Bab 9

1383 Kata
Mobil yang dikendarai Erik telah sampai di kediaman Nyonya Delusa. Berhenti tepat di depan rumah nan megah itu. Erik yang sudah keluar dari mobil, ia bergerak mengitari mobil. Membukakan pintu untuk Reynard. Kaki jenjang Reynard dengan sepatu pentofel kini melangkah masuk kerumah. Setelah pintu dibuka 'kan oleh salah satu pengawal yang berdiri di depan pintu. Seraya menunduk, memberi hormat. Rumah dengan perabotan serba mahal itu, tampak sunyi senyap. Hanya dentingan jam terdengar nyaring di telinga Reynard yang kini memandangi sekitar ruangan tersebut. Masih terlintas jelas di kepala Reynard, bagaimana dia tumbuh dan di besarkan di sana dengan penuh kasih sayang ke dua orang tuanya. Yang kini hanya tersisa mama tercinta yang ia miliki. Sekarang hanya tinggal kenangan, lebih lagi setelah kepergian sang Papa selamanya. Meninggalkan dia dan Mamanya yang tidak lagi muda. Terkadang Reynard merasa bersalah atas tinggal terpisah dari mamanya. Bagaimana lagi, dua wanita yang ia miliki tidak begitu akur. Membuat dia harus menyempatkan waktu menyambangi kediaman sang mama. Kini mata sendu Reynard berhenti tepat ia menelusuri kamar sang Mama. Ia melihat wanita itu tengah duduk di kursi goyang milik sang Papa. Dengan pandangan membuang jauh kedepan jendela. "Kau datang, Rey," titah Nyonya Delusa. Ia tidak menoleh ke lelaki itu. Tanpa bersuara, Nyonya Delusa memiliki filing kepada sang putra permana. Reynard berdehem. Langkah pelannya mendekati Nyonya Delusa yang masih mengamati pandangan diluar dari jendela tersebut. Dengan tangan menelusup ke kantong celananya. Tampaknya wanita paruh baya itu begitu nyaman dengan posisinya di atas kursi tersebut. Reynard mencoba menekukkan lututnya seraya mencium punggung tangan sang Mama yang kini nampak kerutan. Tangan yang selama ini telah membesarkan dia dengan penuh kasih sayang. Tanpa lelah, tanpa pamrih. "Maafkan Rey, ma," Reynard bersuara."Baru menyempatkan waktu kemari melihat mama." Lelaki yang begitu sangar dilihat orang diluar sana, lelaki yang super dingin dari penilaian orang yang menilainya. Tetapi, di depan sang Mama ia begitu lemah tak berdaya. Pada kenyataannya dia juga seorang anak yang ingin patuh terhadap orang tua. Nyonya Delusa tersenyum kecut. Perlahan ia memberhentikan gerak dari kursi goyang itu. Ia memperbaiki duduknya. Tatapan yang membuang, sekarang telah teralih pada Reynard yang duduk di depannya. Lelaki itu tampak mengeluh mohon ampun dari raut wajah yang berdosa itu. Merasa berdosa atas tindakan yang membiarkan sang Mama hidup seorang diri dan hanya di temani pelayan. Nyonya Delusa tersenyum, tangannya bergerak mengelus lembut puncak kepala Reynard."Kau pasti sangat sibuk dengan pekerjaanmu, bukan? Aku tahu itu, Rey. Kau sama seperti ayahmu." Nyonya Delusa sangat tau betul bagaimana sang Suami gigihnya membangun usaha dari nol. Dan tak lepas dari dukungan Nyonya Delusa. Belum sempat Rey menjawab, biji mata Nyonya Delusa menangkap sebuah luka di dahi Reynard yang tampak memerah itu."Rey, kau kenapa sayang?" Nyonya Delusa terjingkrak dari kursi. Telapak tangannya menangkup wajah Reynard. Namun, lelaki itu melebarkan senyuman di raut wajahnya. Tangan Reynard mengelus lembut tangan sang Mama. "Tidak apa, ma. Ini hanya luka kecil," sahut Reynard Namun kegusaran wanita itu tidak puas atas jawaban Reynard. Hingga ia melemparkan tatapan tajam pada Erik yang berdiri diluar kamar Nyonya Delusa. Wajah lelaki itu tertunduk. Erik bergeming. Namun sikapnya terlihat santai. "Apa Erik tidak hati-hati bawa mobil?" tanya Delusa dengan suara sedikit meninggi. Reynard melirik sejenak kearah Erik. Berdosa baginya jika tidak membela lelaki yang menjadi pengawalnya itu. Sebab, itu bukan kesalahannya. "Tidak ma, aku tadi terbentur di pintu ruangan ku, di saat berada di kantor. Aku tidak memperhatikan jalan. Hingga harus luka seperti ini." Sanggah Reynard. Nyonya Delusa tampak menarik tubuhnya yang sempat menegang tadi. Menurunkan kakinya, lalu melangkah mendekati kotak P3K yang berada pada laci lemari. Kemudian ia menduduki sisi tempat tidur. "Rey, kemarilah!" pinta Nyonya Delusa."Duduk di sini." Tangannya menepuk-nepuk sisi tempat tidur. Reynard dengan senang hati menuruti perintah sang Mama. Sebab, ia juga merindukan sentuhan hangat itu. Dimana saat ia terjatuh dari sepeda saat berumur lima tahun, Nyonya Delusa menyembuhkan goresan pada luka di lututnya. Sama persis seperti saat ini. "Lain kali kau harus berhati-hati, Rey. Kau tidak boleh ceroboh seperti ini. Kau mengerti!" celetuk Nyonya Delusa. Tangannya masih bergerak membersihkan luka di dahi Reynard. "Tapi, kalau mama yang obati aku, tidak apa ma. Pasti luka ku langsung sembuh. Seperti saat aku jatuh dari sepeda." "Tidak, Rey. Kau tidak boleh berkata seperti itu. Saat ini mungkin tangan ku masih bisa merawat mu, tapi kita tidak tahu ke depannya bagaimana. Di saat aku telah tiada nanti." "Ma ..."Raut wajah Reynard melemas. Memohon agar sang mama tidak mengucapkan kata "tiada". Kata itu terlalu menyakitkan buat dia."Jangan sekali-sekali mama mengucapkan kata itu. Semoga mama tetap diberi kesehatan dan panjang umur" Reynard sendiri belum sanggup jika dia benar-benar kehilangan wanita itu. Hanya dia harta yang paling berharga dalam hidupnya. Sebelum sang istri. Nyonya Delusa tersenyum lebar. Muka Reynard yang sendu itu benar-benar ia rindukan. "Kau ini," Nyonya Delusa menyugar rambut Reynard. Membuat lelaki itu setengah meringis. "Ingat, Reynard, aku tidak selamanya berada di dunia yang fana ini. Aku tidak selamanya bisa menemani hidupmu dan selalu bawel menasehati mu. Karena yang bernyawa pasti akan kembali pada sang pencipta. Maka dari itu, aku ingin melihatmu bahagia selamanya." Ulasnya. Reynard melihat ada kilatan dari manik mata Nyonya Delusa. Kata tulus yang ia lontarkan, cukup menggetarkan hati lelaki itu. Reynard mengambil telapak tangan Nyonya Delusa."Aku bahagia kok, ma. Aku bahagia mempunyai ibu seperti mama." 'Mungkin kau bahagia mempunyai aku sebagai orang tua mu, Rey. Tapi, bukan itu yang aku maksud sebenarnya.' Batin Nyonya Delusa. Ia menarik tubuh Reynard dalam pelukan hangatnya. Drrrttt...drrrttt... Getaran ponsel milik Reynard berbunyi. Membuat Reynard melonggarkan pelukan pada sang mama. Tangannya merogoh saku celananya. Dari layar ponsel milik Reynard, tertulis nama istri tercintanya-Alena. Seketika senyuman merekah indah di raut wajah tampan Reynard. Ia sudah semenjak tadi menunggu wanita itu untuk menghubunginya. Merindukan suaranya yang gemulai. Mendayu indah di telinga Reynard. Ia merindukan wanita itu. "Ma, aku keluar dulu sebentar," persetan apa Reynard, hingga menyembunyikan si pemanggil itu dari hadapan Nyonya Delusa. Nyonya Delusa mengangguk pelan. Membiarkan putranya itu mengangkat panggilan tersebut. 'Kau tidak perlu menghindar dari ku, Rey, hanya karena istrimu menghubungimu. Sebab, aku adalah ibumu.' batin Nyonya Delusa. Menatap gerakan Reynard yang perlahan hilang dari manik matanya. Setelah kepergian Reynard, Erik mengangkat pandangan pada Nyonya Delusa. Wanita paruh baya itu begitu santai dalam mengayun langkah mendekati lelaki itu. Walau sebenarnya, sudah ada pertanyaan yang akan ia jawab dari Nyonya Delusa. "Jelaskan, apa yang telah terjadi pada putraku? Begitu ceroboh kah kau dalam mengawalnya, ha...?" bentak Nyonya Delusa. Dengan tangan berlipat di atas perut."Aku membayar mahal kamu untuk menjaganya." Namun, tak menggoyahkan lelaki itu pada ketakutan dalam menjawab pertanyaan sang Nyonya. Sikapnya masih terlihat begitu tenang dalam menanggapi percikan amarah yang hampir menyambarnya. "Aku telah menasehatinya, Nyonya. Bahkan berulang kali. Tetapi, tidak di indahkan oleh Tuan Rey. Sepertinya ada gejolak amarah yang tertahan, sehingga ia melampiaskan amarahnya pada pedal gas mobil, Nyonya." Sanggah Erik. "Jangan berbelit! Katakan dengan jelas, Erik!" hardik Nyonya Delusa. Ia tidak sabar mendengar apa yang menyebabkan putranya seperti itu. "Tuan Rey tampaknya tengah kesal, Nyonya. Sepertinya Nyonya Alena tidak mengangkat telepon Tuan Rey," jawab Erik. Erik melihat ponsel Reynard yang tertinggal di kursi pengemudi. Ketika Reynard keluar dari mobil. Lalu ia mencari tahu. Menampakan beberapa panggilan keluar ke nomor Alena dan beberapa pesan baru ke nomornya. "Lalu?" "Tuan Rey menginjak rem mendadak saat seorang wanita menyeberang jalanan. Dan wanita itu ... Yuna.Wanita yang telah menjadi target Nyonya." Tutur Erik . Nyonya Delusa yang tadi membuang pandangan dari Erik, kini menatapnya dengan rasa penasaran mendengar kelanjutan ucapan lelaki itu. Menampakan garis halus disela alis yang bertaut. "Yuna? apa kau maksud itu--" "Iya, Nyonya, wanita yang membawa Anda kerumah sakit," sela Erik. Membenarkan pertanyaan sang nyonya yang terpotong itu. Nyonya Delusa terkesiap. Tidak menyangka semesta ikut berperan mempertemukan mereka. Tapi, itu terlalu cepat. Dia bahkan belum tau kebenaran alamat Yuna. "Apa dia baik-baik saja?" tanya Nyonya Delusa panik. "Dia baik-baik saja, Nyonya." Nyonya Delusa melangkah keluar dari kamar. Matanya bergerak menelusuri ruang diluar kamarnya itu. Seolah mengawasi pergerakan dari seseorang. Lalu kembali berbalik badan mendekati Erik kembali. "Pastikan, Rey tidak mengetahui apa yang telah aku perintahkan padamu. Dan cari tahu cepat latar belakang wanita itu, kau mengerti!" titah Nyonya Delusa pelan. Hampir tak terdengar apa yang diucapkannya itu. "Baik, Nyonya." Sahut Erik "Mama ..." Nyonya Delusa melebarkan matanya. Suara panggilan yang tertuju padanya membuat ia membeku seketika. Bersambung..
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN