Bab 1 - Pernikahan Yang Menggemparkan

1106 Kata
Di tengah dentuman peluru dan strategi berdarah dingin dunia bawah tanah Prancis, satu kabar mengejutkan menyebar :Kairos Dubois menikah. Bukan pertunangan. Bukan gosip liar dari majalah kriminal elite. Tapi langsung sebuah pernikahan yang berlangsung secara tertutup—hanya dihadiri lingkaran dalam keluarga Dubois dan Alizée. Lebih mencengangkan lagi, pengantin wanitanya adalah Claire Alizée. Putri satu-satunya Jacques Alizée, mantan pengusaha senjata yang tengah tenggelam bersama keruntuhan finansialnya. Tak ada yang pernah melihat Kairos dan Claire berbicara. Bahkan ketika keduanya berada di pesta atau acara yang sama, tak ada satu momen pun di mana mata mereka bersitatap. Mereka seperti dua kutub takdir yang sengaja dijauhkan semesta—hingga hari itu. Malam pernikahan mereka. Dunia gangster geger. Kairos, pria dingin tanpa gosip percintaan, tak pernah terlihat menggandeng wanita. Bahkan kenormalan seksualnya sempat dipertanyakan karena ketiga pengawalnya selalu siap memblokade siapapun yang mencoba mendekat. Claire, dikenal sebagai gadis patuh di bawah kendali ayahnya. Wajah cantiknya kerap muncul di pesta mafia kelas atas, tapi hanya sebagai boneka pajangan sang ayah. Jacques Alizée bahkan dikenal sering mendorong putrinya pada pria-pria berduit, menjadikannya alat negosiasi bisnis. Kini keduanya—dua jiwa asing tanpa jalinan kisah cinta—diikat dalam pernikahan yang membuat seluruh bawah tanah mengernyitkan dahi. --- Keluarga Dubois bukan keluarga biasa. Mereka adalah penguasa bayangan. Raja mafia yang namanya menjadi senjata sekaligus peringatan. Lukee Dubois, sang kepala keluarga, dikenal memiliki lima selir. Tak satu pun dinikahi. Mereka tinggal tersebar di berbagai kota, masing-masing mengurus urusan rahasia yang tak tercatat dalam dokumen negara. Lukee sendiri tinggal di jantung kota, di mansion megah yang disebut sebagai Mansion Dubois. Di sinilah keputusan-keputusan berbahaya dibuat—termasuk keputusan untuk menikahkan putranya. Steven Dubois, anak sulung, memiliki tiga selir. Ia memimpin operasi gelap di wilayah timur, tinggal di kota Saint-Étienne. Karismanya kuat, bisnisnya berdarah. Tapi ia terlalu sibuk dengan ambisinya untuk mengurus keluarga. Asher Dubois, anak kedua, juga memiliki tiga selir. Ia lebih pendiam, tinggal di kota Bordeaux. Tapi dialah dalang dari banyak strategi licik keluarga Dubois. Dan Kairos—anak bungsu, sekaligus yang paling misterius. Ia tinggal di mansionnya sendiri di kota Marseille. Tak ada selir. Tak ada wanita. Hanya satu kata yang melekat padanya: disiplin. Di belakang punggung Kairos, selalu berdiri tiga pria: Lucas, pengawal utama. Wajahnya tenang, penuh kalkulasi. Seorang pembunuh dalam bayang-bayang. Matteo, sosok intimidatif dengan tubuh kekar dan amarah yang bisa membakar ruangan hanya dengan tatapan. Ernel, pria santai dengan senyum menipu, namun kecepatan tangannya tak kalah dari peluru. Mereka bukan sekadar pengawal—mereka adalah refleksi loyalitas dan batas yang tak bisa dilintasi siapa pun. Selama tiga pria itu berdiri di belakang Kairos, tak seorang wanita pun bisa mendekat. Hingga Claire datang. Dengan gaun putih yang tak ia pilih sendiri, dan takdir yang tak bisa ia tolak. --- Kairos Dubois duduk bersandar di kursi kulit berwarna gelap. Kedua matanya menatap tajam ke arah Claire Alizée yang duduk diam di sudut ranjang. Gaun pengantin telah ia ganti dengan gaun tidur polos warna putih pucat—terlihat seperti tanda penyerahan, tapi juga perlawanan diam. Kairos menjentikkan jemarinya. Isyarat sederhana yang penuh tekanan. "Kemarilah," katanya pendek, dingin. "Duduklah di pangkuanku." Claire tidak bergeming. Diamnya lebih nyaring daripada suara apa pun di malam itu. Ia bahkan tak menoleh. Kairos menghela napas pendek. "Jangan uji kesabaranku, Claire. Aku tidak punya waktu untuk itu." Suara seraknya terdengar berat, menembus ke dalam ruang dan membuat bulu kuduk Claire merinding. Tetap, Claire diam. Kairos berdiri. Langkahnya pelan tapi menghantam lantai seperti ancaman yang menyesap perlahan. Ia berdiri di hadapan Claire, lalu mengangkat dagunya agar matanya bertemu dengan miliknya. Tatapan itu—gelap, tajam, tak mengenal ampun. Claire menahan napas. Ada getaran di ujung bibirnya, tapi ia tetap tidak bicara. "Aku tahu pernikahan ini tanpa cinta," ucap Kairos datar. "Tapi kau adalah istriku sekarang. Dan malam ini... malam pertama kita. Aku tidak menerima penolakan, Claire." Setelah itu, ia melepaskan dagunya dan kembali ke kursinya. Duduk tenang. Tapi tensi udara di kamar itu seperti berubah menjadi medan perang. Kairos memandangi Claire dari balik kacamata pikirannya sendiri. Gadis itu terlalu kaku. Terlalu polos. Terlalu… tidak siap. Ia bisa saja memaksanya saat itu juga. Ia punya hak. Ia punya kuasa. Tapi ada sesuatu dalam tatapan Claire yang menahannya—bukan karena ketakutan, tapi karena upaya untuk tetap berdiri, walau jelas seluruh tubuhnya ingin runtuh. Kairos mengembuskan napas perlahan, lalu bersandar kembali di kursi. Gerakannya tak tergesa, seperti seorang algojo yang menunda eksekusi. “Tiga bulan,” katanya akhirnya, suaranya pelan namun berat. “Aku sudah memberimu waktu tiga bulan untuk mempelajari caranya memuaskanku. Sekarang, lakukan.” Tangannya terlipat di d**a. Wajahnya tenang, nyaris datar—tapi matanya… mata itu menyala diam-diam. Claire menggigit bibir bawahnya. Ia tahu, Kairos tidak main-main. Tapi… melakukan itu? Ia bahkan belum pernah berciuman. Bersentuhan pun hanya saat terpaksa berjabat tangan dengan kolega ayahnya. Ia—hanya alat negosiasi, bukan wanita yang tahu caranya mencintai. "Haruskah…? Tak bisakah kau beri aku waktu lagi?" ucapnya lirih, suaranya nyaris tak terdengar. Kairos tak langsung menjawab. Tapi ekspresi wajahnya jelas—tidak suka. "Kau benar-benar ingin menguji kesabaranku, Claire," katanya, matanya menggelap. "Kemarilah." Claire menelan ludah. Tapi kali ini, ia melangkah. Berdiri tepat di hadapan Kairos. Ia menunduk, menanti aba-aba. "Duduklah." Ia pun duduk di pangkuannya. Tubuhnya kaku, napasnya berat. "Sekarang cium aku," ucap Kairos tajam. "Tunjukkan apa yang kau pelajari." Claire terpaku. Matanya membesar, jantungnya berdentum liar. Kairos menarik pinggangnya mendekat. Hidung mereka hampir bersentuhan. "Jangan buat aku menunggu. Aku tak sesabar itu." "Tolong… Kai… Aku sungguh belum siap. Aku… aku akan mencicilnya." Alis Kairos terangkat. "Mencicilnya?" Claire menatapnya dengan mata memelas. "Hari ini… dimulai dengan ciuman. Hanya itu dulu." Kairos diam, menatap, menilai. Tapi ia tidak menolak. Claire mengangkat tangannya, menyentuh lembut wajah Kairos. Lalu, perlahan, ia menempelkan bibirnya ke bibir suaminya. Ringan. Ragu. Dingin. Tapi tetap… sebuah ciuman. Kairos memejamkan mata. Tangannya masih di pinggang Claire, tak bergerak. Saat Claire melepas ciuman itu, ia menarik napas cepat. "Hanya segitu?" tanya Kairos, tidak puas. "Aku sudah bilang... aku akan mencicilnya," balas Claire pelan. Kairos mengangguk tipis. Tapi kemudian, ia berkata, "Tapi kau tahu, kan, ciuman itu bukan sekadar menempelkan bibir?" Claire gelagapan. "Kau tidak mempelajarinya, Claire," sindirnya. Claire tak bisa membela diri. Ia memang tak sanggup membuka halaman-halaman dalam buku itu. Terlalu vulgar. Terlalu... asing. "Cium aku, Claire." Claire terkejut, matanya melebar. "L-lagi?" Tak ada jawaban. Tapi tatapan Kairos cukup menjadi perintah. Dengan gugup, Claire kembali mendekat. Ia menempelkan bibirnya ke bibir Kairos, lebih lama dari sebelumnya. Bibir mereka saling menyatu. Pelan. Claire mencoba mengikuti irama yang samar. Tapi tiba-tiba, Kairos menyelipkan lidahnya. Claire terkejut. Ia tersedak pelan, lalu menjauh sambil terbatuk. Kairos menatap, tak marah, tak juga tersenyum. Hanya satu hal yang jelas: permainan baru saja dimulai. ---
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN