"...dan mari kita sambut, puteri Indonesia 2025. Khaylila Karima Sindu Fatahillah!"
Masih dengan rasa haru yang amat sangat besar, Khaylila memindahkan buket bunga yang tadi ditimangnya di tangan kanan, ke tangan kirinya. Dia berjalan anggun seperti yang sudah diajarkan saat karantina. Tak lupa dia melambaikan tangan—yang baru dia gunakan untuk mengusap ingus—seanggun mungkin ke arah penonton yang berdiri sambil bertepuk tangan untuknya.
Ya, puteri Indonesia 2025 adalah dirinya. Khaylila Karima Sindu Fatahillah. Dan ini bukan mimpi.
Khaylila masih berjalan menyusuri seluruh panggung, berhenti di tiap ujung panggung, kemudian melambaikan tangan dan mengecup jauh para penonton acara penobatannya. Sorak sorai pendukungnya membuat senyumannya semakin mengembang.
Ketika dia kembali berdiri di tengah-tengah panggung, dia dikejutkan oleh pekikan heboh dari arah penonton ke sisi kanan panggung. Keterkejutan masih membayangi Khaylila ketika melihat para juri wanita tiba-tiba berdiri lalu membekap mulut masing-masing sambil melihat ke sisi kanan panggung. Sorak-sorai penonton semakin heboh ke sisi kanan panggung, membuat Khaylila mengikuti arah pandangan mereka.
Baru sepersekian detik Khaylila menoleh, dia langsung menekap mulutnya sendiri. Matanya melebar tak percaya. Jantungnya kembali berdebar tak karuan ketika dari ujung kanan panggung, seorang cowok ganteng berseragam pilot lengkap, berjalan mendekat ke arahnya. Ternyata cowok ini yang mencuri perhatian seluruh penghuni balai kartini, tak terkecuali dirinya.
"Kak Karim...." gumamnya penuh haru.
Karim Dirgantara, cowok yang dia idam-idamkan sejak bayi, melempar senyum termanisnya pada Khaylila, membuat cewek itu sesak napas saking bahagianya. Khaylila merasa ingin melayang saat Karim bersimpuh di depannya, seperti gaya seorang pria yang akan melamar seorang wanita dalam drama-drama romantis favoritnya.
Jantung Khaylila berdegup semakin kencang ketika Karim tampak mengambil sesuatu di saku celananya. Dan dalam sekejap, kotak beludru berwarna merah bata sudah berada di tangannya. Karim menatap lekat mata Khaylila. Senyuman indah milik Karim terasa menusuk jantungnya yang masih bedegup tak karuan. Kotak beludru itu terbuka. Sorotan lampu panggung membuat isi kotak itu berpendar-pendar menyilaukan mata.
Lalu, masih dengan senyum rupawannya, Karim mulai bersuara,
"Khaylila Karima Sindu Fatahillah, will you marry me?"
Seluruh penghuni balai kartini menahan napas menunggu respon Khaylila.
Dalam hitungan 1..., 2..., 3....
"I will!" teriak Khaylila. Suara cemprengnya langsung menggaung di seluruh ruangan. "I will, Kak! I will!" teriaknya lagi sambil berjingkrak-jingkrak sebentar, lalu berlari memeluk Karim yang masih bersimpuh.
Tepuk tangan dan sorak-sorai penghuni balai kartini kembali membahana.
"Huaaaa kak Kariiim..., I will!"
Tubuh Karim yang dipeluk Khaylila berguncang-guncang karena Khaylila kembali jingkrak-jingkrak. Melupakan fakta kalau dia harusnya menjaga keanggunannya.
Suara tepuk tangan dan sorak sorai masih riuh rendah.
Karim menjauhkan tubuh Khaylila, dan menahan kedua lengan cewek itu sambil berdiri.
"Khay...," panggil Karim lembut.
Dengan mata berbinar-binar bahagia Khaylila menyahut. "Ya?"
Karim diam namun matanya menatap lekat manik mata Khaylila.
Khaylila merasakan tubuhnya menegang saat Karim mendekatkan wajahnya. Karim pasti mau menciumnya dan dia tidak mau menghindar meski degup jantungnya semakin menggila. Wajah Karim semakin dekat, membuat Khaylila refleks menutup mata dan memaju-majukan bibirnya.
Khaylila masih menunggu Karim menciumnya ketika tiba-tiba dia merasa kesulitan bernapas. Seolah ada yang membekap wajahnya dan membuat dadanya lama-lama terasa begitu sesak, dan....
"Hmmppfttt—"
Khaylila terduduk dengan napas tersengal. Bantal yang tadi ada di wajahnya kini tergeletak di lantai. Buru-buru Khaylila menghirup oksigen sebanyak mungkin lalu menghembuskannya dengan keras.
"Wuahaha! Makanya jangan kebo, Mbak! Wuahaha!"
Khaylila yang masih mengatur napasnya sontak menyipitkan mata, menatap galak pada makhluk super jahil yang berdiri di samping kasurnya sedang terpingkal-pingkal menertawakannya.
"IBRAAAM!" teriak Khaylila kesal. Teriakannya yang menggelegar membuat Ibram, adiknya, menutup kupingnya namun tidak menghentikan tawanya. "Lo ganggu gue aja sih! Kesel!"
Ibram menjulurkan lidah, mengejek. "Bodo, wlee...."
Khaylila hampir menjitaknya namun Ibram lebih gesit menghindar. Khaylila menggertakan gigi, sebal. "Lo tuh udah ngehancurin mimpi indah gue!"
"Eh, mbak, bersyukur dong! Udah aku bangunin. Kalo nggak, mbak pasti bakalan telat ke sekolah," tutur Ibram sambil berkacak pinggang.
"Ya tapi banguninnya nggak pake ngebekap muka gue gitu dong!" protes Khaylila galak. "Kalo gue mati gara-gara keabisan napas gimana?!"
"Alah, lebay! Salah siapa mbak kebo banget?" cibir Ibram. Khaylila semakin ingin menendang adiknya itu ke Antartika. Khaylila menahan dampratannya saat adiknya tiba-tiba memicing penuh selidik. "Pasti mbak Khay abis ngimpiin bang Karim kan?" tuduhnya tepat sasaran. Dia lalu geleng-geleng kepala. "Mana mau bang Karim sama cewek yang suka tidur abis subuhan, udah gitu kebo abis? Preeett! Nggak bakal!"
Khaylila menggembungkan kedua pipinya, geram. Tatapannya begitu sengit pada Ibram.
Ibram malah terkekeh-kekeh lalu mengedikkan dagunya ke nakas. "Dasar nenek genit. Buruan mandi sono! Udah mau jam 7 tuh."
Khaylila mendelik mendengar ucapan adiknya. Dengan cepat dia menengok jam wekernya.
"Jam tujuh kurang seperempat?!" jeritnya. "Bram, harusnya lo ngebekap gue lebih pagi lagi tadi!" semprot Khaylila pada Ibram yang langsung melongo. "Minggir! Minggir!" Khaylila beringsut turun dari kasur dan mengibas-ngibaskan tangannya ke depan adiknya yang dianggap menghalanginya. Dia tidak peduli walau sebenarnya Ibram sama-sekali tak menghalangi jalannya. Buru-buru dia berlari ke kamar mandi lalu menutup pintu dengan kasar.
Ibram yang melihat tingkah kakaknya langsung geleng-geleng kepala sok dewasa. Matanya lantas terpaku pada jam weker kakaknya. Sambil terkekeh geli, dia sambar jam itu dan memutar jarumnya hingga menunjukkan waktu yang sebenarnya.
"Ini kan baru setengah enem," gumamnya sambil melirik licik ke arah kamar mandi. "Kena lo, gue kerjain. Wuahahaha...!" Tawa Ibram menggelegar saat melangkahkan kaki keluar kamar kakaknya.
***
"Lho, Mbak, tumben pagi-pagi banget udah siap?" tanya Bunda saat Khaylila mencium tangannya dengan buru-buru.
"Ini Kay udah kesiangan kali, Bun," balasnya disela mencium kedua pipi Bunda bergantian secepat kilat. Bunda mengernyit bingung. "Kay nanti sarapan di sekolah aja," lanjut Kay sambil bergeser mendekati Ayah. Secepat kilat dia sambar tangan ayahnya yang hampir menerima uluran roti dari Bunda, lalu menciumnya. Ayah belum sepenuhnya sadar dari bengongnya saat Khaylila mencium kedua pipinya dengan super cepat.
"Ya udah, Kay berangkat dulu ya, assalamu—"
Khaylila menahan kalimatnya saat mendapati Ibram yang duduk di sebelah ayah. Adik tengilnya itu sedang memakan roti cokelatnya sambil menyeringai jahat ke arahnya. Khaylila menyipitkan mata, merasa curiga dengan sikap Ibram yang terkesan aneh di matanya, tapi Kay tidak punya waktu lagi meski untuk sekedar berkomentar. Dia sudah sangat telat. Jadi, Ibram dia abaikan.
"Mbak, yakin jam segini mau berangkat? Ini masih pagi banget lho, sarapan dulu aja kali!" potong Ayah sambil menatapnya heran. Bunda mengangguk-angguk.
Dengan berat hati Khaylila kembali mengatupkan mulutnya yang sempat terbuka untuk mengucap salam. Dia mendesah pelan, mungkin dia perlu menyadarkan orang tuanya kalau saat ini sudah terlalu siang untuk dikatakan 'pagi banget'. Khaylila menghela napas sembari mengecek jam tangannya. Sedetik kemudian dia melotot.
"Demi apa ini masih jam enam?!" pekiknya heboh. Kepalanya terasa berdenyut saat melihat jam tangan digital bergambar piyo-piyo kesayangannya, menunjukkan pukul enam lewat satu. Tapi tadi jam weker di kamar sudah jam tujuh kurang seperempat? Apa mungkin jam tangannya rus—
Khaylila semakin melotot saat menyadari sesuatu. Dia menoleh ke arah Ibram dengan pandangan berapi-api.
"IBRAAAM!!!" teriaknya kemudian, membuat Ayah dan Bunda menutup telinga mereka karena saking kencangnya. Ibram malah tertawa ngakak sampai roti yang tadi ada di mulutnya tersembur keluar.
"Mbak!" tegur Bunda sambil melotot. Bunda memang paling sebal kalau Khaylila teriak-teriak begini. Cempreng, katanya.
"Tapi Ibram ngeselin, Bunda! Ahh!" bela Khaylila kesal lalu duduk di kursi kosong seberang Ibram. Bibirnya mengerucut saat pandangannya begitu bengis pada Ibram.
"Wuahahaha! Abisnya mbak Khay kebo banget, Bun. Wuahahaha...." Ibram ngakak sempurna. Mulutnya menganga selebar-lebarnya. "Aduh!"
Dia baru mingkem setelah Khaylila menoyor kepalanya. Khaylila tidak peduli dengan seruan Bunda yang mengatainya tega.
"Biarin, Bun, tuyul ini emang perlu dijitak biar nggak jail!" kata Khaylila ketus. Tatapannya masih sengit pada Ibram yang malah cengengesan. Bunda cuman bisa geleng-geleng kepala lalu pergi ke dapur.
Ibram melirik Khaylila yang langsung dibalas dengan pelototan super mengerikan olehh kakaknya itu. Maksud Khaylila agar Ibram takut padanya. Tapi, bukannya takut, Ibram malah menarik kantung matanya ke bawah sambil menjulurkan lidah.
"Nenek genit, wleee...." ledeknya sambil menggoyang-goyangkan badan.
"Dasar tuyul! Hiiih gue pites juga lo!" seru Kay gemas. Tangannya sudah melayang di udara, siap menyerang tuyul menyebalkan sepanjang masa bernama Ibram itu. Tapi beruntunglah si tuyul karena Ayah langsung melerai mereka dengan menyuapkan roti cokelat secara paksa ke mulut mereka masing-masing.
"Udah, pagi-pagi jangan ribut! Makan sekarang atau perjanjian kita batal!" ancam ayah.
Kedua anaknya kontan geleng-geleng tak setuju lalu buru-buru duduk manis dan mengunyah roti cokelat yang ada di mulut mereka. Sebaiknya mereka bersikap manis daripada gagal mempunyai adik bayi yang lucu.
***