3. Sebuah Kartu Nama

1567 Kata
Kakiku menginjak jalan perumahan ini dengan canggung. Tentu saja semuanya terlihat asing, lima tahun yang lalu kompleks perumahan ini masih sepi. Tidak seperti sekarang yang penuh dengan bangunan baru dan tidak menyisakan lahan kosong lagi. Vio berlari-lari kecil, kadang sambil tertawa-tawa memintaku mengejarnya. Dia terlalu bersemangat, membuatku berusaha mengatur emosi agar terlihat sama dengannya. "Mama, Vio capek." Aku menghentikan langkahku. Vio menatapku dengan wajah kelelahan. "Vio jalan aja, biar Mama yang lari." Aku menghentikan langkah kakiku. Vio menggelengkan kepalanya. "Nggak mau, nanti Mama ninggalin Vio," katanya. "Ya sudah, kita sama-sama jalan kaki ya. Pelan-pelan aja." Aku menggenggam tangan Vio perlahan. Seharusnya tidak ada yang berubah dengan jalan di kompleks rumahku ini. Seharusnya masih sama seperti lima tahun yang lalu, seperti terakhir kali kutinggalkan. Tapi entah kenapa beberapa bangunan baru malah membuatku merasa asing. Atau mungkinkah aku yang berubah? Aku menarik napas panjang. Apapun itu, aku tidak boleh mengingatnya lagi. Aku sudah berjanji ketika aku memutuskan meninggalkan Jakarta, maka itu artinya aku akan belajar melupakan semua kenangan pahit dan manis yang pernah terjadi. Apapun kenangan yang pernah terjadi. Mungkin keberuntungan memang sedang tidak berpihak padaku yang membuatku harus kembali ke kota ini. Bukan salah kota ini, juga bukan salah siapapun. Sepertinya sudah takdirku yang membuat pada akhirnya aki kembali lagi kesini. "Nay?" Aku menoleh mendengar seseorang menyebutkan namaku. "Ya ampun, ternyata benaran kamu, Nay!" Aku memicingkan mataku sejenak, berusaha mengenali sosok yang nampak begitu antusias ini. "Masa lupa, aku Sarah, tetangga kompleks sebelah. Kita teman main dari dulu," jelasnya mengharapkan pengakuan kalau aku mengenalinya. "Oiya, masih ingat kok," jawabku sambil pura-pura tersenyum. Entah kenapa, saat ini aku sedang tidak ingin berbasa-basi dengan orang yang tidak terlalu kenal denganku. "Kapan datang?" "Anakmu ya? Lucu banget!" Seperti yang sudah kuduga, pertanyaan pasti akan datang bertubi-tubi. "Sudah lama banget ya kamu nggak pulang," lanjutnya lagi tanpa memberiku kesempatan untuk menjawab pertanyaannya. "Setelah nikah, kamu nggak pernah pulang lagi. Kamu betah di Jakarta?" Lagi-lagi pertanyaan yang sangat mengusik. "Iya, aku sempat kerja di sana terus langsung hamil dan nggak ada waktu buat pulang," jawabku. "Kamu baik-baik aja, kan?" tanyanya dengan muka sok prihatin. Aku memalingkan wajahku, tidak mau melihat raut wajahnya. "Mama, Vio pengen pulang. Panas," tangan kecil Vio menarik-narik tanganku. Syukurlah, akhirnya aku memiliki alasan untuk melarikan diri sebelum dicecari beribu macam pertanyaan. "Aku pulang dulu ya. Kayaknya Vio sudah lelah." Aku menunduk dan mengangkat Vio ke gendonganku. "Kapan-kapan main ke rumahku ya, kita ngobrol-ngobrol. Masih rumah yang dulu." Aku hanya mengangguk menjawab permintaannya dan bergegas berjalan menjauh. Aku tahu orang-orang pasti akan membicarakanku, membawa namaku dalam setiap percakapan mereka, dan begitu penasaran dengan kehidupanku. Aku tahu, semua itu pasti akan terjadi. Hal itu juga sudah aku pikirkan sebelum memutuskan kembali ke kota ini. Bagaimana tetangga-tetangga akan memandang sebelah mata padaku, mencibirku atau bahkan menghinaku. Aku berusaha tidak mau memusingkan hal yang menurutku hanya menghabiskan energiku itu. Aku sudah cukup bahagia dengan sikap Papa dan Mama yang tidak mau ikut campur dengan masalahku. Mereka tidak banyak bertanya. Bagi mereka kepulanganku dan Vio ke kota ini sudah cukup membuat mereka tenang. Aku akan baik-baik saja. Aku tidak butuh siapapun itu, apalagi belas kasihan orang lain. Aku dan Vio bisa hidup tanpa rasa kasihan itu. Rasanya aku menjadi orang yang sangat mudah curiga. Aku tidak percaya dengan kata-kata manis orang-orang yang menghiburku dan mengatakan semuanya akan baik-baik saja. Kata baik-baik saja sama seperti mimpi yang jarang sekali bisa menjadi kenyataan. Tentu saja aku baik-baik saja. Baik-baik dalam pengertianku sendiri. Baik karena masih ada Vio yang tidak pernah meninggalkanku. "Ma, beli es krim ya?" Suara Vio mengalihkan lamunanku saat perjalanan pulang ke rumah. Aku mendengar permintaannya, tapi beragam pikiran berkecamuk di kepala membuatku mengabaikannya. "Ma...!" Dia sudah setengah menjerit. "Iya, Sayang," sahutku akhirnya sambil menoleh ke arahnya. "Mau es krim," rengeknya lagi. "Iya, nanti kita beli sekalian waktu mau ke tokonya Nenek ya," sahutku. Dia menggeleng dan wajahnya menyatakan keengganan. "Disini nggak ada yang jual. Nanti Vio boleh pilih dua es krim deh," bujukku. Dia menggeleng-geleng lagi dengan wajah mau menangis. Biasanya kalau Vio sudah seperti ini, Beni akan luluh dan menuruti kemauannya. Oh...tidak! Sudah cukup mengucapkan namanya untuk hari ini. "Rasa coklat dan stroberi, gimana?" tawarku lagi. Keningnya berkerut seperti memikirkan sesuatu. "Benaran?" tanyanya tidak yakin. Aku mengangguk. Akhirnya dia tersenyum lebar dan menyetujui tawaranku. Aku menarik napas panjang. Masih terlalu awal untuk memulai hari ini dan lagi-lagi aku merasa tidak yakin. Ada banyak ketakutan yang silih berganti singgah di pikiranku. Semuanya tentang kepercayaan diriku dan masa lalu. *** Awalnya aku tidak berniat mengajak Vio ke bakery mama hari ini. Setelah pulang jogging tadi, dia nampak kelelahan dan sempat tertidur. Tapi saat aku sudah mau pergi, Vio menangis minta ikut. Sepertinya bujukan Kakek dan Neneknya tidak mempan. Vio tetap memilih ikut denganku. Apalagi ditambah permintaannya akan es krim tidak langsung kuturuti. Mobilku melintasi jalan Sultan Abdurrahman. Seperti pagi di lima tahun yang lalu, jalan ini selalu macet jika pagi. Sesaknya jalan karena pekerja kantoran dan anak-anak sekolah berebutan menguasai jalan. Semuanya terlihat terburu-buru dan saling mendahului. Aku mengelus rambut Vio perlahan. Rambut ikal Vio terasa lembut di tanganku. Satu hal yang membuat Vio nampak berbeda denganku, hanya rambutnya. Aku memiliki rambut hitam, tebal dan lurus, sedang rambut Vio agak kemerahan, tipis, dan bergelombang. Kata orang, Vio mirip Beni. Tapi aku selalu menyangkal, lihatlah matanya, hidungnya, mulutnya, semuanya mirip aku. Bahkan dia juga cerewet dan keras kepala sepertiku. Besok beli yang rasa stroberi ya, Ma," kata Vio dengan nada cadelnya. Vio baru berhenti menangis saat aku telah membelikan es krim kesukaannya. "Tadi kenapa nggak ambil dua." "Nggak mau, hari ini Vio pengen makan yang coklat dulu. Besok baru yang stroberi," katanya lagi. Aku tertawa mendengar perkataannya. Di Jakarta, aku jarang mendapat kesempatan pergi berdua dengan Vio seperti ini. Sepanjang hari, aku dan Vio hanya berada di rumah. Kalaupun keluar, biasanya ada Beni yang mengantar. Dia tidak mempercayai aku untuk membawa kendaraan di jalan Jakarta dan juga tidak memberi ijin jika aku ingin keluar dengan taksi ataupun kendaraan umum lainnya. Terkesan seperti sangat perhatian, tapi nyatanya tidak begitu. Aku mengusap wajahku kesal, kenapa harus mengingat dia lagi! Vio bernyanyi mengikuti alunan lagu yang keluar dari speaker mobil. Entah lagu apa yang dinyanyikannya, yang pasti bisa membuat aku tersenyum menahan tawa. Setelah semua hal berat yang telah kulalui, kurasa Vio-lah yang menguatkanku. Tiba-tiba sebuah hentakan keras dari belakang membuat aku terbentur ke depan. Kepalaku mendadak pusing. Aku baru tersadar ketika mendengar jeritan Vio. Vio terjatuh ke bawah jok. Es krim yang tadi dipegangnya sudah belepotan di kursi. Oh...salahku yang tidak memasangkan sabuk pengaman padanya! Aku memarkirkan mobil di tepi jalan dengan terburu-buru. Membiarkan kendaraan lain mendahului dan tidak berusaha mencari tahu siapa yang menabrak bagian belakang mobil. Di kepalaku saat ini hanya ada Vio. Aku menariknya perlahan, tapi tangisnya makin kencang. Sepertinya tidak ada hal serius yang terjadi, Vio hanya kaget dan es krimnya yang terjatuh membuat tangisnya semakin kencang. "Es krim Vio!" jeritnya di sela-sela tangisnya. Aku menahan senyum karena melihat wajahnya yang belepotan coklat, membentuk pola abstrak yang jika dilihat malah membuat wajahnya terlihat lucu. Sambil menyeka wajahnya dengan tisu, sebelah tanganku yang lain membelai rambutnya. "Kebetulan di sebelah toko kuenya Nenek ada yang jual es krim, nanti Vio boleh pilih mau rasa apa aja," bujukku. Dia masih sesenggukan dan sesekali air matanya mengalir pelan. Vio mengangguk dan beberapa detik kemudian dia tampak ingin menangis lagi. Dia pasti masih mengingat es krim coklatnya yang sudah mencair dan mengotori kursinya. Buat hal seperti ini, Vio memiliki kesamaan denganku, jika sudah menyukai suatu hal, akan sulit melupakannya. "Yang ini, kan, sudah kotor. Mama temanin Vio cari es krim yang mirip sama ini ya," bujukku lagi. Bola matanya berputar, seperti mencari kebenaran dari perkataanku. Aku tersenyum sambil menyeka sisa air matanya. Dari raut wajahnya, dia seperti setuju dengan perkataanku. Suara ketukan dari kaca mobil membuatku tersentak. Kontan aku dan Vio menoleh ke arah sumber suara. Seorang lelaki paruh baya sedang berada di sebelah mobilku sambil memberi isyarat untuk membuka kaca mobil. Melihat wajahnya yang panik, tak urung aku membuka kaca mobil. "Ibu baik-baik aja?" tanyanya dengan nada panik saat kaca mobil terbuka sebagian. "Maaf tadi saya menghindar motor yang mendadak nyalip. Tapi nggak tahunya malah nabrak mobil Ibu," lanjutnya tanpa memberikan aku kesempatan untuk bicara. Kalau tidak memikirkan sedang bersama Vio, aku pasti akan memarahi lelaki di hadapanku ini. Seenaknya saja hanya mengucapkan maaf setelah hampir mencelakai orang lain. "Lain kali bawa mobilnya hati-hati, Pak," sahutku judes. "Bos saya bakal tanggung jawab kalau terjadi apa-apa sama Ibu," katanya sambil merogoh sakunya dengan panik. Aku masih menatapnya dengan pandangan mata kesal. "Atau sebentar..., nanti Bos saya bakal ngomong sama Ibu, sebentar lagi dia bakal selesai nerima telepon," lanjutnya dan wajahnya kontan berubah seperti baru menemukan benda berharga saat mengeluarkan sebuah kartu nama dari sakunya. "Kartu nama Bos saya. Saya sopirnya, Bu." Dia menundukkan kepalanya dalam-dalam saat menyerahkan kartu nama majikannya padaku. Aku menarik napas panjang, karena sebenarnya memang tidak ingin memperpanjang masalah, lagipula hanya insiden kecil. Aku hanya kesal karena yang menjadi korban di sini adalah Vio. Aku melirik sekilas kartu nama yang kini berada di tanganku. Sepertinya aku harus mengecek bagian belakang mobilku, mungkin ada yang lecet. Bos yang disebut-sebut oleh lelaki ini harus memperbaiki kerusakan yang terjadi pada mobilku. Tapi tak urung rasa penasaran membuatku memperhatikan dengan seksama kartu nama yang berada di tanganku dan mulai mengeja nama yang tertera di atasnya. Fernino Dwijuna Aku membeku. Dan kartu nama yang berada di tanganku terjatuh perlahan. (*)
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN