2. Pulang

1551 Kata
Buru-buru aku menarik trolley bag-ku, tas selempang besarku ternyata mengganggu langkah kakiku. Suasana ribut dan penuh sesak. Aku menghela napas panjang, mencoba mencari udara segar setelah hampir setengah jam mengantri untuk mengambil bagasi. "Mama, Vio haus...." Tangan kiriku ditarik perlahan. Aku tersenyum menatap wajahnya. Dari tadi Vio tidak rewel, dia tidak mengeluh kecapean, padahal aku tahu dari raut wajahnya dia nampak kelelahan. Bintik-bintik kecil keringat di keningnya membuat aku tersadar, sepertinya dari tadi aku terlalu sibuk dengan pikiranku sendiri yang membuat diriku seolah-olah tenggelam pada dunia yang lain. Aku menghapus keringat di keningnya dan mengambil botol minumnya. "Pelan-pelan minumnya." Aku menunduk dan membuka botol minumnya. Dalam sekali teguk, air mineral yang ada di dalamnya berkurang separuh. Vio menyeka mulutnya dan tersenyum padaku. "Sudah, Ma," katanya dengan nada riang. Aku menarik tas selempangku dan meletakkannya di atas trolley bag. Kugendong Vio dalam pelukanku. Dia menyandarkan kepalanya dibahuku. Delay berjam-jam di Soekarno Hatta dan cuaca yang lagi tidak bagus membuat perjalanan terasa melelahkan. "Ma, katanya sebentar lagi sampai. Sekarang kita sudah sampai belum?" tanyanya ketika dalam gendonganku. Aku memang selalu menjawab 'sebentar lagi' ketika Vio bertanya kapan sampai. Aku hanya tidak memiliki kosakata untuk menjelaskan padanya begitu jauh jarak yang barusan ditempuhnya. Mungkin dia sudah bosan bertanya padaku sampai baru sekarang bertanya lagi. "Ini sudah sampai, Sayang. Kita tinggal naik taksi, terus sampai deh di rumah kakek," kataku sambil mengelus kepalanya. Vio tidak bertanya lagi, sebagai gantinya dia melingkarkan tangannya di leherku. Napasnya berembus perlahan mengenai pundakku. Aku mengusap kepalanya sekali lagi. Mendadak mataku terasa memanas. Suasana seperti ini membuatku ingin menangis. Entahlah, akhir-akhir ini aku mendadak menjadi wanita cengeng. Hal-hal kecil mudah saja membuatku terharu. Bandara Supadio Pontianak, sudah hampir lima tahun sejak kejadian itu. Selamat datang kembali dan semoga semuanya tetap menyenangkan. Aku masih ingat, kota ini begitu menyenangkan buatku, begitu sempurna buat hidupku. Dulu. Semoga saja sekarang masih berpihak padaku. Semoga saja masih ada setitik kerinduan yang bisa membahagiakan aku dan Vio di kota ini. Dulu aku pergi meninggalkan kota ini setelah kalah. Kalah melawan siapa? Entahlah, aku cuma merasa seperti seorang pecundang. Ya, aku memang pengecut dan terlalu mudah menyerah. Setelah sekian lama aku sadar, ini semua tidak ada gunanya. Buat apa aku bersembunyi dan melarikan diri seperti ini. Toh, sekarang aku sudah punya kehidupan sendiri. Rasanya kepulanganku kali ini juga menunjukkan kekalahanku lainnya. Aku pergi karena kalah, kembali juga karena kalah. Tidak! Kali ini aku bukan kalah. Buktinya aku malah merasa lebih baik. Derit suara roda dan riuh suara orang-orang bercampur satu. Aku kewalahan menarik trolley bag dengan Vio di gendonganku, dia sudah setengah tertidur. Aku menghentikan langkahku di depan pelataran bandara. Sejenak kuhirup udara yang ada di sekelilingku. Aroma udara ini sudah lama hampir kulupakan. Aroma hujan bercampur aroma tanah, aroma yang jarang aku hirup di Jakarta. Dan juga aroma kenangan. Dadaku terasa sesak. Kuembuskan napas, membuang semua beban yang terus menari-nari di kepalaku. Semenjak keputusanku untuk meninggalkan Jakarta aku pilih, ada beban yang tidak bisa begitu saja aku abaikan. Bagiku Jakarta bukan sekedar rumah selama lima tahun terakhir ini, tapi juga tempat tersimpan semua duka yang selama ini aku pendam. Adilkah jika aku meninggalkan duka di kota itu dan berusaha mencari kebahagiaan di kota lain? Kilasan masa lalu seperti sebuah film usang yang berputar di kepalaku. Ada yang sudah hampir terlupakan olehku, ada yang masih melekat jelas di ingatan. Aku menarik napas panjang menghalau ingatan masa lalu yang malah membuatku merasa tidak nyaman. Seorang supir taksi menghampiriku, aku menyebutkan tempat tujuanku. Si supir mengangguk dan kemudian membantuku membawa tasku. Aku duduk dibelakang supaya bisa membaringkan Vio, dia sudah nampak kelelahan. Aku menciumnya sekilas. Kuambil boneka spongebob kesukaannya sebagai bantal dan membiarkan dia tertidur di pahaku. Aku menatap wajah Vio yang nampak pulas dalam tidurnya. Dia masih terlalu kecil untuk tahu apa yang sebenarnya terjadi. Cukup aku saja yang merasakan, cukup aku yang jadi benteng buat Vio. Vio pasti akan baik-baik saja, asal ada aku. Setelah semua hal pahit yang terjadi, kadang aku masih saja pesimis dengan dengan apa yang akan terjadi keesokan hari, apakah akan baik atau buruk. Kuelus kembali rambut Vio. Tidak ada lagi keringat yang menempel di keningnya. Dengkur napasnya terdengar teratur, tanda dia sudah tertidur pulas. Hujan rintik-rintik masih mengiringi sepanjang jalan. Aku termenung sambil melihat keluar. Jalan raya terlihat lebih gelap karena siraman air hujan. Tidak ada yang berubah dengan kota ini, begitu seharusnya yang terjadi padaku. Tapi entah kenapa aku tidak yakin. Lagi-lagi aku merasa pesimis. Hilang kemanakah rasa percaya diriku? Jantungku berdegub dan terasa sulit bernapas. Aku menarik napas panjang, semuanya pasti bakal baik-baik saja. *** Aku terbangun dan dengan masih setengah mengantuk menarik selimut yang telah ditendang Vio kemudian menutupi tubuhnya kembali. Di luar masih nampak gelap. Aku terbiasa bangun di jam seperti ini, disaat matahari masih belum menampakan sinarnya. Di pagi seperti ini, beberapa bulan sebelumnya aku akan bangun tanpa perlu bantuan alarm dan menjalankan rutinitasku, menyiapkan sarapan, menyiapkan pakaian kerjanya, mengantar kepergiannya ke kantor dengan senyum bahagia. Melakukan rutinitas sebagai ibu rumah tangga, hal yang sebelumnya sulit kulakukan karena aku terbiasa bekerja. Aku pernah dua kali mengalami kebahagian dan dua kali juga mengalami kesedihan. Begitu seimbang sampai aku tidak tahu lagi, sekarang aku bahagia atau sedih. Aku merapikan selimut Vio dan kemudian meninggalkan tempat tidur setelah memastikan dia tidak akan terbangun. Pintu kamar kubuka perlahan, hawa dingin mendadak mengelilingi tubuhku. Aku tidak tahu apa yang harus dikerjakan sepagi ini. Aku tidak memiliki rutinitas itu lagi. Tidak ada orang yang membutuhkan aku menyiapkan sarapan disini, tidak ada juga yang butuh kusiapkan pakaian kerjanya. Aku menghela napas kesal. Memang benar, tidak mudah untuk mengubah suatu kebiasaan. Suara berderit perlahan. Aku menoleh sekilas, Mama dengan wajah bingungnya menatapku dari balik pintu kamarnya. "Aku mau jogging, Ma," kilahku. Mama bergumam tidak jelas dan kemudian menyalakan lampu yang memang dari tadi sengaja tidak kunyalakan. "Jadi ke toko hari ini?" tanyanya setelah meneguk segelas air putih. "Iya, jadi Ma," sahutku tidak bersemangat. Mama memiliki sebuah usaha bakery kecil-kecilan yang sudah dirintis dari aku masih sekolah, Mama selalu menyebutnya toko kue. Mungkin Mama ingin menyibukkan aku dengan memberiku tugas mengawasi bakery-nya. Lagipula dari dulu aku memang sangat menyukai bakery Mama, dengan aroma vanila dan kayu manis yang menenangkan. "Vio ditinggal aja di rumah," lanjut Mama. "Nggak apa-apa, hari ini aku bawa Vio dulu. Dia pasti bosan kalau di rumah terus," balasku. Vio belum terlalu kenal dengan kakek dan neneknya, dia pasti akan merasa canggung. Terakhir kali mereka bertemu waktu Vio berumur satu tahun. Aku memang tidak pernah membawa Vio pulang ke kota kelahiranku, hanya Mama dan Papa yang datang mengunjungiku. Mama tidak berkata apa-apa lagi dan masuk kembali ke kamar, mungkin melanjutkan tidurnya. Aku tahu, Mama pasti khawatir padaku. Tapi dia memilih untuk diam dan tidak mengusikku dengan pertanyaan. Aku membalikkan badan menuju kamarku lagi. Sepertinya aku memang harus memulai rutinitas baru. "Vio, temanin Mama jogging yuk," aku mengelus pipi Vio perlahan. Dia menggeliatkan tubuhnya. Kucium pipinya bertubi-tubi sampai dia menjerit kegelian. "Ayo, kita jogging dulu biar sehat." Matanya terbuka perlahan. "Ayo!" Dengan wajah mengantuknya dia menjawab dengan riang. "Sama Papa?" tanyanya kemudian. Mendadak tubuhku terasa kaku. "Nggak sayang, Papa, kan, nggak ada disini." Aku menjawab pertanyaannya dengan sewajar mungkin. Kucium pipinya lagi sambil menahan air mataku yang sudah mau tumpah. "Habis jogging, nanti kita ke toko kue Nenek," lanjutku. "Ada es krim nggak?" tanyanya dengan logat cadelnya. "Banyak." "Ayo Ma, kita jogging," Vio menarik tanganku untuk segera turun dari tempat tidur. Aku mengganti baju tidur Vio dengan jaket dan celana panjang, udara di luar pasti masih dingin. Aku menatap wajahnya yang nampak bersemangat, padahal semalam dia tidur pulas sekali gara-gara lelah di perjalanan. Hari ini energinya sudah penuh kembali dan dengan wajahnya yang menggemaskan membuat pagiku terasa lebih baik. Dengan umurnya yang baru tiga tahun, Vio nampak lebih cerdas dari anak seumurannya. Kata-kata yang diucapkan juga kadang tidak dapat diperkirakan. Mungkin sebaiknya nanti kucari playgroup yang bisa mengajarinya hal-hal baru lebih banyak lagi. Aku membantu Vio memasang sepatunya, sedangkan sebelahnya lagi, dia mati-matian berusaha memasang dan mengikat tali sepatunya sendiri. "Kenapa Papa sudah lama nggak temanin kita jogging ya, Ma?" tanyanya. Aku menelan ludahku yang mendadak terasa pahit. Ingatan Vio masih terlalu bagus untuk melupakan jika setiap hari minggu papanya akan membawanya ke car free day di Bundaran HI. "Papa sibuk banget ya, Ma?" tanyanya lagi. "Iya, lagi sibuk banget. Makanya Vio jadi anak baik ya disini." Aku menyelesaikan ikatan sepatunya dan membantunya merapikan ikatan sepatu yang sebelahnya. Vio lebih dekat denganku dibandingkan dengan Beni, papanya. Akhirnya aku biasa mengucapkan nama itu setelah beberapa lama ini rasanya seperti tabu untuk mengucapkannya. Aku benci mengucapkan namanya yang pasti akan membuatku mengingat wajahnya. Vio tidak akan mencari-cari papanya, paling hanya akan menanyakannya sekilas kemudian melupakannya. Beni jarang ada waktu bersama Vio. Subuh sudah berangkat kerja dan pulang malam saat Vio sudah tertidur. Vio lebih banyak menghabiskan waktu bersamaku. Dia hanya tahu papanya akan mengajaknya jalan-jalan pada hari minggu, itu saja. Entahlah, mungkin aku agak sedikit bersyukur Vio tidak begitu dekat dengan Beni, aku bersyukur Vio tidak mencari-cari papanya. Sampai saat ini aku masih tidak tahu, apakah menjauhkan Vio dari Beni merupakan jalan terbaik. Sepertinya aku yang terlalu egois. Aku menggenggam tangan Vio sambil menyusuri jalan komplek perumahan. Vio nampak penasaran dengan sekelilingnya, berkali-kali matanya seperti terpaku pada suatu objek. Pandanganku menerawang. Udara ini, suara tawa Vio, bahkan genggaman tangan Vio membuatku terlempar ke masa lalu.(*)
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN