“Nih, puisinya, udah siap buat ungkapin?” tanya Dinar sambil menaruh selembar kertas di atas meja Kaila.
Kaila mengambilnya dengan girang, dibukanya kertas itu untuk kemudian ia baca. Satu menit sudah berlalu, saat dirinya sudah selesai membaca puisi tersebut, Kaila bangkit dan langsung memeluk Dinar secara tiba-tiba. “Aaa! Dinar, ini keren banget!” pekik Kaila girang.
“Kai, Kai, lepas dong, malu tahu dilihatin orang-orang.” Dinar mengedarkan pandangannya ke penjuru kelas. Benar saja, beberapa pasang mata sedang melihat kelakuan Kaila sekarang. Tapi, untung saja Agnes dan teman-temannya tidak ada di kelas. Kalau ada, Agnes pasti akan langsung mengejek Dinar dan Kaila dengan mulut pedasnya.
Kaila menguraikan pelukannya, ia benar-benar senang hari ini. “Ayok, ikut aku.” ajak Kaila yang langsung menarik tangan Dinar. Tak lupa juga membawa selembar kertas yang Dinar beri tadi.
“Kita mau ke mana?”
“Ikut aja.”
Langkah kaki Kaila terhenti di ruangan yang di dalamnya berisi banyak rak dan lemari untuk menaruh berbagai macam buku. Pandangannya terjatuh pada seorang lelaki yang mengenakan jas almamater berwarna biru dongker sedang sibuk berkutik dengan laptopnya. “Kamu tunggu di sini, Nar. Aku mau ke sana,” ujar Kaila.
Dinar hanya mengangguk pertanda paham, ia berjalan kecil menuju rak buku yang tak jauh dari tempat duduk lelaki berjas biru dongker itu. Dinar mengambil beberapa buku di rak, menciptakan celah untuknya agar bisa menatap lamat-lamat pergerakan Kaila yang sedang berjalan mengendap agar tak ketahuan oleh lelaki itu. Jantung Dinar berdebar hebat, ia merasa waswas tatkala melihat Kaila memasukkan kertas ke dalam tas lelaki itu yang terbuka. Meski kejadian ini sudah pernah Dinar lihat sampai tiga kali, tetap saja ia masih merasa ragu dengan Kaila. Ia takut perbutan Kaila akan ketahuan oleh lelaki itu.
“Dinar!”
“Aaa ....” Dinar terjengkang karena ia sangat kaget dengan suara seseorang yang memanggil namanya.
“Au ..., sakit,” ringisnya. Sementara Kaila tertawa geli melihat kondisi Dinar yang terduduk di lantai sambil mengusap-usap bokongnya. “Kamu tuh kenapa si ngagetin aku terus?”
Kaila berusaha menahan tawanya agar bisa membalas ucapan Dinar. “Aku cuma manggil nama kamu, bukan ngagetin.” Kaila menyeka air mata yang ke luar karena saking lamanya ia menertawakan Dinar. Tangannya terulur untuk membantu Dinar yang masih terduduk di lantai agar temannya itu bisa berdiri.
“Huh, kamu tuh nyebelin banget si,” gerutu Dinar dengan wajah tertekuk seraya menerima uluran tangan Kaila.
“Iya, maafin aku deh,” ucap Kaila mengaku bersalah.
Ketika Dinar akan menaruh kembali buku-buku yang ia ambil tadi, mata Dinar tak sengaja melihat lelaki tersebut sedang mengambil kertas yang ia yakini itu adalah kertas yang Kaila masukkan tadi. “Kai, Kai, sini, lihat tuh.” Dinar menarik tangan Kaila agar mendekat ke sampingnya. Dilihatnya dari balik celah rak buku, lelaki tersebut memasang wajah bingung sambil menengok ke kanan dan kiri seraya memegang selembar kertas putih. “Ya ampun, Nar, Ka Fathur udah baca puisi aku,” gumamnya.
Dinar melirik Kaila, mengangkat satu alisnya acuh. “Puisi kamu?”
“Iya, itu puisi aku. Tapi buatan kamu,” ujar Kaila kembali terkikik geli.
Saat lelaki tersebut sudah selesai membaca tulisan di kertas itu, ia memasukkannya kembali ke dalam tasnya. Membuat Kaila yang melihatnya langsung tersenyum bahagia, hatinya seperti dipenuhi berbagai macam bunga yang mekar saat ini.
Dinar dan Kaila memutar kembali tubuhnya secara bersamaan. Mata Dinar melihat Kaila dengan geli, karena dari tadi tak henti-hentinya Kaila tersenyum sambil memeluk dirinya sendiri.
“Aduh ..., udah, yuk, ke kelas lagi.” Dinar menarik tangan Kaila, menghentikan halusinasi temannya yang sudah menjadi-jadi.
***
Dinar merenggangkan badannya saat dosen sudah ke luar dari ruang kelas. Lalu, ia memilih untuk menenggelamkan wajahnya di lipatan tangannya yang ia simpan di atas meja. Hari ini terasa begitu melelahkan. “Mau di situ aja?” tanya seorang lelaki yang sudah berada di depan Dinar.
Dinar kembali mengangkat kepalanya sambil mengucek kedua matanya. “Arya?” cicitnya.
“Ayo, pulang, ga mau aku tinggal, kan?”
“Iya, iya, sebentar.” Dinar membereskan barang yang ada di atas mejanya dan memasukannya ke dalam tas. Saat sudah beres, dilihatnya kursi depan yang ternyata sudah kosong. Dasar, Kaila pulang ga bilang-bilang.
“Ayok!”
Arya dan Dinar berjalan secara beriringan melewati koridor kampus yang kali ini terlihat sepi. Sesekali juga Arya mengeluarkan candaan garingnya yang tidak sama sekali membuat Dinar tertawa, melainkan sebaliknya. “Itu jokes?” tanya Dinar datar.
Arya berdecak, “Menurut kamu, Nar? Dari tadi aku lagi ceramah? Atau lagi ngeluarin orasi?”
Dinar terkekeh pelan mendengar Arya berbicara barusan. Menurutnya, raut wajah kesal Aryalah yang membuat dirinya bisa tertawa, bukan jokes garing yang ia keluarkan tadi. “Dinar ..., Dinar ..., giliran aku ga buat jokes, kamu malah ketawa,” ujarnya setengah kesal. “Tapi, ga apa-apa deh, yang penting kamu bisa ketawa.” lanjutnya seraya menggenggam tangan kanan Dinar.
Dinar yang merasa risi langsung melepaskan genggaman Arya. “Kebiasaan banget si, main pegang-pegang tangan orang aja.”
Arya hanya mengedikkan bahunya, menghiraukan ucapan Dinar yang bernada ketus itu.
“Lho, motornya ke mana?” tanya Dinar bingung saat ia tak melihat motor Arya di parkiran.
Arya mengambil motor lain yang lebih kecil dari motornya. Kemudian ia memberikan helm pada Dinar. “Motor aku lagi dipinjam Bayu.”
“Buat apa? Kamu ko mau aja si motornya dipinjam ke orang lain? Kalau motornya dipake buat hal yang negatif gimana? Siapa yang mau tanggung jawab?” cecar Dinar, ia hanya khawatir.
Tangan Arya bergerak mengambil alih helm yang sedari tadi hanya dipegang oleh Dinar, ia memasangkan helm tersebut ke kepala Dinar tanpa adanya perlawanan. “Dia teman aku, kamu ga usah khawatir dia ngelakuin hal aneh.”
“Arya ..., aku cuma takut aja, kamu tahu kan berita tentang anak kampus kita yang balapan liar itu?” Seakan tahu apa yang ada di dalam isi pikiran Dinar, Arya lantas menangkup wajah Dinar dan menatapnya dalam. Membuat Dinar mengerjap kaget dengan perlakuan Arya. “Semuanya baik-baik aja.” balas Arya dengan senyuman yang menenangkan.
Dinar kembali melepas tangan Arya yang menangkup wajahnya, sesegera mungkin ia menaiki jok motor sambil menundukkan kepala. Arya yang melihatnya hanya tersenyum geli melihat tingkah lucu yang selalu Dinar tunjukkan seperti ini. Sebelum melajukan motor, Arya menyempatkan diri untuk membetulkan posisi kaca spion, tentunya agar kaca spion tersebut mengarah pada Dinar sehingga Arya bisa leluasa melihatnya.
***
“Habis ini mau langsung pulang, kan?” tanya Dinar seraya mengembalikan helm yang ia pakai tadi.
“Iya, aku langsung pulang ko.” Arya mengusap singkat puncak kepala Dinar sambil mengulum senyumnya.
“Beneran?” tanya Dinar dengan tatapan menginterogasi.
“Iya, Dinar ..., mana ada aku bohong,” balas Arya gemas.
“Ya, udah, hati-hati.” Meski ucapan Dinar terdengar ketus, tapi Arya tahu bahwa Dinar itu sebenarnya sedang mengkhawatirkannya.
“Iya, salam buat Ibu.” Arya menurunkan kembali kaca helmnya lalu menstater motornya.
Saat motor yang Arya kendarai sudah tak terlihat, Dinar membuka pintu gerbangnya lalu masuk ke dalam.
***