“Ya, masuk.”
Sayup-sayup terdengar suara sahutan dari dalam setelah Reza mengetuk pintu tiga kali.
‘Suara itu?’
Rinjani menggelengkan kepala. Seketika keterkejutannya terbukti saat pintu terbuka. Dua orang pria dari dalam sana, menatap ke arahnya dengan senyuman penuh makna.
“O-om?”
Reza menoleh ke arah Rinjani sambil mengernyitkan dahi.
“Kamu kenal Pak Sadewa, Rinjani?” tanya Reza membuyarkan lamunannya.
“Oh itu ….”
“Nggak, Za. Kita baru pertama kali ketemu.”
Sadewa menjawab. Tatapannya begitu dingin terasa menusuk ke tulang. Tiba-tiba saja Rinjani berubah pikiran. Perusahaan yang begitu ia inginkan untuk program mbkm, kini berubah menjadi tempat yang tidak ingin ia kunjungi.
Bhumi yang mendengar ucapan itu, hanya bisa tersenyum sambil menutupi mulutnya.
Sadewa mempersilahkan mereka masuk. Dalam jarak satu meter, mereka saling bertatapan. Namun, sedari tadi Rinjani hanya tertunduk. Rambut yang digerai dengan curtain bangs itu menutupi separuh wajahnya.
“Pak Sadewa, ini Rinjani. Mahasiswa Tarunasagara yang ikut program mbkm. Berdasarkan portofolio dia pernah memenangkan lomba tingkat nasional dengan kategori favorite landscape designer.”
Sadewa tak berpendapat. Ia hanya mengamati gadis itu dengan tatapan tak mengerti. Mengapa takdir begitu mempermainkan mereka?
“Baik, Reza. Kamu bisa tinggalkan kami.”
“Baik, Pak. Saya pamit.”
Reza menunduk. Sebelum mundur beberapa langkah, Reza menyemangati Rinjani.
“Semangat, ya, Rinjani.”
“Te-terima kasih, Pak.”
Rinjani bergumam dengan jantung yang berpacu, padahal ia sedang tidak lari maraton.
‘Oh, God! Boleh kabur aja nggak sih? Mana gue pernah tendang tulang kering dia? Apa sekarang sudah baik-baik aja?’
“Oke Rinjani, silakan duduk!” titah Sadewa membuyarkan lamunan gadis itu. Saat Rinjani mendekat, Bhumi yang tengah duduk di hadapan Sadewa langsung berpindah ke sisi sahabatnya.
“Duduk!”
Rinjani hanya bisa menuruti pria yang menatapnya dengan dingin. Ia duduk tepat di seberang meja kerja itu.
Hening. Sadewa masih memindai gadis itu dengan penuh kecurigaan.
“Lo bisa ninggalin kita berdua?”
Terkejut, Rinjani mendongak hingga membuat titik pandanganya bertemu di udara. Seketika itu pula ia kembali menunduk. Ternyata, Sadewa berbicara dengan Bhumi tanpa mengalihkan pandangan.
“Lo ngomong sama gue?”
Bhumi terlihat bingung karena sahabatnya berbicara tanpa menatap ke arahnya.
“Siapa lagi?”
“Man….”
Bhumi menatap Sadewa dan Rinjani silih berganti. Ada rasa khawatir ketika melihat tatapan dingin yang dilayangkan pria itu terhadap Rinjani. Tak lagi menggubris, alhasil Bhumi mengalah. Ia pun meninggalkan ruangan tersebut.
Detik berlalu. Rinjani masih terus menunduk. Sementara diatas pangkuan, jemarinya bersiradu tanpa ampun. Gugup, takut, dan merasa bersalah membayangi dirinya.
Haruskah ia meminta maaf tentang kejadian di bar malam itu?
“Rinjani Hussain ….”
“Ya?”
Rinjani langsung mendongak saat Sadewa memanggil nama lengkapnya. Pria itu menatap sebuah kertas portofolio miliknya.
“Apa motif kamu ikut program mbkm dan kenapa kamu pilih kami sebagai mitra?”
Pertanyaan itu terdengar menekan dan terkesan memojokkan.
Rinjani termenung.
‘Nggak mungkin ‘kan gue bilang karena patah hati dan mau menghindari Emir?’
“Kamu nggak bisa jawab?” tuntut Sadewa. Kali ini tatapan dingin itu menyorot ke arahnya.
“Eung, itu … karena … perusahaan Om eh Bapak sudah skala internasional. Dan saya mau menambah pengalaman untuk itu.”
Jawaban impulsif itu terlontar dari bibir Rinjani. Ia tak peduli jika di tahap wawancara bersama pria ini gagal atau tidak. Terpenting, ia sudah mencoba.
“Saya nggak butuh orang yang cuma coba-coba.”
“Baik, Pak. Saya akan berusaha.”
Rinjani menyembunyikan wajahnya
“Satu hal lagi ….”
Sadewa menggantungkan ucapannya.
“Ya, Pak?”
“Sekali lagi saya dengar kamu panggil Om. Saya akan pulangkan kamu ke dosen pendamping program kamu.”
“Siap, Pak.”
“Mulai besok kamu datang kesini.”
“Hah? Besok?”
Rinjani terkesiap. Setahunya, ia akan mulai magang di semester depan dan masih terhitung empat minggu untuk itu. Jika ia masuk mulai besok—artinya ia harus merelakan liburannya.
‘Masa liburan gue harus magang, sih?’
Rinjani menggerutu dalam hati.
“Kamu nggak mau?”
“Oh nggak begitu, Pak ….”
Tak punya pilihan lain. Rinjani akhirnya setuju.
“Baik, Pak.”
Rinjani menghela nafas diam-diam. Baru pertama kali bertemu mentornya saja sudah gugup bukan main. Apalagi jika harus setiap hari bertemu, berdiskusi, atau bahkan dinas luar bersama. Rinjani tak bisa membayangkan secanggung apa dirinya.
***
Rinjani masuk ke dalam unit apartemen dengan gontai. Ia langsung melempar tas dan merebahkan diri di sofa.
“Arrrrrggggh!” pekik Rinjani tak tahan.
Mengapa takdir mempermainkan mereka?
“Kenapa dunia sesempit ini sih? Ya Tuhan. Belum mulai aja jantung gue udah mau copot. Bagaimana tiap hari berhadapan langsung?!”
Setelah itu, suara nafas terhempas kencang. Rinjani menggelengkan kepala. Mengayunkan kaki serta memukulkan telapak tangannya dengan kuat ke sofa.
Ia mengamuk seperti orang tak waras. Sebelum akhirnya berhenti ketika suara dering ponsel berbunyi.
Ayah.
Satu nama di layar ponselnya tertera. Rinjani pun bangkit, duduk, merapikan rambut dan menghela nafas panjang sebelum menerima panggilan video.
“Halo, Ayah.”
“Hai. Sweetheart. Sedang buat apa?
“Baring saja, Ayah.”
“Kamu tak dating dengan Emir?”
“Tak, Ayah.”
“Why?”
“Emir sibuk ….”
‘Sama selingkuhannya.’
“... Ayah.”
Rinjani melanjutkan kalimat yang sempat tejeda oleh jeritan batinnya.
“Ah! By the way, kamu dari mana? Kenapa berpakaian rapi?”
Rinjani menunduk. Pantas saja sang ayah salah fokus. Sejak tiba, ia memang belum sempat bersih-bersih. Saat itu, ia masih mengenakan blouse putih beraksen pita di leher serta rambut tergerai panjang.
“Rin dah habis interview.”
“Interview? Kamu kerja? Memang uang bulanan yang ayah beri tak cukup?”
“Oh, bukan macam tu, Ayah. Rin interview untuk program mbkm di kolej.”
“Apa itu?”
“Jadi semacam belajar mandiri di perusahaan yang nanti akan di konversi jumlah SKS-nya.”
“Ya sudah, kalau begitu kamu istirahat saja. Ayah harus balik meeting dulu.”
“Baik, Ayah. Semangat.”
Itu hanya sebuah kata penyemat. Kenyataannya, Rinjani tak sesemangat itu mengucapakannya.
“Kamu juga, Sweetheart.”
Usai panggilan video itu berakhir. Rinjani kembali menghempaskan tubuhnya ke sofa. Tak berlangsung lama, perutnya bernyanyi.
“Ya Tuhan ….”
Rinjani menepuk perutnya dan menyesal karena tidak bisa diajak kompromi. Meski lapar, tubuhnya sangat butuh istirahat. Tidak bisakah perut dan tubuhnya saling berkompromi?
Setelah menimang, Rinjani memang harus makan. Ia baru ingat bahwa tadi pagi tidak sempat sarapan demi datang interview lebih awal. Ia beranjak lalu menuju pantry yang tak jauh dari sofa tersebut. Saat ia menarik kulkas empat pintu, rona wajahnya berubah cemberut.
“Oh, God! Nggak ada apa-apa di kulkas gue. Terus makan apa dong?”
Perut yang sudah cukup ricuh di dalam sana, hanya ia elus pelan.
“Sabar, ya, nanti kita makan.”
Pesan makan via online adalah jalan ninja untuk anak rantau seperti Rinjani. Syukurnya, ia selalu dikirim uang lebih dari cukup, juga ayahnya memberikan black card yang bisa dipakai kapanpun. Jadi, tak perlu khawatir kekurangan. Bahkan, siapa yang akan sangka kalau Rinjani tinggal di apartemen mewah–kawasan elit Jakarta? Jika teman kampusnya tahu dan memiliki dengki, Rinjani akan dianggap sebagai simpanan para g***n.
Sambil menunggu makanan datang, Rinjani gegas membersihkan diri.
Tiga puluh menit kemudian …
Dengan pakaian seadanya, yaitu; celana training serta hoodie, Rinjani gegas turun untuk mengambil makanannya.
“Terima kasih, Pak.”
“Sama-sama, Neng. Jangan lupa bintang lima-nya, ya.”
Rinjani hanya mengulum senyum meski tak terlihat karena memakai masker. Saat Rinjani baru masuk ke dalam lift dan memencet lantai unit—seseorang menahan dengan kaki.
Seketika itu pula, Rinjani limbung ke belakang.
***