bc

(Bukan) Istri Pilihan

book_age18+
5.1K
IKUTI
60.7K
BACA
HE
arranged marriage
heir/heiress
drama
bxg
brilliant
love at the first sight
affair
lawyer
like
intro-logo
Uraian

Dilihat dari segi mana pun, jelas aku kalah jauh dari mantan istri suamiku. Dia wanita yang tidak hanya cantik, tapi juga cerdas dan berkelas. Pantaslah Mas Yosy masih terus memujanya.

Sementara aku, apa yang kupunya untuk memenangkan cintanya?Berjuang sendiri ternyata melelahkan. Bahkan mamaku tidak pernah memberikan dukungan. Bukankah dia yang menjodohkanku dengan lelaki itu? Mama tidak pernah mau mendengarkan suara hatiku. Namun istri kedua papa, adalah orang yang sabar mendengar keluh kesahku. Meski dia hanya ibu tiri. Memberiku semangat menghadapi pernikahan yang entah bagaimana endingnya.

Sebenarnya aku ini anak siapa? Bukankah aku anak kandung mama?

Cerbung ini spin off dari cerbung BUKAN PERNIKAHAN BIASA.

chap-preview
Pratinjau gratis
Sepi 1
(Bukan) Istri Pilihan - Sepi "Mas, nggak mau mengajakku bertemu Ayunda?" tanyaku pada lelaki yang baru saja duduk di kursi meja makan. "Nanti saja kalau Ayun sudah sembuh. Dia sakit. Mas khawatir kalau kamu ikut, dia tambah histeris," jawab Mas Yosi sambil tersenyum. Histeris? Kenapa dia memilih satu kata yang tak masuk akal ini. Apa selain bodoh, aku ini terlihat seperti hantu yang menakutkan? Atau seperti ibu tiri yang jahat hingga membuat anak suamiku sampai histeris? Padahal sedikit pun aku belum pernah berkata kasar pada anak tiriku itu. Jangankan berkata kasar, menatapnya dengan tajam saja belum pernah. Aku selalu lembut dan ramah padanya. Walaupun ia tidak menyukaiku. Aku sadar akan posisiku, hanya sebagai ibu tiri. Selalu mengalah dalam kondisi apapun. Bahkan saat Mas Yosi harus mendampingi acara sekolahnya Ayunda bersama Mbak Mayang, mantan istrinya. Atau acara lain, jika Ayunda menginginkan papanya ikut serta bersama mereka. Sebenarnya apa sih fungsiku di sini? Usiaku dua puluh lima tahun, apa belum pantas untuk menjadi seorang ibu. Memang selama empat tahun menikah, kami belum dikaruniai buah hati lagi setelah aku sempat keguguran di tahun pertama pernikahan kami. "Maaf, mas pergi dulu, ya. Siang nanti mas sudah pulang," pamitnya sambil mengecup puncak kepala. Menatapku lembut, lalu melangkah pergi. Aku mengantarnya sampai pintu depan. Setelah dia pergi, rumah terasa sepi. Aku kembali ke belakang untuk mengemas bekas sarapan di meja. Sambil berbenah, ingat percakapanku dengan Ruli empat tahun yang lalu. Flashback On .... "Dia duda loh, sudah kamu pikirkan betul-betul kalau mau nikah sama dia?" tanya Ruli. Sahabat yang paling mengerti diriku. Paling tahu bagaimana aku. Tentang diriku yang kata mamaku sendiri anak paling bodoh. Aku yang paling cantik tapi tidak sepandai kedua kakak perempuanku. "Sudah," jawabku singkat. "Kamu juga harus siap dengan anak dan masa lalunya." Aku mengangguk pelan. Ingat bocah perempuan umur tiga tahun yang di kenalkan oleh Mas Yoshi padaku sebulan yang lalu. Anaknya cantik, putih, dan berhidung mancung. Ada yang bilang dia mirip mamanya. Hmm, pasti cantik wanita itu. "Kamu baru umur dua puluh satu, Nas. Masih gampang mendapatkan bujangan. Lagian buat apa buru-buru nikah." Aku tersenyum getir. Kurasa ini pilihan yang tepat, agar aku bisa segera keluar dari rumah mewah bak neraka itu. Rumah orang tuaku sendiri. Namun tidak pernah ada keharmonisan di sana. Dari kedua orang tua yang seharusnya memberikan contoh terbaik untuk anak-anaknya. Lagian mama sendiri yang menjodohkanku dengan duda anak satu itu. Putra dari teman baiknya. "Papamu gimana? Sudah setuju?" "Mungkin setuju." "Kok mungkin?" Ruli mengernyit heran. "Papa akan menuruti apapun keputusan mama. Mama nggak punya pilihan untuk hidupku lagi selain menikah. Mau menyuruhku kuliah, otakku udah nggak bisa mikir pelajaran. Kamu pasti tertawa kalau tahu berapa hasil tes intelegensi-ku kalau dihitung dengan skala binet. Aku mau masuk pesantren, malah diketawain oleh mamaku, oleh kedua kakakku. Mau jadi apa aku? Menghafal pelajaran umum saja nggak bisa, bagaimana aku bisa menghafal Al Qur'an. Mempelajari tafsir. Mereka merendahkan sistem pembelajaran di pesantren. Mereka menertawakanku yang pengen jadi guru Taman Kanak-kanak. "Mereka nggak tahu saja, kalau dari pesantren sudah melahirkan berapa banyak tokoh masyarakat, sarjana, profesor, doktor, yang mumpuni dalam ilmu agama dan ilmu umum. Pesantren memiliki peran penting dalam melahirkan penghafal-penghafal Al Qur'an, melahirkan manusia unggul berakhlak karimah. Dan insan-insan mulia penerus dakwah. Pesantren juga berperan penting untuk mengembangkan pendidikan yang berdampingan dengan ilmu agama." "Apa bisa dibilang mamamu terlalu kolot?" Kolot? Yang berarti sosok dengan pemikiran terbelakang. Tidak. Mamaku justru memiliki pemikiran modern. Kepalanya dipenuhi segala pemikiran jauh ke depan. Bagaimana menjadi perempuan yang kiprahnya tidak akan terkalahkan oleh laki-laki. Bahkan dengan papaku sendiri, mama siap bersaing dan tidak mau tunduk. Terlebih setelah lima tahun lalu, papa mengakui telah memiliki istri lagi. Perempuan berhijab, alim, dan cantik. Penurut juga. Inilah perempuan yang dibutuhkan oleh papa. Bukan wanita penguasa seperti mama. Papa sudah berada di barisan suami-suami takut istri. Namun belakangan ini, terkadang beliau melawan omongan mama yang tak sejalan dengan pemikirannya. Termasuk mengenai rencana mama yang memaksaku untuk kuliah mengambil jurusan ekonomi. Sedangkan kepalaku sudah tidak mampu memikirkan dengan tugas-tugas kuliah yang menumpuk. Angka demi angka beserta rumus yang memecahkan kepala. "Sorry, kalau kata-kataku menyinggungmu," ralat Ruli karena aku diam. "Nggak apa-apa. Sebenarnya mamaku bukan kolot. Pemikirannya malah jauh lebih brilian dari papaku. Hanya saja bagi mama, menjadi guru TK dan mondok itu sangat terbelakang. Nggak bisa melesat seperti dirinya yang menjadi wanita karir sukses. Sanggup memimpin sebuah perusahaan. Memiliki banyak relasi dan kenalan. Pengusaha skala internasional pun menjadi partner bisnisnya." Hening. Ruli menatap awan putih yang berarak di angkasa sore. Dia selalu bilang kalau aku lebih beruntung darinya. Keluarganya tak henti menerima kesusahan yang terus menerus akhibat kemiskinan. Bahkan untuk biaya sekolah SMA saja, berapa kali ia nunggak pembayaran SPP. Berapa kali juga dipanggil ke kantor karena belum membayar uang buku. "Kamu lebih beruntung. Apapun bisa kamu dapatkan dengan mudah. Nggak seperti aku yang pusing memikirkan pelajaran plus pembayaran SPP yang sudah lewat tanggal. Gimana aku bisa fokus pada pelajaran jika tiap hari deg-degan, takut ditagih uang pembayaran. Belum lagi kalau diejek teman-teman dengan pandangan anehnya karena aku paling telat melunasi," kata Ruli sewaktu kami masih duduk di bangku SMA. Akan tetapi Ruli memiliki otak yang cerdas. Encer menerima pelajaran. Berbeda jauh denganku yang bebal. Sering Ruli memberikan contekan padaku. Padahal aku nggak pernah meminta imbalan apapun setelah aku membantunya membayar uang sekolah. Mungkin Ruli kasihan padaku karena selalu salah menjawab dan menjadi bahan ejekan teman dan guru.

editor-pick
Dreame-Pilihan editor

bc

My Secret Little Wife

read
99.0K
bc

Tentang Cinta Kita

read
190.8K
bc

Dinikahi Karena Dendam

read
206.4K
bc

Single Man vs Single Mom

read
97.1K
bc

Siap, Mas Bos!

read
13.7K
bc

Iblis penjajah Wanita

read
3.7K
bc

Suami Cacatku Ternyata Sultan

read
15.5K

Pindai untuk mengunduh app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook