Hari pertama tanpa tuan besar membuat Eara sedikit merasa bisa bernapas lega, karena dia bisa mengerjakan pekerjaannya lebih baik. Tanpa tuannya yang mengurungnya, tapi sialnya setiap kali dia ditugaskan di lantai atas matanya terus tertuju pada kamar itu. Eara sudah menuntaskan apa yang dia niatkan. Dia sudah berdoa di depan tuhan, tapi sialnya iblis dalam tubunya semakin tak terkendali. Dia tahu ini bodoh, dia tahu ini gila, tapi kenapa pria itu malah seperti iblis yang terus terputar di kepalanya. Setiap sentuhannya, setiap ciumannya, bahkan dia selalu membayangkan setiap desahan pria itu saat mereka berhubungan. Perempuan itu menggelengkan kepalanya dan kembali membersihkan sisi timur mansion. Setelahnya dia harus merapikan ruang kerja tuan. Sebenarnya itu bukan pekerjaannya, tapi temannya meminta berganti tugas. Tanpa alasan yang jelas, Eara hanya menyetujui keinginan temannya itu.
Memasuki ruang kerja Adrel, Eara tidak mendapati hal aneh yang ditakuti temannya. Dia membersihkan beberapa bagian. Mengelap buku-buku yang tergeletak di mana-mana dan menatanya kembali ke rak buku. Eara tahu Adrel itu gila baca, hanya saja dia terlalu malas untuk mengembalikannya ke rak. Ya, selama kamu memiliki puluhan pelayan yang bisa membenahi istanamu, untuk apa kamu repot-repot mengembalikan satu buku ketempatanya?
Eara mengembalikan satu persatu buku itu setelah yakin seluruh debu sudah hilang dari buku-buku. Saat meletakkan buku terakhir, sesuatu terjatuh dari buku. Eara sangka itu adalah sebuah kertas. Namun, saat Eara menunduk dan mengambilnya, ternyata itu adalah sebuah foto. Foto seorang wanita yang sangat cantik dan memiliki mata yang sama seperti Adrel. Eara menatapnya dengan penuh tanda tanya, lalu memasukkannya kembali pada buku. Walau masih ada tanda tanya pada dirinya sendiri, siapa wanita itu? Ada rasa tidak enak saat melihat foto itu masih tersimpan dalam buku Adrel. Seakan mengatakan, sebuah kenangan yang takkan bisa di buang, walau berjuta kali pun ia berusaha kenangan itu tidak akan pernah bisa dilupakan. Seperti lembaran buku yang memiliki sebuah arti setelah di baca, begitu juga wanita dalam foto itu.
****
Adrel meninggalkan wanita yang menari di hadapannya. Entah sudah berapa wanita yang mereka berikan untuk menghiburnya, memuaskannya, tapi semuanya sama sekali tak berarti. Dia tidak tahu apa yang terjadi pada dirinya, dia bukan pria baik-baik yang menolak p*****r untuk memuaskannya. Tapi setiap melihat wanita-wanita itu, dia selalu kehilangan selera untuk bermain. Kini Adrel memasuki ruangan bar di hotel mewah miliknya, seorang bartender menawarkan beberapa minuman dan pilihan Adrel jatuh pada vodka. Bar itu sangat ramai, wanita dengan tubuh-tubuh menggoda seperti jalang, p****************g yang mencari mangsa, dan musik yang memekakan kuping. Adrel tidak terlalu suka dengan tempat ini, tapi dia membutuhkan suara yang keras untuk menyegarkan kepalanya yang menjadi sangat tidak karuan.
Malam semakin larut dan bar semakin penuh. Adrel melihat seorang wanita dengan rambut sebahu mendekatinya. Rambut itu berwarna kecoklatan. Adrel merasa vodka sudah membuatnya menjadi gila. Dia melihat wanita jalang itu berada di sini dengan dress berwarna merah menyala. Bibir sialan yang selalu menggodanya itu pun memakai lipstick berwarna yang senada dengan bajunya. Wanita itu membisikkan sesuatu padanya. Adrel hanya memeluknya dan berucap,” di kamarku.”
****
Adrel membuka matanya, wanita berambut coklat itu sudah rapih dengan dressnya tanpa memakai bibir merah yang semalam dikenakannya. Dia mengikat asal rambutnyanya, menampakan hasil dari permainan mereka semalam. Wanita itu berbalik dan menatap Adrel yang terbangun. Dengan dress merah dan heels berwarna maroon, wanita itu kembali mendekati Adrel dan mencium bibir pria itu dengan gairah.
“Tak perduli kamu memanggilku dengan nama jalang atau Eara, tapi bagiku kamu sangat memuaskanku,” ucapnya. Dia beranjak dari ranjang Adrel, memencet sebuah lift dalam ruangan dan menghilang di balik pintu besi.
Adrel hanya menarik napas dan menghembuskannya. Tangannya mengusap wajahnya dan beranjak dari ranjang. Dia butuh air hangat untuk menyegarkan tubuhnya dan mengembalikan akal sehatnya. Wanita sialan itu seperti menguasai pikirannya. Dimana pun dia berada yang ada hanyalah wanita sialan bernama Eara. Seharusnya dia membawa wanita itu ke sini dan meyakinkan wanita itu terikat di atas ranjang dan siap untuknya. Adrel membasuh kepalanya dan membiarkan wajahnya terkena air hangat. Dia menginginkannya, entah sampai kapan, tapi dia ingin wanita itu menyerahkan seluruh tubuhnya. Tanpa perlawanan, tanpa rasa takut dan pasrah dalam rengkuhannya.
****
Selama Adrel tidak ada di mansion, Eara selalu bermain ke kamar Dera. Mereka selalu bercanda, mengobrol, atau menceritakan apa pun. Hari libur kemarin mereka habiskan untuk berjalan-jalan. Eara membeli beberapa pakaian untuk ibunya dan juga baju hangat. Eara hanya memikirkan ibunya, dia tidak ingin ibunya merasa kedinginan. Dia hanya bisa berdoa kalau ibu dalam keadaan baik-baik saja. Karena terakhir dia mendapatkan kabar dari tetangganya, keadaan ibu sedikit kurang baik. Eara tidak tahu apa yang akan ia lakukan jika kehilangan ibu. Eara dan Dera juga mendapatkan cerita lucu saat jalan-jalan kemarin, mereka salah menaiki kereta, membuat mereka salah jalur dan harus turun di satu stasiun. Belum cukup sampai di situ, Eara dan dera harus menunggu kereta selanjutnya lebih lama. Karena ada sedikit masalah di kereta yang di jadwalkan.
Kini mereka membuka beberapa belanjaan mereka. Eara membeli beberapa barang untuk ibunya, dia cukup terkejut saat melihat rekeningnya dengan nominal yang menurutnya tidak wajar. Eara berpikir itu adalah gaji bulanannya, tapi setelah bertanya pada Dera, gaji yang di dapatinya melebihi dari gaji semua pelayan.
Eara sudah menumpuk hadiah yang akan di tujukan pada ibunya. Semua sudah berada dalam satu kotak dan tinggal melakukan pengiriman. Eara berjalan keluar dari kamar Dera berencana untuk segera membenahi kamar tuan, karena nyonya Dorothy mengatakan tuan akan pulang esok pagi. Baru saja dia keluar, darah Eara seperti mendadak tak berjalan. Tubuh tinggi itu berada di depan pintu dengan aura yang menyeramkan.
“Bukankah peraturan saya sudah sangat jelas. Kamu sudah harus di kamar saya, sebelum saya pulang.” Ucap Adrel.
“I…iya tuan… ta…tapi… nyonya…shhh…” Eara meringis saat rambutnya di jambak keras.
“Tuan, lepaskan dia. Dia tidak tahu anda pulang hari ini. Semua orang bilang anda pulang besok.” Suara Dera seakan membuat amarah Adrel semakin meluap, dia melepaskan cengkramannya pada rambut Eara dan berjalan pada gadis kecil yang paling tak ingin dilihatnya. Adrel beralih pada Dera dan mencengkram wajah perempuan itu, lalu berkata,” Semakin lama, mulut besarmu semakin mengganggu.” Dan memberi satu tamparan keras. Bukan hanya luka di pipinya, tapi keningnya pun terhantuk oleh meja. Adrel menunduk, dia menarik wajah yang paling di bencinya dan kembali berkata,“Jika saja pria tua itu tidak memaksaku untuk membiarkanmu hidup, rasanya aku ingin membunuhmu sejak lama.” bisik Adrel.
“Kamu bisa melakukan apapun yang kamu inginkan, tuan,” Balas Dera tanpa rasa takut. Gelapnya wajah pria itu semakin membuatnya tak memperdulikan apapun. Termasuk janji yang sudah di ucapkannya. Dia menarik rambut Dera dengan kasar, menariknya keluar dari kamarnya. Eara panik saat Adrel menarik Dera. Dia ingin mengikuti pria itu, tapi beberapa pengawal Adrel sudah menghalanginya. Dia tidak tahu kenapa Adrel sangat membenci Dera, dia memang membenci semua pelayan bisa dibilang semua wanita. Tapi terhadap Dera, seperti ada kebencian lain. Seakan Dera sudah melakukan kejahatan besar dalam hidupnya.