Satu-satunya alasan yang membuat Khaylila ngotot menjaga gerbang setiap pagi— meski sebenarnya jatah jaga gerbangnya sebagai staf ketertiban OSIS hanya dua kali dalam seminggu—adalah menyambut kedatangan Karim dengan senyum manisnya.
Seperti hari ini. Efeknya, bukannya fokus mengawasi penampilan siswa-siswi yang baru datang, cewek itu malah sibuk melongokkan kepala ke luar gerbang berkali-kali. Dan seperti biasa, dia akan terus seperti itu sampai cowok yang ditunggunya itu benar-benar datang.
Seandainya saja Karim tidak memutuskan untuk tinggal di rumah Oomnya, Khaylila pasti tidak perlu menunggu kedatangannya seperti saat ini. Tiap pagi dia pasti akan datang ke rumah Karim dan mengajaknya untuk berangkat bersama. Selanjutnya, mereka akan berjalan bersama menuju sekolah, sambil bergandengan tangan dan saling mengirim lirikan manja. Sesekali mereka mungkin akan berboncengan naik sepeda. Khaylila akan duduk menyamping di belakang, sambil melingkarkan tangannya ke pinggang Karim yang mengemudi di depan. Ya ampun, romantis sekali. Khaylila mendesah pelan sambil berharap, semoga hayalan indahnya bisa terkabul.
Khaylila kembali celingukan ke luar gerbang, berharap dalam satu menit Karim akan muncul. Tapi ternyata setelah dua menit berlalu, cowok pujaannya dari kecil itu masih belum menampakkan batang hidungnya.
Di depan pos satpam, tidak jauh dari tempatnya berdiri, Tiki, teman sedivisinya, sedang serius memandangi tiap anak yang melewati gerbang. Wajahnya lempeng tanpa ekspresi. Tiki memang sengaja memasang tampang seperti itu agar terkesan galak. Padahal, tanpa memasang tampang seperti itu, Tiki memang sudah terlihat galak.
Khaylila mengangkat bahu cuek lalu melihat jam tangannya. Tujuh menit lagi gerbang ditutup, tapi Karim belum muncul juga. Harusnya cowok itu sudah sampai sejak tiga menit yang lalu, seperti biasanya. Raut wajah Kay berubah cemas. Kemana Karim?
Tiba-tiba Khaylila merasa kepalanya digetok dari belakang. Sambil mengusap-usap kepalanya yang sama sekali tak terasa sakit, Kay berbalik badan, siap menyemprot siapapun yang sudah berani menggetok kepalanya di saat suasana hatinya sedang kalut memikirkan Karim.
Khaylila baru berbalik badan dan langsung terlonjak kaget begitu mendapati Agas, ketua divisinya, sudah berdiri di depannya dengan tampang lempeng tanpa dosanya.
"Apa sih, Kak, pukul-pukul kepala?!" bentaknya pada cowok itu.
Cowok yang dipanggil Agas itu memasukkan kedua tangannya ke saku celana, lalu mengangkat bahu, cuek. Khaylila berdecak sebal lalu berbalik badan, memilih ikut mengawasi anak-anak yang baru datang sambil mengerucutkan bibir.
Khaylila menyesal karena pernah khilaf mengagumi ketua divisinya itu. Ya, cewek mana coba yang tidak akan terkagum-kagum saat melihat Agas? Wajahnya super ganteng, tubuhnya jangkung dan tegap, otaknya juga lumayan encer, ketua divisi ketertiban pula, tidak heran jika Agas menjadi coverboy di SMA Integra dan dikagumi oleh hampir seluruh cewek-cewek di SMA ini. Tapi, meski Agas mendapat predikat cowok yang oh-so-wow, Agas tetap seorang remaja. Cowok itu cukup iseng dan sering menjadikan Khaylila sebagai korban keisengannya.
"Dasar nyebelin!" gerutu Khaylila. "Orang lagi khawatir juga, malah dikagetin."
Agas yang mendengarnya hendak bertanya apa yang membuat salah satu anak buahnya itu khawatir ketika melihat segerombolan siswi yang baru datang tampak berjalan pelan-pelan memasuki gerbang. Mereka tampak tak sungkan melihat ke arahnya dengan tatapan memuja sambil berbisik-bisik, lalu tersenyum genit sekali. Detik berikutnya, mereka sudah berlarian sambil cekikikan. Agas hanya tersenyum simpul, merasa maklum dengan pemandangan barusan. Sementara Khaylila masih tidak bisa menahan diri untuk tidak melongo melihat polah siswi-siswi itu meski hampir tiap hari melihat kejadian serupa.
"Ngapain lo senyum-senyum gitu?"
Khaylila kembali berbalik badan dengan cepat. Matanya menyipit tak suka dengan nada bicara Agas yang terdengar sangat angkuh. Ini juga yang membuat Khaylila menyesal pernah kagum pada Agas. Andai Agas bukan senior dan atasannya di OSIS, mungkin kepalanya sudah Khaylila getok dengan tongkat kasti yang dibawa Tiki.
"Siapa juga yang senyum-senyum?" sanggah Khaylila ketus.
"Nah, itu, lo senyum lagi! Genit banget lo sama gue," kata Agas lagi, membuat Khaylila semakin menyipitkan mata. "Gue pecat jadi anggota, sukurin, lo!"
"Heh?!" Khaylila melotot kaget. Apa-apaan coba mau main pecat seenaknya? "Aku nggak ada senyum-senyum, Kak! Ih, siapa juga yang genit?" cecar Khaylila tak terima. Siapa juga yang mau dikatai genit kalau pada kenyataannya kalian tidak genit?
Agas mengangkat kedua alisnya. Khaylila memang menyesal pernah kagum pada Agas, tapi bukan berarti dia tidak akan pernah memuji ketampanan Agas, kan? Oh..., bahkan hanya dengan gerakan sesederhana mengangkat alis, Agas bisa terlihat begitu ganteng! Ada apa dengan dunia ini?
"Bukan lo, Kay! Noh, belakang lo, noh!"
Khaylila segera tersadar mendengar selorohan Agas. Dia kemudian menoleh ke belakang, mengikuti arah yang ditunjuk Agas dengan dagunya.
"Tiki?!" pekiknya kaget begitu melihat cewek berambut keriting sebahu itu. Sejak kapan cewek itu berdiri di belakangnya?
Tiki cengengesan sambil garuk-garuk kepala. Khaylila akan mengangguk percaya jika Tiki mengaku belum keramas seminggu. Lihat saja rambutnya yang keriting itu tampak kusut.
"Pagi Kak Agas ganteng...," sapanya sok manis.
Agas melengos sambil mendengus. Kay yang ada di sampingnya terkikik geli. Kasihan sekali si Tiki.
"Emang hari ini lo piket jagain gerbang, Kay?" tanya Tiki sambil cemberut. Khaylila menggeleng sambil nyengir. "Terus ngapain lo di sini? Nungguin pangeran khayalan lo itu?" tanya Tiki lagi.
"Iya duoong!" seru Khaylila sambil menjawil dagu Tiki, lalu tersenyum senang.
"Lo nggak bosen apa, Kay?" tanya Agas sambil merebut tongkat kasti dari tangan Tiki. Dia mulai memukul-mukul pelan tongkat itu ke telapak tangannya.
"Bosen kenapa?" tanya Khaylila pura-pura bloon.
Agas sempat melengos karena tahu Khaylila hanya pura-pura bodoh, tapi Agas tetap memperjelas juga. "Ngejar-ngejar Karim mulu."
"Enggak," jawab Khaylila cepat tanpa mikir, lalu tersenyum ceria. Tebakannya, setelah ini Agas akan mengatainya 'naif' atau sejenisnya. Tapi dia tidak peduli.
Namun, Agas hanya terdiam sambil memandang Khaylila yang menatap yakin padanya. Beberapa detik kemudian, Agas manggut-manggut, lalu melihat jam tangannya sambil mencebik.
"Oke, Tutup gerbangnya!" perintahnya tiba-tiba, lalu ngeloyor pergi begitu saja meninggalkan Kay dan Tiki yang melongo.
Kay melihat jam tangannya. Masih ada lima menit, tapi kenapa Agas menyuruh mereka menutup gerbangnya? Apa sekarang jamnya benar-benar rusak?
"Tik, bukannya masih ada lima menit?" tanyanya pada Tiki yang sudah siap untuk menulis nama-nama siswa yang terlambat dalam buku poin yang dipegangnya.
"WOI BURUAN WOI!!! JANGAN NGERUMPI DI SITU!!!" teriak Tiki pada segerombol siswi-siswi rempong yang memang tampak bergosip di seberang jalan sana. Kay cuma bisa mencibir karena diabaikan.
"LARI! ATO NAMA KALIAN GUE CATET DI SINI!" Tiki menunjuk-nunjukkan buku poin ke udara dan membuat segerombol siswi-siswi itu langsung berlari dan menerobos gerbang dengan selamat.
Sementara Tiki menutup pintu gerbang, Kay cuma bisa meringis ngeri menyaksikan kelima cewek itu—yang sepertinya anak kelas sebelah—berjalan sambil mengatur napasnya yang ngos-ngosan.
"Eh, bentar dong!"
Suara itu! Kay menoleh ke sumber suara. Karim yang dicemaskannya akhirnya datang juga. Mata Kay yang berbinar-binar bahagia perlahan berubah prihatin karena melihat Karim yang ada di luar gerbang.
"Sori, Kakak telat," kata Tiki s***s pada Karim.
"Eh, gue tadi ada urusan super gawat. Lagian harusnya gue belum telat, woy! Masih ada tiga menit lagi," sergah Karim tidak terima. Kay mengangguk-angguk, merasa tidak terima juga. Memang Karim sebetulnya belum telat.
"Iya Tik, masih ada tiga menit," bujuk Kay sambil menggeser gerbang sedikit agar ada jalan masuk untuk Karim. "Masuk kak!" katanya sambil tersenyum manis pada Karim yang mulai melangkahkan kakinya masuk.
"NGGAK BISA! TADI KAK AGAS BILANG SURUH TUTUP YA TUTUP!"
Kay tersentak kaget mendengar teriakan Tiki yang begitu tiba-tiba. Karim juga refleks menarik kakinya keluar lagi, pasti gara-gara sama kagetnya.
"Agas tuh ngaco! Mana bisa dia bikin aturan seenak jidat dia?" protes Karim masih tidak terima. Kay juga berpikiran sama, dia pun angkat bicara.
"Tik—"
"NGGAK BISA, YA NGGAK BISA, KAY!" sembur Tiki lebih dulu sebelum Kay menyelesaikan pembelaannya.
"YA UDAH! BIARIN KAK KARIM MASUK!" sembur Kay yang jadi ikut emosi gara-gara diteriaki Tiki. "Gantinya, nama gue catet aja di buku poin!" serunya ketus lalu membuka gerbang lebar-lebar dan mempersilakan Karim masuk. "Masuk aja Kak! Tinggal semenit."
Bukannya langsung bergerak, Karim malah terdiam sambil menatap Kay agak lama. Kay pikir Karim terharu karena sikapnya yang luar biasa barusan. Dia menyelipkan rambutnya ke belakang telinga sambil tersenyum-senyum salting.
"Masuk aj—"
Baru saja Kay mau mempersilakan agar dia masuk tanpa ragu, taunya Karim lebih dulu ngeloyor melewati gerbang, Kay yang melongo dan Tiki.
Kay memutar badannya dan tak berhenti menatap kagum ke arah Karim yang semakin menjauh. Badan Karim yang tegap dan tinggi membuat senyuman penuh harap tak bisa lagi dia tahan.
"Ya ampuuun kak Karim... kita nikah aja yuk...!" selorohnya tanpa sadar. Tiki yang ada disebelahnya segera melirik sinis cewek disebelahnya. Dia lalu menyenggol lengan Kay.
"Eh, ganjen! Tutup!" perintahnya ketus tepat setelah Kay menoleh.
Kay melotot karena ucapan s***s Tiki barusan. Siapa juga yang ganjen?!
"Lo, tuh, galak!" balas Kay tak kalah ketus lalu menutup gerbang dengan kasar. Tiki tampak tak peduli sama sekali dan langsung ngeloyor pergi.
Eh, tapi nama Kay tidak benar-benar dicatat di buku poin, kan? Semoga tidak! Karena Kay tadi cuma akting!
***