Negeri Dongeng

1006 Kata
Rhea bagaikan melintas ke negeri dongeng. Rumah-rumah megah bak istana berdiri kokoh menantang langit. Ia menyusuri jalan besar, melihat ke kanan kiri. Untungnya, jalanan kompleks cukup sepi hingga Rhea tak perlu khawatir kalau-kalau ada orang yang mengiranya pencuri karena gelagatnya. Rhea memang kelihatan sedikit katrok. Padahal di Surabaya--tempat asalnya--juga banyak perumahan mewah milik Crazy Rich Surabayan. Tapi memang Rhea saja yang jarang keluar rumah. Dia kurang tau ini dan itu selama di Surabaya. Jarak antar rumah cukup luas, sangat berbeda dengan keadaan rumah-rumah kumuh di jalan setapak tadi. Rhea jadi merasa miris, ia baru sadar kalau Kota Jakarta memang sekejam itu. Halaman rumah rata-rata diisi oleh kolam renang atau taman pribadi dengan desain beraneka macam yang tidak sama antara satu dan lainnya. Tak ada yang benar-benar mengetuk jiwa Rhea kecuali rumah di perempatan jalan itu. Rumah dengan d******i warna putih bernuansa klasik, lengkap dengan patung Cupid kecil di atas gerbang. Rumah itu besar, terdiri dari tiga lantai, halamannya dibiarkan lapang, dan dijaga sekitar tiga satpam. Tapi yang benar-benar menarik untuk Rhea adalah rumah kaca yang ada di lantai dua. Belum pernah Rhea menemui rumah seperti itu sebelumnya, bahkan di kota halamannya--Surabaya--yang tak jauh berbeda dari Jakarta. Kebetulan, ada taman kecil di tengah perempatan. Rhea duduk di salah satu bangku taman, menghadap ke rumah yang menurutnya unik itu. Pemandangan yang apik, angin semilir, ditambah teduhnya pohon beringin yang ada di atas kepala adalah perpaduan yang pas untuk Rhea. Gadis itu merogoh tasnya, mengambil sebuah buku catatan bersampul biru bunga-bunga. Buku itu bukan buku biasa. Tidak, bukan buku sulap atau buku ajaib yang bisa membawa Rhea kemana-mana. Hanya saja, buku inilah yang mampu menjawab mengapa Rhea--nyaris--selalu bolos dari kelasnya. Rhea membalik halaman demi halaman yang telah terisi dengan tinta. Ia mencari halaman kosong di tengah halaman-halaman yang penuh dengan untaian kata. Gadis berkemeja merah marun itu memainkan pena di jarinya. Suasana yang amat mendukung membuat Rhea lancar menarikan pulpennya di atas kertas. Setelah lima menit lamanya, Rhea akhirnya berhasil menuliskan lima bait puisi. Otak Rhea mendadak buntu ketika ada seseorang yang muncul di lantai dua rumah seberang. Seorang pemuda, tepatnya. Ia berdiri di rumah kaca, menerawang ke arah langit sambil sesekali minum sesuatu dari cangkirnya. Rhea tertegun bak tersihir mantra paling mematikan di bumi ini. Jantungnya palpitasi. Belum pernah ia dipertemukan dengan manusia seindah ini. *** Rheanina Kataleyya adalah seorang pecinta sastra. Ia punya empat rak yang terisi penuh oleh novel dan kumpulan puisi di--rumah orang tuanya--Surabaya. Buatnya, sastra itu indah. Rhea sering terjaga semalaman setelah membaca sebuah karya. Saking indahnya. Apalagi kalau karya itu ditulis oleh penulis favoritnya. Tadi malam Rhea lagi-lagi tidak bisa tidur. Tapi beda cerita. Rhea sulit tidur bukan karena sebuah novel atau puisi. Rhea tidak bisa tidur karena bayang-bayang pemuda dalam rumah kaca yang dilihatnya di perumahan mewah itu mengitari kepalanya. Rhea teringat semua tentang pemuda itu. Bibir merahnya, tatapannya yang sendu, kulitnya yang tampak bercahaya terkena sinar matahari, juga rambutnya yang sehitam kayu eboni. Indah dan penuh teka-teki. Sastra memang indah, tapi laki-laki itu tak kalah indah. "Lo kenapa, sih, Rhe? Ngelamun mulu," desis salah satu teman sekelompoknya, Kevin. Rhea menggeleng lalu tertawa konyol. Rhea kembali berusaha fokus pada diskusi yang sedang berjalan di depannya. Seharian ini, Rhea memang mengundang tanya dari teman-teman sekelasnya. Mulai dari kantung mata Rhea yang menghitam hingga tatapan Rhea yang kosong seharian ini. Hari Rhea jadi kacau begini karena pemuda itu secara tak tau diri terus-terusan muncul di kepala. Pemuda yang bahkan ia tak tau siapa namanya. Pemuda yang hanya muncul di pandangannya sekitar beberapa menit tapi bersarang di kepalanya sepanjang waktu. Sadar, Rhe! Ayo fokus dan selesaiin tugas ini! *** Gadis berkemeja merah itu memang doyan bolos. Tapi untungnya, ia punya kemampuan sosialisasi yang bagus sehingga ia tidak perlu makan sendiri dan terlihat menyedihkan ketika jam kosong. Ia bisa bergabung dengan siapa saja. Perempuan, laki-laki, atau bahkan kalau ada manusia yang tidak punya jenis kelamin, Rhea bisa bergabung dan menambah 'kenalan'-nya. Kali ini, Rhea menyusup di antara segerombolan gadis yang ia labeli sebagai 'cewek-cewek hedon'. Mereka adalah anak-anak asli Jakarta yang pulang-pergi kampus naik mobil, rutin belanja-belanja bersama, dan topik utama pembicaraan mereka tak jauh-jauh dari barang mewah dan cowok ganteng sekitaran kampus. Itulah kenapa, mereka pantas untuk menyandang gelar 'cewek-cewek hedon' menurut Rhea. "Eh, kalian tau Reno nggak?" tanya salah satu dari mereka, nadanya nyaris berbisik. Rhea tersenyum tipis. "Reno yang mana?" "Iya, yang mana sih?" "Ah ... Reno anak hukum itu?" sahut Rhea. Tatapan gadis-gadis itu langsung tertuju pada Rhea. Wajah mereka yang penasaran membuat Rhea puas. "Lo kenal Reno, Rhe?" Rhea menggerakkan jari telunjuknya ke kanan kiri. "Gue nggak kenal. Tapi denger-denger, si Reno itu badboy," bisik Rhea. Rhea memasang ekspresi yang cukup dramatis untuk menarik perhatian gadis-gadis itu. "Katanya ... Reno itu pernah hamilin anak fakultas kita!" "Wah ...." "Gila! Gila!" "Hot banget ini mah." Rhea tersenyum puas. 'Cowok' jelas bukan ranahnya, yang barusan hanya salah satu dari aksinya. Ini sudah jadi kebiasaan Rhea. Agar 'bersosialisasi' jadi lebih mudah, ia biasanya melakukan riset kecil-kecilan di malam harinya. Ia mencari tau apa topik yang kira-kira disukai oleh sebuah kelompok. Dan bekal kemampuan stalking-nya, semuanya jadi jauh lebih mudah. Rhea bisa menjadi apa saja. Tergantung dengan siapa ia berada. "Kalau tipe cowok lo kayak gimana, Rhe?" "Tipe ... cowok?" Rhea tak tau apa jawabannya, yang jelas entah mengapa tiba-tiba bayangan pemuda itu kembali muncul di kepalanya. *** Harusnya Rhea langsung pulang agar bisa tidur dan membalaskan rasa kantuknya. Harusnya. Tapi gadis itu malah melangkahkan kakinya menuju perumahan mewah yang ada di belakang kampus. Rhea kembali. Demi menuntaskan rasa penasarannya. Rhea duduk di bangku itu lagi. Menghadap ke rumah megah bernuansa serba putih. Ia duduk di sana sekitar 15 menit sebelum akhirnya seorang pemuda berkaus hitam muncul di rumah kaca itu. Bibir Rhea otomatis tersenyum. Jika kemarin pemuda yang Rhea tak tau namanya itu hanya menatap kosong ke luar jendela, hari ini ia berbeda. Ia membawa sebuah kanvas dan palet warna di tangannya. Dan tanpa alasan yang jelas, Rhea merasakan damai di rongga dadanya. Damai yang terlampau damai. Damai yang tak bisa digambarkan oleh kata.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN