Tunangan Patricia

1621 Kata
  Hati Pamela serasa hancur melihat Travis yang seperti ini. Bukan ini yang dia inginkan. Dia ingin Travis bahagia bersama dengan Selena. Oleh karena itu Pamela rela menghilang dari hidup mereka. Tapi mengapa Travis menjadi seperti ini.   Bukankah dia membencinya?   Bukankah Travis menginginkan dirinya menghilang?   Memang awalnya Pamela tidak tau tentang pesawat yang hendak ia naiki mengalami kecelakaan. Itu karena dirinya yang lupa ingatan saat siuman dari tabrak lari. Namun setelah ia ingat semuanya, Pamela masih enggan muncul agar seluruh orang yang mengenalnya mengira dia salah satu korban yang hilang. Sungguh dia tidak menyangka jika Travis akan merasa bersalah seperti ini.   "Pamela... Pamelaku... Jangan tinggalkan aku lagi, " pinta Travis. Pria itu mengeratkan pelukannya pada Pamela.   "A-aku tidak pernah meninggalkanmu hiks, " isak Pamela. Air matanya mulai mengalir menuruni pipinya.   "Travis--Kau harus hidup bahagia. Kau tidak boleh putus asa. Jangan buat aku khawatir, " Pamela mengucapkan kata-kata yang diluar dialog yang diberikan Inoe. Suaranya ikut serak karena menangis.   'Dulu aku sangat menginginkan pelukan pria ini. Aku setiap malam memimpikan dia membelai rambutnya dengan sayang seperti sekarang. '   "Pamela... Bayi kita meninggal karena aku. Maafkan aku, karena kebodohanku bayi kita meninggal. Tolong jangan benci aku..."   Deg.   Deg.   Deg.   'Bayiku... Bayiku. ' Tubuh Pamela menjadi kaku.   Buagh.   Bruk.   Travis pingsan dipelukan Pamela. Clark memberikan cengiran pada Pamela dan meniup tangannya yang sakit karena memukul tengkuk Travis agar temannya ini pingsan. Clark tidak bisa membiarkan Travis mengatakan masalah pribadinya pada orang asing meskipun dia mirip dengan Pamela.   "Cukup Patricia. Terima kasih atas bantuanmu, " ucap Clark. Dia menarik Travis dari Pamela. Tetesan air mata masih membasahi pipi Travis.   "I-iya," lirih Pamela.   Dia nampak tidak fokus. Perkataan Travis mengembalikan ingatan yang berusaha dia lupakan. Bayangan dirinya yang kesakitan perlahan mengusik ketenangan hati Pamela.   ''Akh sakit! Travis! Hiks"   ''Nona bertahanlah... Ambulan segera datang! "   "Dimana Travis, Bi? "   "Dia dalam perjalanan. Pasti tuan muda akan datang. Ya Tuhan, darahnya semakin banyak. Nyonya tolong bertahanlah... Nyonya ...nyonya .."   Pamela memegang dadanya saat teringat peristiwa itu. Dadanya berdenyut-denyut sakit saat bayangan itu melintas. Bibi Lely memanggil namanya sebelum dia kehilangan kesadaran. Dan yang paling menyakitkan adalah berita setelah ia siuman.   Saat itu dokter berdiri di samping Pamela yang terbaring di ranjang rumah sakit. Lelly juga menatapnya dengan pandangan kasihan. Mereka menatapnya dengan penuh rasa iba.   "Nyonya anda sudah sadar? "   "Oh, dimana bayiku... Dimana dia? Dokter, Bibi? "   ''Maafkan kami, bayi anda tidak tertolong. "   "Ti-tidak! Dimana bayiku, dimana dia! Tolong dimana bayiku hiks!? "   "Ini bayi anda nyonya, dia bayi yang tampan. "   Pamela menangis dan menjerit sambil memeluk bayinya yang dingin. Wajahnya yang tampan, putih dan cubby sudah memucat.   "Hiks bayiku~"   Maria dan Axton tiba di rumah sakit. Wanita paruh baya itu ikut memeluk Pamela untuk menenangkannya. Hatinya juga hancur melihat cucunya yang dingin dalam gendongan Pamela.   "Dimana Travis!? " teriak Maria.   "Dia belum datang. " Axton melirik Pamela sejenak dengan iba," Dia masih ada di apartemen Selena. Mungkin sekarang dia dalam perjalanan pulang. "   Dua berita menyakitkan itu membuat Pamela menyerah. Saat itulah Pamela memutuskan untuk meninggalkan tempat ini secepatnya. Dia tidak sanggup mengenang kembali peristiwa itu.   "Ehem... Patricia, Aku sudah membaringkan Travis ke kamar istrinya, " ucap Clark dari arah pintu kamar Pamela dulu. Pamela segera menghapus air matanya dan bersikap acuh tak acuh. Dia melenggang menuju Clark.   "Bearti aku bisa pulang. "   "Yeah, terima kasih. Kuharap besok dia bisa kembali normal. "   Pamela mengangguk. Dia mengambil tasnya dan keluar melewati pintu rumah ini. Dia segera memacu langkahnya menuju taman perumahan Valley tempatnya dulu tinggal dalam kesedihan.   "Hiks mengapa aku harus berada di rumah ini lagi, mengapa hiks hiks... '' Pamela merintih dan menangis di taman. Siksaan ketika ingatan peristiwa itu terjadi, sangat menyakitkan. Padahal Pamela sudah menyiapkan hatinya. Ternyata dia terlalu percaya diri.   Pamela menghabiskan waktu merenung di taman seorang diri. Keyakinannya untuk tidak membenci Travis perlahan luntur.   'Aku berhak membencinya! '   'Aku berhak membenci Selena! '   'Oh Tuhan, mengapa aku seperti ini. Perasaanku bahkan lebih kacau dari pada sebelumnya. '   "Patricia? " Seorang pria berambut pirang cepak, tinggi dan bermata biru keabu-abuan datang mendekat.   Pamela menatap pria yang tidak dikenalnya. Sebuah kesadaran tiba-tiba muncul di ingatannya. ''Jangan-jangan dia Dei Stanton? '   'Bukankah dia berambut pirang panjang? '   "Ternyata benar, hai Pamela. Aku sungguh tidak percaya bertemu denganmu di sini. "   "Dei Stanton? "   Pria itu mengangguk lalu mendudukkan bokongnya di bangku taman sebelah Pamela.   "Kurasa kau membutuhkan ini? " Dei yang memiliki bariton yang dalam menawarkan sapu tangan pada Pamela.   "Terima kasih. "   "Menangis sendirian di tempat seperti ini...kau cukup berani ya, " ujar Dei. Pria ini menyandarkan tubuhnya di bangku taman dan menyilangkan kakinya.   "I-itu. "   "Sudahlah, ayo ke apartemenku. Aku tidak bisa membiarkan tunanganku kedinginan dan berkeliaran di jalan. ''     Pamela tertegun melihat nuansa maskulin yang didominasi warna kayu dan crem. Semua nampak bersih. Terlebih dapur yang luas yang bisa dilihat dari ruang tengah. Pamela sanggup membunuh orang untuk mendapatkan dapur secantik itu.   "Kau seorang detektif kepolisian dan kau juga pria yang rapi. Sangat diluar dugaan, " ucap Pamela.   Dei mengangkat bahu, dia membuka gesper dan menaruhnya di lemari. Dari gelagatnya Dei pria yang suka semua berada pada tempatnya. Pamela terus memperhatikan penampilan Dei, pria pirang itu menekuk kemejanya sebatas siku. Tangannya yang kuat terlihat meski hanya terlihat sebatas siku. Pamela yakin Dei mendapat otot kuat itu dari latihan yang intens.   Diluar dugaan, Dei menuju dapur dan mengeluarkan sesuatu dari kulkas. Gelagatnya menunjukkan jika dia ingin memasak. Dari situ Pamela tidak bisa tinggal diam.   "Kau bisa memasak? "   "Ya, aku suka memasak."   "Boleh kubantu? " tawar Pamela.   Dei terkekeh, dia mengusap rambutnya dan terlihat lebih tampan dengan pose itu. Bahkan celemek yang menggantung di bahunya memberi kesan jika pria itu adalah pria penyayang keluarga.   "Bukankah kau terlalu kaku untuk seukuran gadis yang bertunangan denganku? "   Pamela terkekeh, "Dan kau terlalu feminis untuk seukuran detektif yang memegang senjata tuan pirang. "   "Hei aku menyukai sebutan itu, biasanya teman-temanku memanggilku tuan cantik karena rambut panjangku, " gerutu Dei.   "Apa yang terjadi dengan rambut panjangmu,? "   "Aku sudah membebas tugaskan mereka. Usiaku sudah tidak cocok untuk tetap menahan mereka di kepalaku. "   Pamela semakin tergelak. Dia menyukai pria ini. Humoris dan dewasa. Seseorang yang bisa dengan mudah membuatnya melupakan masalahnya beberapa menit yang lalu.   "Tolong gulanya!" ucap Pamela.   "Mengapa kau membutuhkan gula sedangkan kau sudah manis? " jawab Dei.   "Okey tuan pirang, kita lanjutkan acara menggodamu nanti. Aku serius butuh gula atau masakan ini tidak akan terasa enak untuk mengisi perut kita. "   "Okey. "   "Coba incipi, " ucap Pamela.   "Mengapa kau tidak menyuruhku mengincipi bibirmu?"   "Dei! "   Pamela tidak menyangka jika pria ini juga perayu ulung. Setiap gerakannya bisa menimbulkan inspirasi bagi pria ini untuk merayunya.   'Patricia menpunyai tunangan yang menyenangkan sekaligus memiliki potensi playboy, ' batin Pamela.   Ini adalah tipe yang ia takuti. Sebab pria seperti ini mampu menguasai hati seseorang tanpa sadar. Merebut semua suasana hati dengan mudah. Dan yang terburuk, pria seperti ini mudah untuk dicintai.   Makanan mulai tersaji. Bibir Dei melengkung membentuk kurva sempurna.   "Ayahku tidak salah memilih tunangan untukku. "   "Jadi kau menilai seseorang pantas menjadi tunanganmu hanya karena bisa memasak? "   "Tidak juga, tapi ada pepatah kuno *awal membuat pria jatuh cinta adalah lewat perutnya lebih dahulu."*   "Baiklah baiklah, makanlah tuan pirang. "   "Ya Tuhan, kau begitu cantik saat menyebutku tuan pirang. Panggilan sayangmu aku terima sweetie. "   Mau tidak mau wajah Pamela memanas. Sebelum makan malam dia sudah kenyang dengan rayuan pirang didepannya.   Jika dia ingat kembali, ini adalah pertama kalinya ia makan dengan seorang pria selain ayah dan Sean secara intim dan hangat. Dulu Travis tidak pernah sudi menyentuh makanannya. Sama seperti dia tidak sudi melihat wajahnya.   "Travis, makanan sudah siap. Jika kau makan aku akan ke kamar agar tidak mengganggumu. "   "Tidak. Aku akan keluar bersama Selena. "   "Iya. ''   Perasaannya kembali berdenyut sakit jika mengingatnya. Pamela melanjutkan makan dan berusaha melupakan bayangan Travis. Terlebih ada makhluk pirang yang menggodanya tanpa henti.   "Wah, ini enak. Aku harus tinggal bersamamu, " cetus Dei.   "Aku tinggal di Queens. Cukup jauh dari sini. "   "Aku tau, tapi tidak masalah. Pria suka berpetualang."   "Bagaimana dengan pekerjaanmu? Kau yakin tidak terlambat untuk ke kantor?"   "Itu bisa diatur. Terkutuklah aku jika melewatkan tinggal bersama tunanganku hanya karena jarak rumahmu dan kepolisian Newyork berjauhan. "   "Aku tidak akan mendebatnya. "   Ketika waktu tidur tiba.   "Kau tidur disini, " tunjuk Dei pada kamar tidurnya. Lagi-lagi Pamela jatuh cinta pada segala hal yang ada diruangan Dei. Kamar maskulin yang menenangkan. Membuatmu b*******h hanya karena menginjakkan kaki di lantai kamar ini. Seolah kamar ini diciptakan untuk menarik perhatian wanita agar rela bercinta dengan si pemilik.   Sungguh berbahaya.   "Tapi ini kamarmu, " tolak Pamela. Dia belum siap jatuh pada suasana panas setelah kejadian mengiris hatinya setahun terakhir. Bercinta dengan tunangan orang lain jelas bukan daftar yang ingin ia masukkan ke dalam agendanya.   "Akan menjadi milikmu sweetie. "   Deg.   Cup.   s**t.   Apakah Dei ternyata juga seorang casanova? Dia memeluk pinggang Sakura dan mencium pipinya. Tanpa ijin. Membuat Pamela merasa buruk sekaligus malu. Secara garis besar dia tidak berhak menerima segala kebaikan Dei karena dirinya bukan Patricia sesungguhnya meskipun dia menggantikan posisi Patrucia sekarang.   Dei keluar kamar dan tertawa senang.   "Biasakan hal itu sweetie. "   Ketika pintu kamar tertutup Pamela merasa sangat lega. Kepalanya terasa berat dan ingin sekali merangkak menuju kamar mandi.   "Aku tidak sabar ingin segera pergi dari kota ini. Tapi bagaimana cara memutuskan hubungan pertunangan dengan Dei? " guman Pamela.   Ada banyak masalah yang mengganjal pikirannya. Pamela yang depresi dan luka hatinya yang masih ia rasakan.   'Alangkah baiknya jika aku terus hilang ingatan. Setidaknya aku tidak merasakan rasa sakit kehilangan bayiku. '   'Aku juga tidak perlu merasakan perasaan benci pada kedua orang itu. Ya Tuhan maafkan aku yang membenci mereka, bagaimanapun aku manusia. Sungguh sangat manusiawi membenci mereka yang menjadi penyebab penderitaanku. '    Tbc. 
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN