DASAR BRENGSEEK!

1292 Kata
“Jangan disini, Sayang.” Seorang gadis dengan malu-malu mendorong sang kekasih. Namun, tampak laki-laki itu semakin bersemangat menghimpit ke sudut persimpangan tangga. Tak perlu heran mengapa sepasang kekasih itu lancang berbuat m***m disana. Sebab, area tersebut memang jarang dilewati. Orang lain akan lebih memilih lift dibandingkan berjalan kaki melalui tangga. Entah kesialan dari mana, Rinjani harus mengotori indera pendengaran dan penglihatannya dengan adegan tersebut. “Hmmmmp!” Sementara Nayyala semakin tidak tahan, ia hendak menyumpah serapahi pasangan tersebut. Namun, Rinjani menahan. “Diam, Nayyala,” bisik Rinjani. Semakin lama, titik pandang Rinjani semakin fokus. Punggung itu, sangat familiar. Dan yang ada dalam benaknya adalah …. “Emir?” Entah karena suara kecapan mereka yang sangat menggebu atau ucapan Rinjani tidak terdengar. Sepasang kekasih yang tengah dimabuk asmara itu sama sekali tak menyadari adanya orang lain. Sampai ketika mereka memutar posisi sedikit menyerong, Rinjani merasa murka. Tangan mengepal erat dan rahang kian mengetat. ‘Jadi ini alasan kamu putusin aku, Emir?’ Padahal luka batinnya belum sembuh karena ucapan Emir semalam. Sekarang, Rinjani harus disuguhkan dengan pemandangan menyayat hati. Di antara rasa perih dan kecewa—Rinjani merasa kobaran api justru mendominasi dirinya. Ia marah—sangat marah! “Dasar brengseek!” Nayyala menghindar ketika Rinjani melepas salah sepatunya dan melempar itu ke arah Emir. Dibersamai pekikan tersebut, lelaki disana menoleh. Dan alhasil …. Plak! Sepatu kets putih berhasil mengenai hidung runcing tersebut. “Aw!” pekik Emir saat merasakan darah segar mengalir dari lubang hidungnya. Sementara Nayyala tercengang bukan main. Ia merasa ngeri sekaligus takjub. Dengan bibir menganga serta mata membulat, Nayyala mulai bertepuk tangan. Clap! Clap! “You’re so amazing, Rinjani.” Sambil menggelengkan kepala, Nayyala tak menyangka gadis itu bisa sangat berani. “Lo ini apa-apaan sih, Rin?!” Emir memandangnya dari atas, sementara Rinjani di bawah tangga tersenyum mengejek. Tatapan mata Rinjani langsung tertuju pada seorang gadis yang lebih tua darinya. Yups! Kakak tingkatnya di semester enam. “Jadi, sekarang lo suka sama perempuan yang lebih tua?” sindir Rinjani. “Tutup mulut lo!” tantang si gadis tersebut. “Rinjani!” erang Emir menimpali. Tatapan pria itu nyalang meski sambil mendongak agar mengurangi aliran darah di hidungnya. “Apa segitu menarik merampas yang bukan hak milik, Kak Vlo?” Rinjani menghardik gadis itu. Siapa yang tidak kenal Vlora Basuki? Anak pejabat yang datang ke kampus hanya untuk menghabiskan uang orang tuanya saja. Meski cantik dan stylist, otaknya benar-benar seperti udang. Bahkan tak jarang orang menganggapnya sebagai simpanan para pejabat, alias teman ayahnya sendiri. “Jangan sembarangan kalau ngomong, ya!” “Vlo …,” cegah Emir mendekap gadis itu. Dan lagi, jantung Rinjani seperti diremas kuat. “Cih! Kalian memang cocok. Sama-sama manipulatif.” Rinjani tak jadi melewati tangga itu. Sepatu yang terlanjur jatuh di hadapan Emir, ia abaikan begitu saja. Alhasil, Rinjani berlalu dengan mengenakan satu sepatu. “Rinjani, tunggu!” Melihat sang sahabat hanya mengenakan satu sepatu, Nayyala langsung sigap mengambilkannya. Setelah itu, ia berlari menyusul Rinjani yang sudah berjalan di koridor lantai dasar. Syukurnya, tempat itu sepi. “Rin, tunggu!” Nayyala hampir kehabisan nafas. Ia langsung menarik tangan sang sahabat hingga gadis itu berhenti. “Ini sepatu lo, pakai dulu!” Nayyala menyodorkan sepatu itu yang hanya dibalas tatapan kosong. “Oke. Gue bantu pakaikan, ya.” “Nggak perlu, Nay. Gue sendiri aja.” Rinjani menjauhkan kaki dari jangkauan Nayyala. Persahabatan mereka betul-betul murni. Tidak terlihat siapa yang lebih dominan. Meski keluarga Nayyala lebih kaya dibandingkan keluarganya. Tapi Nayyala benar-benar menganggap Rinjani sebagai saudarinya. Mereka saling menjaga dalam hal apapun. “Are you okay?” Nayyala ragu saat bertanya tentang itu. Tapi, ia harus memastikan perasaan Rinjani. “Not sure.” Rinjani memaksakan senyum. Tak lama, air mata mengalir tanpa diperintahkan. “Gue akan selalu ada buat lo, Rin. It’s okay.” Nayyala memeluk sang sahabat hingga tubuh itu terasa bergetar. Ya, Rinjani menangis pilu. *** Ujian akhir semester telah berakhir. Rinjani merasa tak bisa maksimal mengerjakan soal-soal tersebut. Semester empat ini, rasanya seperti roller coaster. Ia tak bisa berbuat apapun karena perasaan yang berkecamuk. Pengkhianatan Emir, membuat Rinjani merasa tak percaya diri. Si gadis ceria nan ceroboh itu, kini tampak pemurung. Nayyala yang baru selesai langsung menghampiri Rinjani di lingkungan fakultas teknik. Sebab gedung fakultasnya dan Rinjani bersebelahan. Nayyala yang sejak kecil sangat kreatif, kini menempuh pendidikan di bidang seni rupa dan desain. Nayyala keluar track dari kebiasan keluarga Barathawardana. Sebab, semua anggota keluarganya memiliki darah pebisnis. Tapi, Nayyala tak mempedulikan itu. Toh, ia memiliki saudara yang akan meneruskan perusahaan sang ayah. “Dor!” Nayyala mengejutkan sahabatnya dari belakang. Tapi, gadis itu tak bereaksi sama sekali. Segitu patah hati kah Rinjani? “Sist, kenapa?” Nayyala memberengut melihat Rinjani yang sangat berbeda. “Oh, nggak apa-apa. Yuk! Temenin gue.” Nayyala mengernyitkan dahi. “Kemana?” “Ketemu kaprodi.” “Buat?” “Ikut aja.” Rinjani beranjak dan berjalan lebih dulu, menyisakan tanda tanya besar di kepala sahabatnya. Tiba di ruang kaprodi, Rinjani mengetuk pintu tiga kali. “Ya, masuk.” “Permisi, Bu.” Rinjani berjalan pelan sambil membungkukkan badan. Setelah masuk, ia segera duduk di hadapan Sri Widiasih—kaprodi jurusan teknik arsitektur. “Ya, Rinjani. Ada apa?” Rinjani melirik Nayyala yang juga menatap ke arahnya. Mereka bertatap cukup lama. “Bu, semester lima saya mau ikut program kampus merdeka, ya.” Boom! Nayyala tiba-tiba memberengut karena Rinjani tak pernah cerita hal itu sebelumnya. “Rin, lo?” Nayyala grasak-grusuk tak terima. Bayangkan saja. Mengikuti program itu, sama saja membuat waktu mereka semakin sulit bertemu. Apalagi, Nayyala tidak mempersiapkan hal yang sama. Jika Rinjani satu semester ikut program MBKM, kemungkinan besar ia akan jarang ke kampus. Tak menaruh curiga apapun, sang kaprodi memberikan saran dan pengarahan. “Kalau begitu kamu daftar dulu di link kampus merdeka, cari program MBKM yang paling sesuai, terus seleksi. Setelah itu, temui saya lagi ….” “Sudah, Bu ….” “Sudah?” beo Sri. “Saya sudah mendapatkan perusahaan untuk magang.” “Terafiliasi dengan program kampus merdeka ‘kan?” “Iya, Bu.” “Baiklah, kalau begitu Ibu akan buat surat pengantarnya.” “Terima kasih, Bu.” Usai keluar dari ruang kaprodi. Nayyala membisu. Ia merasa dikhianati. Tapi, ia tak bisa menuntut perasaan Rinjani. “Nay, lo marah?” “Kok lo mau mbkm nggak bilang-bilang sih?” “Maaf, Nay. Gue memang pengecut. Cuma demi menghindari Emir, gue memilih magang di tempat lain.” Nayyala menghentikan langkah kakinya. “Jadi, karena Emir?” Rinjani menghadap ke arah sahabatnya. “Ya.” “...” “Kalau kita nggak satu fakultas mungkin bukan masalah. Tapi, kita ada di satu gedung yang sama, Nay. Setiap hari gue harus lihat muka dia yang sama sekali nggak merasa bersalah.” “Rin …,” lirih Nayyala. “Delapan tahun itu cuma angka. Bahkan, dia sama sekali nggak merasa ada yang spesial dari hubungan kita.” Semakin lama suara Rinjani jadi parau. Nayyala mengerti rasa sakit menahan diri untuk tidak mengerti. “Apapun itu, gue dukung keputusan lo. Lagi pula, kita masih bisa hang out setelah lo pulang magang.” Rinjani mengangguk. Air matanya hanya sampai di kelopak mata. Ia langsung mengusap itu. “Thanks, Nay.” “Anytime.” *** Dua minggu kemudian …. Rinjani memandang fasad gedung bergaya industrial. Tampak mewah meski tidak terlalu besar. Senyumnya mengembang dengan mata berbinar. Ia berdoa semoga kesibukan bisa membuatnya lupa akan rasa sakit itu. Saat hendak masuk, ia tak sengaja beradu dengan seseorang di pintu. Hal itu membuat Rinjani meringis karena terhimpit oleh orang tersebut. “Akh!” Rinjani mengerang. Dahinya mengernyit. Ia langsung mendongak dengan tatapan nyalang. “Kalau mau masuk gantian do….” Tubuh Rinjani seketika limbung. “O-Om?” ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN