namanya siapa, Tante?"
Wanita itu tersenyum, lalu menyebutkan namanya. "Kayla Nadinda."
Mata bulat milik Reno berbinar lucu.
"Kalo dedek bayinya sudah gede, aku mau jadikan dia pengantin." Bersama pipi berisinya, Reno membuat sepasang suami istri itu tertawa.
Reno berkedip. Dia tersadar dari memori belasan tahun lalu. Senyumnya tersungging tipis, mata hitam pekat itu menyapu pahatan wajahnya yang terukir tampan.
"Mungkin usianya saat ini sudah delapan belas tahun, sama seperti Rere." Lagi-lagi pria dingin itu berkedip. "Saya harus menemukan dia, dan dia tidak akan bisa menolak saya. Oh, God. Believe me."
***
Di tempat lain, lebih tepatnya di dalam kamar, ada seorang perempuan yang tengah menyisir rambutnya di hadapan cermin. Hingga helaian demi helaian rambut rapuh itu jatuh di atas pangkuan, membuat sang empunya terus menghela napas dengan lelah.
"Sampai kapan rambut gue rontok terus sih?" monolognya.
Tok! Tok! Tok!
Ketukan pintu terdengar nyaring. Perempuan itu segera beranjak dan membuka pintu kamar, melihat siapa yang datang dan menebar senyuman hangat setelah tahu siapa yang mengetuk pintunya.
"Ada apa Ma?"
"Mama cuma mau melihat kamu sudah tidur atau belum. Ternyata kamu belum tidur. Ada apa Nadin? Besok 'kan sudah hari wisuda kamu."
Perempuan yang disapa Nadin itu langsung mempersilakan mamanya untuk masuk ke dalam kamar dan duduk di atas kasur.
"Aku ngga bisa tidur, Ma," terangnya.
Sang mama hanya tersenyum, dia langsung mengelus surai anaknya dan berkata, "Oke, Mama temani ya?"
Nadin tersenyum. "Oke! Tapi Mama harus ceritain semasa Nadin masih kecil ya, Nadin penasaran kayak apa memorinya."
Clara terkekeh mendengar ucapan anak bungsunya. "Ternyata anak Mama sudah besar ya, nggak nyangka pula kalau besok itu hari kelulusan kamu setelah dua belas tahun sekolah."
Mereka tertawa.
"Nadin, kamu mau tahu ngga, dari kecil pun kamu sudah ada yang taksir loh."
Nadin menyengit, dia terlihat bingung.
"Hah? Maksud Mama--"
"Jadi, waktu Mama sama papa habis jemput kak Reyhan yang baru masuk kelas satu SD, Mama ketemu sama kakak kelasnya kak Reyhan." Clara bercerita, membuat perempuan yang disapa Nadin itu memerhatikannya dengan serius. "Sepertinya kakak kelasnya kak Reyhan itu sudah kelas empat SD deh, dan kejadian itu sudah delapan belas tahun yang lalu."
"Terus?"
"Kamu mau tahu apa yang dia ucapkan ketika melihat kamu pada saat itu?" tanya Clara, memancing keingintahuan anak keduanya.
"Apa, Ma?"
"Anak itu bilang, 'Kalo dedek bayinya sudah gede, aku mau jadikan dia pengantin'... Sampai sekarang, ucapannya masih Mama ingat, anak itu lucu banget, kecil-kecil sudah tahu apa itu pengantin."
Nadin termenung. Lalu mengerjapkan matanya, menatap mata Clara dan bertanya, "Mama tau ngga siapa namanya?"
Kini, Clara yang termenung. Dia berusaha untuk mengingat kejadian itu yang sudah berlalu lama.
"Namanya...," Clara berusaha mengingat lagi. "Mama, lupa namanya."
Nadin menghela napas.
"Yaudah, sekarang kamu tidur, ya. Besok pagi 'kan kamu sudah harus prepare. Begitu pun dengan Mama dan papa." Clara beranjak. "Selamat malam, Nadin."
Tlek!
Lampu kamar dimatikan.
Nadin mulai merebahkan dirinya di kasur setelah menarik selimut hingga menutupi seluruh tubuhnya.
"Padahal gue pengen banget tau siapa namanya."
Ting!
Ada satu pesan masuk. Saat itu juga, Nadin membuka selimut sampai setengah badan. Dia mengambil ponsel yang ada di meja sebelah kasur dan membukanya, melihat nama pengirim yang telah mengirimkan pesan tengah malam begini.
Ternyata... dari sahabatnya.
"Kay, gue bingung parah. Nyokap bokap gue nggak bisa dateng ke acara wisuda besok. Kakak gue yang super dingin bin lempeng kayak sumpit pangsit pun juga nggak mau dateng. Hikssss, sedih banget, Kaylaaaaaa!"
Nadin tersenyum simpul setelah membaca isi pesan yang dikirim oleh sahabatnya. Sahabat perempuannya selalu begitu, mengoceh di mana pun dan kapan pun ketika dia kesal. Lalu ponselnya berdering panjang, menandakan ada sebuah panggilan yang masuk.
Ternyata... panggilan video dari sahabatnya. Dan Nadin pun bisa menjamin jika sambungan video ini terhubung, maka yang terdengar pertama adalah suara yang bisa membuat telinganya berdenging.
"AAAAAAA KAYLA NADINDAAAA!!! GUE SEDIH BANGEEEET. KALO KAYAK GINI, SIAPA DONG YANG BAKAL TEMENIN GUE WISUDA!? AAAAAAAA BIKES BIKESS BIKESSS!!!" Setelah berbicara dengan lengkingannya, perempuan itu menatap layar ponsel. "WOI, MUKA LO MANA, KAY?! GELAP BANGET KAYAK MASA DEPAN KAKAK GUE YANG SURAM, HAHAHA!"
Perempuan yang memiliki nama lengkap Kayla Nadinda itu menguap di dalam kegelapan.
"Masa sih kakak lo gak mau temenin?" Kayla bertanya. "Coba aja lo bujug terus, Re."
"CK! APA SI KAY! GUE UDAH COBA BUJUG DIA. TAPI YANG NAMANYA KEPALA BATU TETEP AJA JADI KEPALA BATU. NGGAK MUNGKIN BERUBAH JADI KEPALA AYAM SEKALIPUN. GUE GAK TAU LAGI GIMANA NASIB PASANGANNYA DI MASA DEPAN NANTI, GUE YAKIN BANGET TUH CEWEK PASTI GAK BAKAL BETAH SAMA KAK RENO! DAN SEHARUSNYA LO TAU DONG KAY KALO KAK RENO ITU NYEBELIN--"
Tut, tut!
Panggilan menyambungkan.
Nadin -atau yang kerap disapa Kayla itu mulai merasa lelah hingga akhirnya tertidur, membiarkan apa yang baru saja terjadi hari ini berlalu begitu saja.