BERTEMU LAGI~

1280 Kata
Dua minggu kemudian, setelah dinyatakan lolos seleksi administrasi, Rinjani mendatangi tempat magang untuk menjalani serangkaian tes wawancara. Karena setiap mitra memiliki kebijakan yang berbeda. Tentu saja Rinjani merasa sangat gugup. “Wish me luck!” Rinjani hendak masuk. Namun, tubuhnya tertahan karena ada seseorang dari arah lain yang ingin menerobos. “Akh!” Rinjani mengerang dengan tatapan nyalang. Saat ia mendongak, tubuhnya seolah tak bertulang. “O-Om?” “Om?” Pria lainnya tertawa seraya mengulangi ucapan Rinjani. “Jadi Om kerja disini juga?” Rinjani benar-benar tak menyangka bahwa mereka akan bertemu lagi di tempat magang. Melihat penampilan pria yang pernah ia tendang—membuat jantungnya tiba-tiba berdegup kencang. ‘Kenapa gue jadi deg-degan begini?’ Mata Rinjani memindai pria di hadapannya. Mulai dari ujung kaki hingga kepala. Mengenakan kemeja lengan panjang yang digulung sampai siku, celana panjang sebatas mata kaki, ditambah dengan sepatu kets putih bergaris tiga. Penampilannya mendapatkan nilai sempurna. Apalagi, tubuh tegapnya sangat menggoda. ‘Apa yang lo pikirin, Rin.’ “Hmmmmm,” dehem pria dengan ekspresi dingin. “Kamu mau masuk ‘kan?” Rinjani mengangguk seraya tersenyum. “Kalau begitu, cepetan dong!” ketus pria tersebut. Baru dipuji dalam hati, eh sudah menunjukkan jati diri. Sejak awal Rinjani memang memiliki kesan buruk terhadap pria itu. Jadi, seharusnya ia tak perlu berekspektasi apapun. Mendengar ucapan tersebut, pria lain disana membela Rinjani. “Lo nggak boleh begitu dong sama perempuan,” ucapnya seraya menggeser posisi pria ketus disana. “Hai! Kita ketemu lagi. Saya Bhumi.” Rinjani menyambut baik pria lain yang sangat ramah padanya. “Saya Rinjani, Om.” “Salam kenal, ya. Tapi jangan panggil om, dong.” Bhumi mengerlingkan mata. Namun, Rinjani hanya membalas dengan senyuman. Saat berikutnya, ia masuk lebih dulu menuju ruang pertemuan. Mendadak, mood-nya jadi buruk. Beberapa menit kemudian, Sadewa duduk di kursi miliknya. Ruang kerja berdinding kaca itu, bisa melihat aktifitas para pegawai dari atas. Memiliki dua mode, Sadewa langsung mengubah kaca itu jadi satu arah. “Kok bisa dia ada disini sih?” tanya Sadewa menuntut sahabatnya. “Setahu gue, wawancara program mbkm.” “Wawancara?” beo Sadewa. “Ya, katanya lo butuh landscape designers?” Sadewa menghela nafas. “Tapi dia cuma mahasiswa dan pasti nggak punya pengalaman. Lo mau bikin proyek kita berantakan?” “Tenang aja, Man. Nilai dia di atas rata-rata. Pasti dia orang yang gampang belajar. Lagi pula, dia mahasiswa dari Universitas Tarunasagara. Lo nggak perlu khawatir. Kredibilitas kampusnya bagus kok.” “Tapi kenapa harus dia sih?” “Ya, mana gue tahu. Kebetulan dia apply dan cocok dengan posisi yang dibutuhkan. Ya, sudah pasti lolos administrasi lah.” Bhumi keukeuh mempertahankan pendapatnya. “Dan daripada lo cari karyawan kontrak yang harus dibayar sesuai jam kerja. Mending mahasiswa magang yang bayarannya nggak seberapa.” “Gue tetap nggak setuju! Tolak dia di sesi wawancara!” titah Sadewa. Pasalnya, terakhir kali bertemu, gadis itu sama sekali tak memiliki sopan santun, tak bisa mengendalikan emosi, bahkan terkesan ceroboh. Jadi, ia tak ingin mengambil resiko. Bhumi mengernyitkan dahi. ‘Dasar batu!’ Entah terbuat dari apa hati Sadewa sebenarnya. Hanya karena kejadian malam itu, ia jadi sosok pendendam. “Lho! Nggak bisa gitu lah!” “Kenapa nggak bisa?” “Karena gue berhak menentukan juga. Lo ingat ‘kan? Gue punya saham di perusahaan ini.” Sadewa mengerang frustasi. “Lebih lagi, dia cerdas. IPK-nya gede dan termasuk mahasiswa berprestasi. Nilai plus-nya … dia cantik dan menarik.” “IPK nggak jamin kinerja perempuan itu bakal bagus. Dan … mata lo harus dicuci kayaknya. Cantik dari mana sih?” Sadewa menggelengkan kepala. Rasanya ia harus memiliki stok sabar ketika berdebat dengan Bhumi. Padahal, mereka sudah bersahabat sejak di bangku kuliah dan merintis perusahaan itu bersama-sama. Dimulai dari sebuah startup hingga menjadi unicorn company. Saat ini klien mereka tidak hanya dari domestik saja. Tapi sudah merambah ke kancah internasional. “Cantik dari segala sisi. Lo lihat aja, matanya itu—cantik banget. Bibir menggoda dan postur tubuhnya aduhai ….” “Dasar m***m!” Sadewa melempar majalah ke arah Bhumi. Tak habis pikir mengapa takdir harus mempermainkan mereka. Diam-diam, Sadewa melirik ke arah workstation. Tepat di ruang meeting berlapis kaca, ia melihat sosok Rinjani tengah tertawa bahagia. “Tuh lihat, cantik ‘kan?” Bhumi menyadarkan lamunan Sadewa. Cih! Di lain sisi, meski senyum menghiasi, sejujurnya Rinjani gugup bukan main. Ini pertama kali ia melakukan wawancara di negeri orang. Maklumlah, dialek melayunya masih sangat kentara. Bahkan sesekali ia terkecoh dengan bahasa ibunya. “Kamu asal Malaysia?” “Iya, Pak.” “Saudara Kak Ros dong?” “Ya?” Pria itu tergelak pelan. “Saya bercanda, maksudnya kenapa jauh-jauh kuliah di Indonesia? Disana bukannya banyak kampus dengan grade bagus?” Rinjani menunjukkan barisan giginya. Salah satu alasan ia hijrah ke Indonesia sebenarnya karena Emir kembali ke kampung halaman sang ibu. Emir memiliki darah campuran Turki-Jawa. Saat mereka bertemu delapan tahun lalu, itu karena Emir tinggal bersama neneknya. Setelah dewasa dan sang nenek tiada, Emir memutuskan pulang ke negara ibunya lalu melanjutkan studi di Jakarta. Namun, malang. Ketika Rinjani susah payah meminta izin pada sang ayah demi menyusul Emir ke Jakarta. Ia justru dikhianati begitu saja. “Karena dulu ayah saya pernah tinggal dan kerja disini.” Dan di lain sisi, memang karena sang ayah punya properti di Indonesia, jadi pria itu mengizinkan putrinya mandiri. “Oh, ya? Berapa lama?” “Cuma setahun atau dua tahun begitu, Pak.” “Oh ….” Reza terdiam sejenak. Tatapan matanya memindai berkas portofolio Rinjani dengan seksama. “Berdasarkan portofolio, kamu sudah memenuhi kualifikasi.” “Beneran, Pak?” Reza mendongak, mengangguk dan tersenyum. “Iya.” “Terima kasih, Pak.” Rinjani merasa bahagia karena sebentar lagi akan mulai sibuk dan melupakan perasaannya. Syukur-syukur mendapat pengganti di tempat magang tersebut. ‘Pak Reza juga nggak apa-apa deh. Kayaknya masih muda. Siapa tahu bisa bantu obatin hati gue.’ “Kalau begitu saya akan kenalin kamu sama mentor disini.” “Mentor?” “Iya. Mentor yang akan menghandle proyek nanti.” Kening Rinjani mengernyit dan hanya menuruti perintah Reza. Sementara itu, Reza belum memberitahu tugas dan tanggung jawab Rinjani secara rinci karena akan disampaikan langsung oleh mentornya nanti. Reza beranjak lalu diikuti oleh gadis tersebut. Saat keluar dari ruang meeting, ia disajikan dengan meja sepanjang tiga meter saling berhadapan dan memiliki sekat-sekat. Workstations itu tertata sangat rapi. Menuju tangga, terdapat ruangan di bawahnya. Itu adalah markas Bhumi—sebagai wakil Sadewa. Langkah kaki mereka kemudian menaiki anak tangga pelan-pelan. Di depannya Reza memimpin. Saat tiba di atas, Rinjani mengelilingi pandangan. Dalam hati ia bertanya-tanya. Dimana pria yang ia temui tadi pagi? Dari atas sana, ia bisa melihat ke arah workstations secara langsung—memindai satu per satu wajah yang ada disana. Namun, sama sekali tak menemukan dua pria itu. ‘Kemana mereka? Apa cuma tamu?’ “Ruang ini milik Bu Chayra.” Rinjani tersadar dari lamunan ketika Reza menunjuk sebuah ruang 2x4 meter yang tampak melalui dinding kaca. Tepatnya berada di sebelah pintu ruangan CEO. “Bu Chayra?” ulang Rinjani. “Iya. Tunangan CEO di perusahaan ini. Beliau memegang jabatan sebagai public relations. Tapi beberapa minggu ini beliau sedang tidak masuk.” “Ah!” Rinjani mengangguk. “Tunggu, Pak. Kenapa kita kesini?” Seketika langkah kaki Rinjani berhenti. Ia semakin bingung saat mereka mendekati ruang bertuliskan CEO. “Yang akan jadi mentor kamu langsung, ya, CEO.” ‘What?’ Rinjani jadi gemetar. Bagaimana bisa anak magang langsung berhadapan dengan pimpinan tertinggi di perusahaan? Bersamaan itu pula, jantungnya berdebar semakin kencang. Terlebih saat Reza mengetuk pintu tiga kali sampai suara dari dalam terdengar samar-samar. ‘Suara itu?’ ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN