Bab 10

1134 Kata
"R-rey!" ucap Nyonya Delusa gelagapan. Tubuhnya terpaku. Ia melirik Erik dengan sudut matanya. Lelaki itu juga ikut terjangkit kaget dengan kehadiran Reynard tiba-tiba. Reynard menatap Nyonya Delusa, lalu bergantian pada Erik. Dengan menyeringitkan dahinya. "Ada apa, Ma?" Rey penasaran."Kenapa kalian kaget gitu?" Nyonya Delusa mencoba mengendalikan situasi. Bersikap setenang mungkin. Otaknya dibuat berputar cepat mencari alasan yang tepat. "Tidak, Rey, mama hanya menegur pengawal ini." Nyonya Delusa melirik ke arah Erik."Dia telah membuatmu terluka seperti itu." Reynard menatap Erik yang tengah tertunduk."Kan sudah Rey bilang, ini bukan kesalahan dia. Ini kesalahan, Rey!" "Iya, mama ngerti. Ayo, kita makan dulu! Kau pasti lapar 'kan? Mama masak makanan kesukaanmu." Nyonya Delusa mencoba mengalihkan pembicaraan. "Humm ... kebetulan aku juga lapar." Mereka pun melangkah menuju meja makan. Reynard berjalan sambil memegangi tangan sang Mama. Memasuki lift dirumah itu. 'Syukurlah, Rey tidak mendengar ucapan ku.' Batin Nyonya Delusa. Sesampainya dimeja makan Rey dan Nyonya tampak begitu menikmati makan malam mereka. Hanya dentingan sendok dan piring saling beradu. Mata bermanik cokelat Nyonya Delusa memperhatikan Rey yang tengah melumat makanan di mulutnya itu. Ada hal yang ingin ia tanyakan pada putranya itu. Tapi, Nyonya Delusa nampak ragu. "Rey, gimana kabar Alena? Dia sehat-sehat sajakan? Kapan ia pulang?" Nyonya Delusa akhirnya bersuara memutuskan untuk bertanya. Rey melirik Nyonya Delusa. Sambil meneguk air mineral untuk membasahi kerongkongan yang tiba-tiba terasa tersendat oleh makanannya. Pertanyaan itu mungkin hanya terdengar biasa, tapi dia cukup tegang dibuatnya. "Alena baik ma. Dia segera pulang, setelah pekerjannya selesai. Kenapa, ma?" tanya Reynard balik. Sebenarnya dia juga tidak tahu pasti, kabar wanita itu akan pulang. "Kau ini, nanya menantuku saja kau menaruh curiga padaku." Kesal Nyonya Delusa. "B-bukan gitu maksud Rey, Ma," ralat lelaki itu. "Rey, mama semakin tua, apa kau tidak ingin memberi mama cucu?" tanya Nyonya Delusa sambil nge-lap mulutnya yang basah dengan sehelai tisu. Matanya masih melihat sang anak yang sedang menguasai dirinya. Seolah tengah mengendalikan diri dari rasa yang mulai berkecamuk. Akhirnya apa yang dia takutkan di balik pembicaraan itu, terucap juga oleh sang Mama. Selama ini Nyonya Delusa tidak menyinggung soal cucu. Tapi, bukan wanita itu sendiri yang menginginkan tangisan sang bayi ditengah keluarga kecilnya, Rey juga. Lihatlah sekarang, wanita paruh baya itu, bagaimana ia menanyakan untuk pertama kalinya soal cucu. Tapi, ada sebuah keadaan yang seharusnya mengungkap sang istri di depan publik. Sebelum ia benar-benar mengandung anaknya. Ah ... rasanya Reynard sungguh dibuat bingung oleh perjanjian nikah sebelum digelar itu. Seandainya perjanjian itu bisa ditukar dengan sejumlah uang, mungkin Reynard akan menukarnya. Jumlah uang yang banyak tidak suatu hal yang sulit baginya. "Ma, jika Alena hamil, apa mama tidak memikirkan dia juga? kami menikah tanpa diketahui publik. Tiba-tiba dia hamil anakku." Elak Reynard. "Kau tidak perlu khawatir, Rey. Kita bisa mengadakan konferensi pers. Kalau dia benar-benar hamil anakmu dan kalian sudah menikah." Sahut Nyonya Delusa. "Itu bukan suatu yang sulit, bukan? Kau pasti bisa mengurusnya." Sambungnya. Rey bergeming. Apa sudah seharusnya ia mengedepankan egonya kepada sang istri? bukannya ucapan sang Mama secara tidak langsung memberikan lampu hijau. Dan tidak perlu lagi menahan diri untuk meluapkan amarahnya ketika ada orang yang memuji sang istri. Rey mengangguk tegas. Tersenyum lebar diraut wajah tampannya. Matanya berbinar-binar. Ada rasa bahagia yang mulai merenggut jiwanya. Dan berharap sang istri juga sejalan dengan pemikirannya kali ini. "Rey, akan segera penuhi keinginan mama." Lelaki itu menarik sang Mama dalam pelukannya. Nyonya Delusa dapat merasakan kebahagiaan yang menyeruak di diri Reynard. Rasanya sungguh tidak tega apa yang dia lakukan ini. Tapi tidak ada cara lain, selain melakukan semua ini. 'Semoga kau bisa memaafkan aku suatu saat nanti, Rey. Semua ini aku lakukan untuk kebahagiaanmu semata.' Batin Nyonya Delusa. *** Jika Rey dan Nyonya Delusa dalam keadaan sehat-sehat saja. Lain ia dengan Yuna, nafasnya tersenggal-senggal atas kaki yang dia ajak berlari membeli obat untuk sang Mama. Penyakit wanita paruh baya itu kembali kambuh. Dengan tergesa-gesa Yuna melangkah masuk ke dalam rumah. Menuju kamar tempat dimana mamanya meringkuk di atas tempat tidur menahan sakit. Dengan memegangi bagian perut sebelah kanan. Rasanya rasa sakit itu menjalar ke hulu hati. "Mama," ucap Yuna lirih. Menaruh obat itu diatas nakas. Mencoba mendudukkan sang mama dari tidurnya."Maaf ya, Ma, Yuna lama. Yuna belikan bubur ayam buat mama. Mama makan ya? Yuna suapi." Mama Ajeng hanya menjawab dengan kedipan mata. Wajah tirusnya terlihat pasi. Dahinya menyeringit menahan sakit Mama Ajeng membuka mulutnya. Saat suapan pertama di arahkan oleh Yuna kepadanya. Hingga suapan ke tiga lolos di kerongkongan Mama Ajeng. Tapi rasa mual berasal dari perutnya bergejolak naik. Memuntahkan kembali bubur yang ia makan itu. "Hoekk...hoekkk.." Selimut yang digunakan menyelimuti tubuh Mama Ajeng, kini telah kotor digenangi muntah berisi bubur yang ia makan tadi. Tangan Yuna menaruh semangkok bubur diatas nakas. Lalu membantu mama Ajeng mengusap tengkuk sang Mama."Enggak apa, Ma, keluarkan saja. Nanti Yuna bersihkan." Setelah dirasa Mama Ajeng sudah Enakan, ia kembali bersandar pada sandaran tempat tidur. Mengadahkan kepalanya dengan mata terpejam. Menghela nafas saja begitu susah baginya. "Minum dulu, ma." Yuna memberikan segelas air pada sang mama. Membasahi tenggorokan yang terasa pahit. Setelah itu ia mengemasi selimut yang sudah kotor itu. Menjauhkan dari tempat tidur. Dan mengambil segelas minuman di atas nakas. "Mama, minum obat ya? Mudah-mudahan obatnya bisa meredakan sakit mama." Lanjutnya. Yuna membuka obat itu satu persatu. Memberikan kepada Mama Ajeng untuk diminumnya dan air yang membantu mendorongnya masuk. Setelah selesai, Yuna kembali membaringkan tubuh Mama Ajeng. Menyelimutinya kembali dengan selimut yang baru. Yuna duduk disisi ranjang Mama Ajeng. Menatap wajahnya yang menirus dan tampak pucat. Tangan dengan jari jemari nan panjang di gengam oleh Yuna. "Maafkan mama ya, Yuna. Mama merepotkan mu, nak," ucap mama Ajeng pelan. "Ma, mama enggak boleh bicara seperti itu. Itu sudah kewajiban Yuna sebagai anak. Tidak ada istilah merepotkan Yuna. Mama enggak boleh memikirkan hal yang lain. Mama pasti bisa sembuh. Yuna akan berusaha bagaimana mama bisa segara dioperasi."Timpal Yuna. Mengusap lembut tangan Mama Ajeng. Mata sendu sang Mama begitu menyayat hati Yuna. Wajah wanita yang selama ini membesarkannya dengan penuh kasih sayang, kini tidak lagi sebugar dulu, bahkan menirus "Mama sekarang tidur ya, semoga sakitnya cepat hilang." Mama Ajeng menarik sudut bibirnya hingga membentuk senyuman halus mendengar ucapan Yuna, yang penuh perhatian. Mata hazel wanita paruh baya itu perlahan mengetup rapat menuruti perintah sang anak. Yuna memberi kecupan di dahi sang Mama. Yang mulai bernafas dengan baik. Kerutan di dahi menahan sakit, perlahan memudar. Namun, air mata Yuna mulai menganak sungai di pelupuk mata yang sendu itu. Semenjak tadi ia tahan di depan Mama Ajeng. Perlahan cairan bening itu menyentuh pipi mulusnya. Seketika Yuna menyeka air matanya itu. 'Do'akan Yuna, ma. Biar Yuna bisa segera mendapatkan uang untuk operasi mama.' Batin Yuna. Yuna emudian ia beranjak dari tempat tidur sang Mama. Membawa selimut yang kotor tadi keluar. Bersambung
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN