SIENA 8

2527 Kata
Siena, Sepatah-patahnya hati, nggak akan bisa hilangin hati nurani gue. _Siena_ Siena hanya mampu memandang keduanya dalam diam. Rasanya perih, tapi dia tidak boleh lemah. Dia bahkan bisa bertahan selama bertahun-tahun dari luka yang lebih parah daripada ini. "Patah hati atau lo nggak tahu sama sekali tentang Empat Kembar dan Si Cantik Ria?" tanya Saka yang tiba-tiba saja berada di sebelahnya. Siena menoleh, mendongak menatap Saka yang juga memandang lurus ke arah Aksa dan Ria pergi. Gadis itu menyunggingkan senyum saat menatap laki-laki di sebelahnya. Dia tidak peduli tentang kisah Si Empat Kembar dan Si Cantik Ria. Yang dia pedulikan adalah ... kenapa Aksa bisa begitu peduli kepada Ria? Kenapa Aksa tidak membelanya seperti sebelum-sebelumnya saat dia dihina? Aish ... perih di dadanya semakin mengimpit bila mengingat beberapa menit lalu. "Lo suka Aksa." Saka berkata dingin. Siena tertawa keras membuat Saka menunduk menatap Siena. "Lo cemburu. Lo suka Ria!" Siena ikut mengejek dengan tawa. Saka mengernyit heran. "Lo ketawa?" Dengan cepat, tawa Siena mereda. Wajahnya berganti datar menatap Saka. "Lo pikir gue barusan nangis?" Saka tersenyum tipis, sangat tipis sampai-sampai Siena tidak menyadari senyumnya. "Gue baru tahu, cewek patah hati bisa tertawa sekeras itu." Siena menatap Saka tidak mengerti. Sedangkan Saka kembali menatap ke arah hilangnya Aksa dan Ria. "Tapi lo bukan cewek, sih. Ya, wajar kalau aneh kaya gini." "Gue cewek, b**o!" kata Siena tak terima. "Iya, lo cewek b**o," balas Saka santai. "Saka!" "Itu nama gue. Keren?" tanya Saka menatap Siena. Siena yang tadinya siap melancarkan serangan menjadi terdiam kaku saat menatap mata Saka. "Mata itu...." Siena bergumam meski masih dapat didengar oleh Saka. "Mata gue kenapa?" tanya Saka bingung. Siena gelagapan. Gadis itu langsung menggeleng cepat dan berbalik membelakangi Saka. Astaga, kenapa dia bisa bodoh seperti itu? "Mata gue bagus? Banyak yang bilang memang." Tuhkan, gara-gara kebodohannya, si cowok nyebelin itu jadi kepedean! Saka memutari tubuh Siena menjadi menghadap laki-laki itu. Dia masih menatap Siena dengan pandangan angkuh. "Dan kalau lo mau jadiin gue pelampiasan karena Aksa sama Ria, lo nggak akan berhasil!" Siena langsung mendongak saat menyadari Saka di depannya. Matanya langsung mendelik tajam menghunus tepat ke manik Saka. "Gue nggak semurahan itu buat cari pelampiasan, b*****t!" Saka menampilkan wajah terkejut. "Gue b*****t, ya?" Siena kembang kempis menatap Saka. Kenapa sih Saka harus semenyebalkan ini? "Lo lebih dari b*****t!" kata Siena dengan mata terfokus pada wajah Saka. "Pukulan gue kemarin kurang?" tanyanya pada Saka lagi. Refleks Saka mengusap bagian wajahnya yang memang masih membiru. "Andai lo bukan cewek, jelek di wajah gue ini udah bakalan nempel juga di wajah lo!" Siena tertawa kencang. "Lo pikir gue terkesan dengan omongan lo, Cu-pu?" Saka menggeram. "Gue berusaha sabar sama lo, Siena!" "Gue juga berusaha sabar sama lo, Saka!" Saka membuang muka. "Kalau lo mau gue berhenti, lo berhenti juga buat deketin Aksa!" "Apa yang salah dari gue?" tanya Siena sambil mengepalkan kedua tangannya erat. Dia benar-benar tidak mengerti kenapa Saka begitu kekeh ingin memisahkan dirinya dengan Aksa. "Karena papa nggak suka lo." Siena menunduk dengan bibir mulai bergetar. Papa mereka tidak suka Siena? "Apa ini alasannya dia hilang?" Saka menatap Siena cepat. Dia tidak mengerti kenapa gadis itu memilih bertanya seperti itu. Lagi pula siapa yang hilang? "Maksud lo apa?" Siena masih menunduk. Gadis itu terus mengepalkan tangannya semakin kuat. Dia tidak boleh lemah! Dia tidak boleh membiarkan sakit itu menguasai tubuhnya! Dia Siena, Siena kuat yang berhasil melumpuhkan siapa saja! "Siapa yang hilang?" tanya Saka lagi. Siena mendongak dengan matanya yang mulai memerah. Saka tertegun sejenak menatap wajah sendu milik Siena. Mungkin dia masih tidak percaya jika Siena bisa menampilkan wajah sendu seperti itu. "Dia, yang nggak perlu gue sebut namanya dan yang nggak perlu lo tahu siapa dia." Setelahnya, Siena memilih pergi meninggalkan Saka yang terdiam sendiri. Rasanya ada yang membuat dirinya penasaran dengan gadis itu. Seperti ada sesuatu yang erat di dalam dadanya. Sesuatu yang menyuruhnya untuk mencari tahu lebih jauh tentang Siena. _Siena_ Siena sibuk memutar botol sodanya tanpa henti. Gadis itu tidak peduli jika busa di dalam botolnya lebih banyak daripada air sodanya. Yang ada dalam pikirannya adalah kosong. Meskipun markas Remon ramai dia merasa kosong. Meskipun tempat ini penuh tawa dia tetap merasa kosong. Rasanya ada separuh jiwanya yang pergi menghilang. "Aksa mana, Na?!" tanya Beben, laki-laki berambut ikal namun berkulit putih. Siena tersadar. Gadis itu menoleh menatap Beben. "Nggak tahu." Beben dan yang lainnya saling pandang. Seolah tidak percaya bahwa gadis itu tidak tahu di mana keberadaan Aksa. "Lo sama Aksa udah kaya amplop sama prangko. Masa sih nggak tahu tu anak di mana?" "Gue nggak tahu." Siena menggeleng. Dia benar-benar tidak tahu keberadaan Aksa. Toh dia masih malas dengan Aksa yang justru lebih membela Ria dibandingkan dirinya. Padahal dirinya hanya membela diri, dia tidak terima orang tuanya dihina. Meski nyatanya, rasa benci kepada sang papa tidak dapat dihapus juga. Beben dan yang lain langsung terdiam menatap Siena yang dingin. Mereka seolah paham jika Aksa dan gadis itu sedang tidak baik-baik saja. Makanya, mereka memilih diam tidak lagi bertanya-tanya. "Fahrul gimana?" tanya Siena mengalihkan. Wirland yang ditunjuk mengawasi Fahrul pun menoleh. "Masih belum mau nyerah." Siena mengangguk. "Gue ke sana!" Wirland, Beben, dan yang lain langsung berdiri. "Jangan!" kata mereka bersama. Mereka tentu tahu apa yang akan gadis itu lakukan dalam keadaan tidak baik-baik saja seperti sekarang. Siena menoleh heran. "Kenapa?" "Gue tahu lo mau jadiin dia samsak. Jangan, mukanya udah penuh lebam, Na!" Wirland menjelaskannya. Siena tertawa. Gadis itu meletakan kedua tangannya di pinggang. Benar-benar teman sejati bukan? Bahkan mereka hafal dengan sikap Siena. "Tahu aja lo! Tapi gue lagi suntuk." "Kita main TOD aja. Lo nggak boleh kebanyakan berantem Siena," saran Kafka. Dari semua anggota Remon, Siena memang lebih dekat dengan Kafka dan Aksa. Namun, tidak juga berarti Siena hanya akrab dengan kedua orang itu. Siena menatap Kafka yang baru saja keluar dari dapur. "Tumben kelihatan lo!" Kafka tersenyum. Pemuda itu mengambil duduk di sebelah Beben kemudian meletakan secangkir kopi di meja. "Gue sebagai ketua sibuk banget. Minggu depan kita serangan sama Syahrul. Makanya gue sibuk siapin barang buat besok." Siena mendekat, gadis itu duduk memperhatikan Kafka. Ketuanya, berkulit hitam manis berpostur tubuh tinggi dan tegap. Sedikit mengejutkan, harusnya laki-laki itu bisa ikut menjadi pasukan bela negara. Namun, jalan yang dipilih justru menjadi ketua gang yang suka tawuran. "Gue ikut maju, ya?" Siena bertanya antusias. Mungkin jika tidak bisa melampiaskan amarahnya sekarang, Siena akan melampiaskannya besok di arena pertandingan. Ada Syahrul yang akan menjadi sasaran empuk untuk Siena jadikan samsak dadakan. "Nggak." Bukan. Penolakan itu bukan dari Kafka. Tapi, dari Aksa yang telah berdiri di depan pintu masuk markas. Pemuda yang masih menggunakan pakaian yang sama saat menolong Ria. Tas yang bertengger di punggung kanan, juga sepatuh hitam putihnya. Dia terlihat sedikit lebih berantakan dari biasanya yang memang berantakan. Siena menatap datar Aksa tanpa ekspresi. Entah kenapa dirinya menjadi malas bertemu Aksa saat ini. Rasa tidak terimanya benar-benar menang telak sekarang. "Lo nggak boleh maju!" ulang Aksa sambil berjalan mendekati Siena. Siena kembali menatap Kafka. Gadis itu tersenyum lebar menatap ketua Remon. Dia jelas akan mengabaikan Aksa untuk sekarang. Siena benar-benar butuh pelampiasan. "Gue jadi pemimpin, ya! Jangan lupa lo di sebelah gue, oke?" Kafka melirik Aksa yang sudah memerah. Namun, laki-laki itu tidak mungkin menolak permintaan Siena. Siena adalah gadis berharga bagi para Remon. Gadis paling berbeda dan harus dijaga. Siena yang tahu Kafka ragu pun semakin tersenyum. Senang bukan main karena dia satu langkah lebih baik daripada Aksa sekarang. "Gue mau bawa kayu aja. Nggak bahaya loh itu. Atau tangan kosong aja? Gimana?" "Siena!" Siena menulikan diri. Gadis itu tidak menoleh sedikit pun meski Aksa memanggilnya dengan nada geram. Dia masih kukuh ingin ikut, masih kukuh merasa sakit hati karena perlakuan Aksa tadi. "Gue pengen banget pukul wajah Syahrul sampe ancur. Gue udah wanti-wanti dia, kalau berani sekali lagi dia bakalan mati. Gue–" "Siena Anastasya!" Siena mengepalkan tangan saat mendengar bentakan Aksa. Tidak hanya itu, bahkan seluruh anak Remon memilih bungkam karenanya. Ini pertama kalinya Aksa dan Siena bertengkar, pertama kalinya juga Aksa membentak gadis itu. "Sejak kapan telinga lo tuli?" tanya Aksa geram. Siena semakin mengepalkan tangannya erat mendengar pertanyaan itu. Kafka yang tahu keadaaan kian memanas langsung menggeleng menatap Aksa. Dia jelas tidak ingin Siena semakin parah karena perilaku Aksa sekarang. Namun, Aksa tetap meneruskan kalimatnya. Tidak peduli dengan larangan yang Kafka berikan. "Sejak kapan Siena nyerang orang yang bukan tandingannya?" "Siena, gue ngomong sama lo!" Siena berdiri, tangannya memukul meja dengan keras. Gadis itu mendongak sebentar sebelum akhirnya berbalik menatap Aksa. Ditahannya sekuat tenaga rasa yang bercokol di hatinya. "Sejak kapan Siena tuli?" ulang gadis itu menatap Aksa sinis. "Sejak Aksa bisu!" jawabnya. "Sejak kapan Siena nyerang orang yang bukan tandingannya?" ulang gadis itu lagi. "Sejak orang itu merebut perhatian orang lain dari Siena!" Siena membuka kepalan tangannya kemudian mengepal lagi. Napasnya ditarik secara paksa dan berembus dengan kasar. "Na." Kafka memanggilnya. Namun, Siena menggeleng pelan. Ini urusannya dengan Aksa, ini harus segera Siena ungkapkan di hadapan laki-laki itu. Siena jelas tidak terima atas apa yang Aksa lakukan untuk dirinya sekarang. "Udah puas lo tanya?" Aksa terdiam menatap lurus pada Siena. Entah apa yang dia pikirkan, semuanya membuat Siena geram sendiri. "Aksa, gue ngomong sama lo!" katanya lagi menirukan Aksa. Benar-benar persis hingga laki-laki itu kini melunakkan ekspresi wajahnya. "Siena," panggil Aksa lagi. Kali ini nadanya berubah. Aksa memanggil dengan nada lirih merasa bersalah. Namun, belum cukup bagi Siena. Menolong Ria jelas kesalahan fatal yang Aksa lakukan di depannya. "Apa? Kurang?" "Gue nggak maksud," kata Aksa lagi. Siena tersenyum sinis. "Nggak papa. Tadi itu udah buktiin kalau Siena bukan satu-satunya." Aksa menatap Siena terkejut. "Na, maksudnya apa?" Siena menggeleng. Gadis itu mendongak sebentar sebelum menjawab Aksa. "Enggak. Gue cuma mau bilang kalau hari ini gue nggak bisa lama-lama." Selanjutnya, Siena mengambil tasnya cepat. Mengendong tas itu di bahunya tanpa menatap Aksa yang diam memperhatikan. Siena berbalik menatap Kafka. "Gue duluan, Kaf." Setelah itu Siena pergi, keluar dari markas tanpa berniat menoleh lagi ke belakang. Melewati Aksa dengan wajah datarnya karena masih enggan berdamai. Aksa sudah bersiap mengejar gadis itu, tapi Kafka lebih dulu mencegahnya. "Jangan, dia butuh waktu sendiri. Kalau lo paksain jadinya cuma kaya tadi. Lo emosi dan justru semakin sakitin dia." _Siena_ Siena menendang-nendang bekas kaleng soda yang ditemukannya. Mungkin hampir sepanjang jalan bunyi bising kaleng tertendang itu terdengar. Sebenarnya Siena sengaja, dia memang butuh teman agar hidupnya tidak sepi seperti sekarang, berjalan sendirian seperti orang hilang. Gadis itu sibuk menggerutu sebenarnya. Jadi, kakinya menendang dan mulutnya bergumam. Sungguh, dirinya memang mengagumkan. Beberapa kali juga Siena membenarkan tasnya yang melorot. "Siena, lo tuli?" katanya diiringi suara kaleng yang tertendang. "Dipikir telinga gue ilang? Ya, jelas gue denger! Cuma ya, pura-pura budeg aja. Lagian siapa suruh belain si Ria?" "Siena Anastasya?" panggilnya menirukan Aksa. "Iya? Itu nama gue. Baguskan?" Gadis itu mendengus. Rasanya haus juga menggerutu sepanjang jalan. "Haus ampun!" katanya cukup keras. Mungkin karena rambutnya yang acak-acakan dengan celana sobek dan kemeja yang tidak berbentuk miliknya menarik perhatian orang. Makanya, setelah berteriak haus ada yang memberinya sebotol minuman isotonik. Siena menatap botol di depannya dengan lekat. Rasanya dia kembali ke dua belas tahun lalu. Di mana hidupnya merasa bahagia. Gadis kecil berusia sekitar 8 tahun itu terengah-engah sesudah memarahi papanya. Dia kesal karena sang papa yang tidak mau memberikannya uang untuk membeli permen kapas. "Haus," gumam gadis kecil itu dengan bibir dimonyongkan. Pria di depannya terkekeh pelan. Kebetulan mereka sedang ada di taman dan mereka sedang berdiri di depan seorang pedagang kaki lima yang menjual bermacam-macam makanan, minuman, dan permen kapas. "Kamu haus, Sayang? Ini minum ini." "Nggak! Siena malah sama Papa!" Baron lagi-lagi tertawa. Di usia ke delapan tahunnya, Siena belum sanggup mengucapkan huruf r. "Makanya minum ini dulu biar Siena kuat marah-marah ke Papa lagi!" Siena yang masih polos menatap botol yang Baron bawa lekat. "Itu apa? Benelan bikin Siena kuat?" Baron kembali tertawa. Tangannya mengacak-acak rambut putrinya pelan. "Ini isotonik. Beneran nambah kuat!" Sialan! Mata Siena justru menjadi buram karena ingatan itu, ingatan yang membuatnya berharap bahwa si pemberi ini adalah orang yang sama. "Kamu haus? Ini, Yasa baru aja beli dua. Minuman ini bisa bikin kamu tambah kuat!" Siena membiarkan tangan itu menggantung. Gadis itu justru memandang gadis di depannya dengan mata berkaca. Kenapa harus sama? Apa memang semesta menginginkan dirinya selalu mengingat masa lalu? Tidak bolehkah dirinya move on? Dia benar-benar ingin bahagia, melupakan kesedihannya, dan menjalani hari tanpa bayang-bayang menyakitkan. "Hey, terima ini!" Gadis itu semakin mendekatkan minuman itu pada Siena. Siena menerimanya, kemudian membuka tutup botol itu dan meminumnya dengan cepat. Dia tidak merasa curiga sama sekali terhadap gadis di depannya. Dia menelan minuman itu bersama rasa sesak di dalam dadanya. Siena harus kuat! Yasa tersenyum melihat Siena yang menerima pemberiannya. "Kamu haus banget, ya? Jalan berapa jauh?" Siena selesai minum. Dia menutup botolnya kembali dan mengusap bibirnya dengan lengan. "Nggak tahu. Dua kilo mungkin." Yasa terkejut. Gadis berwajah imut dengan warna rambut hitam dan kulit putih itu langsung berkaca-kaca. "Kamu pasti capek banget, ya? Yasa nggak bayangin kalau jalan sejauh itu." Siena menaikkan alis kirinya heran. "Lo ngapain nangis? Yang capek ‘kan gue?" "Yasa nggak tega," kata gadis itu sesegukan. Siena langsung menepuk jidatnya. Benar-benar tidak mengerti jalan pikiran gadis di depannya ini. Dengan wajah kesal, Siena menyugar rambutnya ke belakang. "Lo perasa banget, sih! Kita baru kenal. Gue juga bukan siapa-siapa lo." Yasa mengusap air matanya dengan pelan. Menatap Siena dengan tersenyum, lalu mengulurkan tangan. "Kalau gitu jadi teman Yasa, biar Yasa puas kasihan sama kamu." Siena tertawa keras mendengarnya. Gadis di depannya adalah gadis teraneh sedunia. Berteman hanya karena ingin merasa kasihan? Hay, Siena sedang tidak bermimpi atau bertemu hantu aneh bukan?! "Oke kita temen," kata Siena setelah tawanya mereda. Yasa tersenyum senang. "Akhirnya, setelah sekian lama Yasa punya temen juga!" "Lo umur berapa?" "Dua puluh satu," jawab Yasa. "Tapi...." Siena menggantungkan ucapannya. Namun, Yasa tersenyum karena tahu maksud dari pertanyaan Siena. "Yasa nggak boleh temenan sama siapa pun kecuali pacar Yasa." Siena mengernyit, tapi Yasa justru menanggapinya dengan tawa. "Udah deh. Nama kamu siapa?" "Siena." "Oke, Siena. Sekarang kita temen, ya!" kata gadis itu semangat. "Ini kartu nama Yasa. Nanti Siena telepon aja!" Siena menerima kartu itu dengan ringisan. "Gue nggak yakin. Ini telpon seluler bukan w******p. Lo tahu maksud gue?” "Ada w******p- nya juga kok!” Yasa tersenyum lebar. Siena menggaruk tengkuknya dengan sedikit gugup. Dia sedikit tidak enak dengan gadis sepolos Yasa ini. Dia takut disangka yang aneh-aneh karena kelakuan mereka yang berbeda seratus delapan puluh derajat. “Siena mau pulang?” Siena menganggukkan kepalanya dengan polos. Yasa merogoh tasnya, mengobrak-abrik tas tersebut seperti mencari sesuatu. Siena hanya bisa memperhatikan gerakan gadis itu. Beberapa detik kemudian Yasa menyerahkan uang lembaran berwarna merah kepada Siena. “Ini buat kamu pulang. Kamu pasti kesakitan kalau jalan lagi!” “Nggak usah, gue ada–” Yasa menarik tangan Siena dengan paksa dan memberikan uang itu di telapak tangan Siena. “Pokoknya terima aja, ini tanda perkenalan kita. Okey?” "Lo nggak salah? Ini berlebihan buat orang yang baru ketemu," protes Siena. Dia tidak menyangka Yasa begitu enteng memberikan uangnya untuk orang yang baru saja dia temui. Yasa tersenyum. "Bagi Yasa, kebaikan di pertemuan pertama akan membekas seterusnya sama juga kaya kejahatan." _Siena_  
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN