Kontur wajah yang tak asing serta sorot mata teduh itu membuat Anjani dejavu. Ia tersenyum sementara otaknya berkelebat pertanyaan demi pertanyaan.
‘Apa aku pernah melihatnya?’
Anjani bermonolog. Nayyala memperhatikan sang bibi dan Rinjani yang saling memandang dalam diam.
“Hmmmm, kok pada melamun?”
“Eh!”
Rinjani berdehem begitupula Anjani. Mereka sama-sama larut dalam pertanyaan yang tak kunjung menemukan jawaban.
“Bi, kayaknya kita harus berangkat lagi nih.”
Nayyala melihat smartwatch-nya. Waktu sudah menunjukkan pukul sembilan lewat.
“Oh, nggak mau tunggu roti matang dulu buat sarapan?”
“Hmmm, next time saja deh, Bi. Khusus datang buat cobain bakery and cake ala Bibi Anjani….”
Nayyala melebarkan kedua tangan seraya menunjuk tempat itu lalu tersenyum manis. Bibi dan keponakan tersebut memang sangat dekat. Bahkan tak jarang mereka hangout bersama tanpa Kayla—ibunda Nayyala.
“Baiklah ….”
Rinjani hanya tersenyum. Sikap Anjani sangat ramah dan tenang. Pertama kali bertemu orang asing, namun ia tidak merasa diasingkan. Sungguh menyenangkan!
“Dan kamu—Rinjani,” panggil Anjani dengan senyumnya yang khas.
“Oh, i-iya, Bi.”
“Kamu harus sering-sering main kesini, ya. Tanpa Nayyala juga nggak apa-apa, kok.”
“Lho kok begitu, Bi?”
Nayyala memprotes.
“Nayyala pernah cerita kamu jago buat kue, jadi kita bisa kolaborasi,” sambung Anjani. Karena memiliki kesamaan, Anjani merasa begitu klop dengan gadis itu.
Rinjani mencengir.
“Baik, Bi.”
“Ya sudah kalau begitu kalian berangkat. Takut macet.”
“Iya, benar. Bye, Bibi.”
Nayyala maju selangkah lalu memeluk bibinya. Sementara Rinjani tak berani sok asik. Alhasil ia diam. Namun, Anjani justru menghampirinya dan memeluk gadis itu.
“Bye, Sayang.”
“Bye!”
Keduanya berlalu dan Anjani masih mengekori punggung anak gadis berusia dua puluh tahunan tersebut. Mereka terlihat sangat akrab seperti anak kembar. Bedanya, Nayyala dengan gaya modis. Sementara Rinjani bergaya vintage.
Setelah Rinjani dan Nayyala menghilang dari pandangan, Anjani kembali menyelesaikan rangkaian bunga untuk pengharum ruangan. Ia memang sangat bahagia melakukan hal-hal kecil di toko miliknya.
Sejak memutuskan untuk tidak bekerja dan putranya mulai beranjak dewasa, Anjani meminta Arjuna membangunkan sebuah toko kue untuk menghabiskan waktu di masa tua. Semula Anjani hanya ingin toko kue sederhana. Namun, kini yang tampak justru sangat mewah, semua itu tak lain karena ulah putranya.
Alih-alih hanya ingin mendirikan toko bakery and cake sederhana, Anjani malah membuka banyak cabang di beberapa kota. Alhasil, ia harus kembali berjibaku di dunia usaha.
“Hai, Bu.”
Suara bariton menggema. Anjani menoleh pada sosok yang berdiri di ambang pintu.
“Sadewa?”
Pria itu tersenyum seraya merentangkan tangan lebar-lebar. Langkah kaki pun mulai bergerak mendekat ke arah ibunya.
“Miss you.”
Anjani menyambut pelukan putra semata wayangnya. “So do I, my boy.”
Detik berikutnya, Sadewa mengurai pelukan itu lalu memandang wajah sang ibu penuh tanda tanya.
“Kenapa lihat Ibu begitu?”
Sadewa menggeleng lalu tersenyum. Ia lantas duduk di salah satu sofa. Kebetulan, toko masih sepi karena belum masuk jam operasional.
Menit berlalu tanpa tahu maksud kedatangan Sadewa—Anjani pun ikut duduk di sisi sang putra.
“Ada apa datang pagi-pagi sekali? Kamu nggak kerja?”
Melihat wajah ibunya dengan rambut ala-ala Korea, membuat Sadewa jadi teringat sosok gadis super berani yang berhasil menendang tulang keringnya.
“Kerja, Bu. Tapi ada yang mau Dewa tanyakan sama Ibu.”
Sadewa mulai memasang wajah serius. Pun demikian Anjani.
“Tentang apa?” tuntut Anjani tak sabar.
“Tentang Chayra, Bu.”
“Chayra?” beo Anjani.
Wanita itu menggeser posisi duduknya lebih merapat, lalu menggenggam kedua tangan putranya.
“Ada apa dengan Chayra?”
Mendengar pertanyaan itu, Sadewa menghela nafas. Ia menyandarkan punggungnya ke sofa sambil menebak bahwa sang ibu juga pasti tidak tahu apa yang terjadi dengan wanita tersebut.
“Entahlah, Bu. Dewa merasa akhir-akhir ini Charya bersikap aneh.”
“Aneh bagaimana?”
Anjani mengernyitkan dahi saat mendengar hembusan nafas Sadewa terasa berat.
“Semalam … Chayra ….”
Sadewa tiba-tiba tersadar. Ia tak ingin membuat ibunya khawatir. Pertunangan mereka sudah berlangsung sejak lama. Bahkan, persiapan pernikahan hampir delapan puluh lima persen. Tapi—Chayra mendadak mengakhiri semua. Entah apa yang dipikirkan wanita itu?
“Semalam Chayra?” ulang Anjani.
“Nggak jadi, Bu. Dewa lupa mau ngomong apa.”
Sadewa memutuskan tidak menceritakan kisah patah hatinya pada sang ibu. Ia memilih untuk diam dan menelan semua. Berharap bahwa kegamangan Chayra hanya karena godaan menjelang pernikahan.
‘Sebaiknya Ibu nggak tahu tentang ini. Dan semoga besok atau lusa Chayra berubah pikiran. Tapi apa mungkin? Gue udah nyuruh dia nggak muncul di hadapan gue? Arrrgh!’
Sadewa berharap bahwa takdir akan menyatukan mereka kembali walau hatinya masih terasa perih.
“Kamu yakin nggak terjadi apa-apa sama kalian berdua?”
Anjani memancing namun diabaikan oleh anggukan kecil Sadewa.
“Baiklah.”
Anjani menatap wajah Sadewa yang tampak muram. Meski pria itu sangat sulit mengekspresikan diri dan terkesan dingin. Tapi ia tahu bahwa putranya akan memperlakukan wanita yang ia cintai dengan sangat sempurna.
“Oh ya!” seru Anjani mengalihkan suasana.
“Ada apa, Bu?”
“Barusan Nayyala datang sama temannya.”
“Oh, ya? Mau apa kesini?”
“Cuma bawain bahan cake sih. Tadi kalau tahu kamu mau kesini, Ibu suruh kamu aja. Kasian Nay sama temannya karena harus cepat masuk kelas.”
“Ya, Dewa juga nggak ada planning, Bu. Cuma tiba-tiba aja.”
Anjani tersenyum. Melihat Sadewa, tentu saja seperti copy paste suaminya. Dari wajah hingga sifat, semua menurun.
“Iya, nggak apa-apa.”
Ketika keheningan menyelimuti, Anjani kembali bercerita.
“Anyway, temannya Nayyala ternyata cantik deh, terus katanya dia juga jago buat cake. Next time Ibu mau ajak dia collab. Hmmm, namanya ….”
Drrrttt.
Belum sempat menyebut siapa nama gadis yang menarik perhatiannya pada sang buah hati, sebuah panggilan sudah menjeda. Sadewa mengalihkan pandangan itu pada layar ponsel.
“Bu, Dewa balik ke kantor, ya. Kayaknya urgent nih.”
“Oh, begitu. Ya udah. Hati-hati, ya, Sayang.”
“Ya, Bu. Love you….”
“Love you more, Sayang.”
***
Tiba di kampus, Rinjani berjalan gontai. Meski wajahnya sedang tidak baik-baik saja, tapi para pria tak henti menggoda.
“Hai, Rinjani. Makin cantik aja,” goda salah seorang laki-laki yang tengah duduk di lingkungan kampus.
Nayyala memutar bola matanya jengah.
“Tutup mulut lo!” seru Nayyala mewakili sahabatnya.
“Kok lo yang sewot!”
Rinjani menarik tangan Nayyala untuk tidak meladeni mahasiswa tersebut. Tidak heran, Rinjani memang memiliki wajah cantik alami. Bahkan tanpa riasan tebal, wajahnya sangat meneduhkan. Bola mata indah. Alis tebal. Dan bibir menggoda. Itulah image Rinjani di kampus. Tak ayal, banyak senior yang benci karena julukan primadona yang ia sandang.
Tak hanya cantik saja, Rinjani juga termasuk beruntung karena dianugerahi otak yang cerdas dan keluarga berpunya.
Langkah mereka menjauh.
Namun, tiba-tiba Rinjani menghentikan langkah kakinya ketika menaiki anak tangga gedung fakultas teknik.
“Hmmmp!”
Suara desis sepasang kekasih di sudut tangga, mengganggu indera pendengaran Rinjani. Ia pun menyipitkan mata. Sementara sahabatnya hampir berteriak, menyumpah serapahi orang tak tahu malu itu. Namun, Rinjani gegas menahan pergelangan tangan sang sahabatnya.
“Diam, Nayyala,” bisik Rinjani.
Semakin lama, pandangannya semakin fokus. Punggung itu, sangat tidak asing. Dan ternyata benar tebakannya ….
“Emir?”
***