EMPAT

1370 Kata
Aku melangkahkan kaki, menapaki lantai marmer putih mulus dan bersih -ya ampun wajahku kalah kinclong sama lantai- dengan perasaan riang dan gembira. Siapa yang nggak gembira kalau mau ketemu jodoh. Jangan tanya jodoh siapa. Ya jodoh saya lah, Indira Septa Ariyani. Indira Septa Ariyani sedang mengetik... Pak... Bapak.. Bapak dari anak-anak saya Beberapa tahun lagi tapi Read Pesanku diread setelah belasan menit dari statusnya terkirim. Aku sungguh penasaran dengan ekspresinya saat membaca pesanku yang sangat memicu resiko tekanan darah tinggi. ‘Lanjutkan Dira, maju terus pantang mundur. Semangat merdeka melepaskan diri dari kungkungan kejombloan tiada akhir ini’ hipnotisku pada diri sendiri. Indira Septa Ariyani sedang mengetik... Pak saya didepan ruangan bapak ini Nggak mau dibukakan pintu gitu? Sekalian bukakan saya pintu hati bapak ya?! Itu pintu ruangan udah kayak pintu hati anda aja, rapat benar nutupnya. Read Aku menghela nafas bosan. Menunggu memang bukan kegemaranku namun entah bagaimana aku sabar sekali menunggu jodohku datang hingga umurku sudah menginjak angka 23 tahun. Buset dah penantianku akan jodoh sudah selama itu ternyata. Hari ini demi menemui calon imam, aku sengaja meminta izin yang berakhir dengan pemotongan gaji di tempat les. Biarlah...toh dipotongnya cuma gaji 1 kali pertemuan ini. Alih-alih kerumah sakit aku malah langsung mengunjungi tempat prakteknya yang berada disebuah apotik. Aku malas kerumah sakit, pada dasarnya aku menyukai kesederhanaan dan kesimpelan jadi aku benci mengurus hal-hal yang merepotkan dan merumitkanku. "Nomor 14" Aku tersenyum lega ketika akhirnya giliranku untuk bertemu jodoh, eh maksudnya untuk periksa akhirnya tiba. Aku memasuki ruangan yang putih dan dingin itu sambil tersenyum lebar. Ini ruangan dingin karena AC atau karena aura lelaki yang bertahta diruangan ini sih? "Pak Dokter" ucapku riang, tanpa dipersilahkan duduk, aku langsung menarik kursi didepannya. Pria sedingin es di kutub itu menatapku sekilas. "Indira Septa Ariyani" Oh my god...oh my god...frekuensi suaranya dan aura keberadaannya sangat tidak baik untuk kesehatan jantungku. Aku tersenyum manis menanggapinya. Hai calon imam, kenalkan aku calon makmum kamu. Tentu saja kata-kata diatas hanya terucap lewat hatiku bukan mulutku. Tumben ya mulutku bisa di rem? "Nggak lagi hamil kan?" Tanyanya dengan muka tanpa ekspresi dan suara yang tenang. Ini laki satu, mentang-mentang persentase lemak ditubuh aku agak numpuk di perut, seenaknya aja itu mulut mangap. Dengan berat badan 58 kg dan tinggi badan 159 cm, aku memang sedikit berlemak namun tidak sampai ketahap obesitas. Aku selalu merasa badanku okay banget. Terbukti ketika aku menggunakan jeans high waist yang membalut kakiku dengan pas dan dipadukan sweater crop top, banyak sekali mata para lelaki bahkan beberapa wanita juga fokus memandangku dengan tatapan kagum. Berisi dan seksi! Rileks, Indira. Balas! "Makanya pesan saya jangan diread doang dong. Kapan mau tanggung jawab karena telah mencuri hal terpenting dalam hidup saya" Rasakan! Aku mengatakannya sekalem wajahnya waktu bertanya dan nadaku pun mengikuti nadanya ketika bertanya. Hati aku maksudnya yang udah kamu curi. Dua wajah tampan didepanku ini sontak langsung terkejut. Lah...asistennya tampan juga. Nyesel deh ngomong nggak disaring dulu. Hilang sudah kesempatan menggait asisten dokter yang sama tampannya dengan dokter saraf ini. Lalu wajah tampan itu tertawa lepas "Ini yang Mas bilang, cewek dengan gangguan s***p akut" Aku mendelik tidak suka pada Azka, ya ampun, haruskah dia bercerita tentang betapa gesernya otakku ini pada laki-laki setampan ini?! "Hm" jawab Azka singkat. "Apa keluhannya?" Aku menceritakan keluhanku pada Azka, hanya keluhan penyakitku bukan keluhan hatiku yang mulai lelah mengejarnya dan meluluhkan hatinya. Azka memeriksaku, setelah selesai, dia menuliskan resep obat untukku dengan tulisannya yang, aduhai...aku berasa buta huruf dibuatnya. Untung membaca tulisannya bukan tugasku. Aku selalu memarahi murid-muridku ketika tulisan mereka acak-acakan mirip cakar ayam ternyata tulisan jodohku lebih parah dari tulisan anak berumur 13 tahun, oh tidak muridku yang umurnya 7 tahun saja masih lebih bagus dari tulisan Azka. Fix karma ini! "Kolestrol kamu normal" Aku mengernyit. "Masa sih pak? Padahal saya yakin kolestrol saya tinggi" Assisten dokter itu menanggapiku "Pasti mbaknya suka makan gorengan ya?" Aku menggeleng "Bukan Mas, tapi akhir-akhir ini saya keseringan makan kacang berkat seseorang. Pesan wa saya selalu dikacangin" Laki-laki tampan itu mengulum senyumnya setelah mengerti siapa orang yang sedang aku sindir. Sementara yang disindir tetap diam kalem duduk tampan. Aku gatal ingin mengeksplor tubuhnya, siapa tau aku menemukan tombol on off disalah satu bagian dari anggota tubuhnya. Masa sih ada manusia minim ekspresi begini?! "Kamu boleh langsung menebus obatnya didepan" Buset...udah main diusir aja, padahal rindu juga belum tuntas. "Nggak mau diantar pulang nih aku nya?" tanyaku iseng. NGGAK! Pasti dalam hati Azka meneriakkan satu kata ini dengan lantang. Aku bisa dengar kok. Tenang aja aku nggak sakit hati kok mendengarnya. Sebelum menutup pintu aku kembali menggoda laki-laki sedingin es itu "Saya pulang ya, jangan rindu, kata Dilan rindu itu berat. Tapi saya yakin beratan juga timbangan badan bapak daripada rindu bapak ke saya" Lalu menutup pintu ruangannya dan melenggang dengan riang ke depan untuk menebus obatku. Kalau nebus cintanya pak dokter Azka dimana ya?  * * * Ini Hari Senin? Bukan. Aku berkali-kali memfokuskan pengelihatanku pada deretan angka dikalender yang ditampilkan oleh monitor hp ku. Ini hari Rabu, lalu kenapa aku sial sekali hari ini?! Aku harus mengurusi 4 masalah dalam rentang waktu 6 jam selama aku disekolah. Biasa masalah anak orang. Keseringan ngurusin masalah anak orang, masalah sendiri jadi menggemuk akibat terbengkalai. "Dir, anak kamu tuh" Baru saja aku mendudukan bokongku yang seksi ini kebangku milikku sudah mendapatkan laporan yang membuat jiwa resah nan gelisah, pikiranpun gundah. Tak bisakah hariku lebih indah dari ini? "Dira jomblo kak, laki aja belum punya gimana mau punya anak. Minta dighibahin sekampung apa gimana?" selorohku. "Makanya ketemuan sana sama bapaknya" decak Kak Siska kesal "Maaf ya kak, menjadi pelakor bukan cita-cita saya. Cita-cita saya adalah jadi istrinya Pak Dokter" jawabku sambil tersenyum lebar. "Sana gih ke rumah sakit. Sekalian periksa kejiwaan" usul Kak Siska membuatku tertawa "Mau ikut nggak kak? Nampaknya kita berdua akan mendapatkan perawatan intensif kejiwaan. Mengingat kelakuan anak zaman now yang membuat kepala dan jiwa para guru berdenyut ngilu" Kak Siskapun ikut tertawa lalu menambahkan "Nggak makasih, kakak hanya perlu liburan. Akhir semester lama banget dah" "Ngebayangin libur semester jadi ngebayangin kesibukan sebelum itu. Ngurusin ulangan akhir semester, nilai dan ngurus rapot. Belum lagi keluhan para orangtua bakal tumpah ruah" Aku menghela nafas berat membayangkannya. "Ngomong-ngomong, anak orang tadi ngapain?" Aku mulai mengeluarkan buku kasus yang penuh dengan aib-aib siswa-siswiku. Kapan sih anak orang nih tobat dan membuat hidupku tenang?! Ini yang bagi kelas siapa sih? Kayaknya ada dendam kesumat tersembunyi ini, bisa-bisanya aku dapat kelas yang isinya siswa bermasalah semua. Duhai jodohku cepatlah datang sebelum aku mengalami penuaan dini. Kak Siska menceritakan masalah siswa tersebut dengan berapi-api. Air mana air. "Dipanggil aja orangtuanya. Udah berkali-kali ini anaknya buat masalah" Aku mengangguk-angguk, memang beberapakali dari guru mata pelajaran yang berbeda melapor padaku. "Ntar Dira data dulu deh semua guru mata pelajaran, biar ada banyak bukti" putusku. Aku merapikan meja kerjaku yang berantakan dipenuhi buku tugas siswa. "Mau kemana? Buru-buru gitu" Aku nyengir mendengar pertanyaan Kak Siska "Ketemu jodoh Kak" "Khayalannya tolong dikondisikan, kamu kan jomblo" seloroh Kak Siska "Idihh..jomblo teriak jomblo. Lagipula memang jomblo nggak boleh punya jodoh gitu? Setiap insan manusia pasti ada jodohnya Kak" jawabku diplomatis. Betulkan? Jomblo juga punya jodoh kok. Cuma masih belum kelihatan aja jodohnya siapa. "Mau berburu jodoh dimana kamu Dir?" "Rumah sakit Kak" jawabku sambil berlalu pergi, mumpung kantor sepi. Kalau ramai ya nggak apa-apa juga sih, soalnya kami para honerer kan dibayarnya perjam mata pelajaran, jadi kalau udah nggak ada jam lagi boleh capcus pulang atau otw ketemu jodoh. *** Aku melangkahkan kakiku ke bagian depan. Nggak tau deh ini bagian apa. "Mbak ruangan dokter saraf yang mana ya?" tanyaku pada mbak-mbak cantik namun hobi bergosip. Menurut informasi Erlin loh ini ya. "Mbak ingin menemui siapa?" Calon suami saya. "Dokter Azka Anggana Prihapdipto" jawabku mantap. "Ambil nomor dulu mbak, tapi 45 menit lagi jam istirahatnya Dokter Azka. Jam istirahat beliau 1 jam ya mbak" Aku tersenyum mendengar penjelasan mbak cantik itu "Nggak perlu mbak. Cukup beritau saya arah ruangan dokter Azka" "Mbak udah buat janji? Kalau boleh tau mbak siapanya dokter Azka?" Lagi, aku tersenyum iseng, "Kenalkan mbak, saya calon istrinya" Yahhh...kesebut deh identitas diri ini. Aku menikmati ekspresi shock wanita didepanku ini. "Dira" Aku menolehkan kepalaku pada sumber suara. Sosok tampan itu membuatku tersenyum secara otomatis.                    
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN