Wanita paruh baya itu sudah berada di dalam ruang rawat. Yang cukup membuat Yuna tercengang, ruangan itu sangatlah besar dari pada kamarnya. Membuat Yuna menggeleng-gelengkan kepala. Saat kakinya menapaki ruangan tersebut.
"Ruang rawat saja besar bangat. Melebihi rumah, ku." Gumam Yuna pelan.
Yuna mendekati ranjang rawat wanita paruh baya itu. Menatap wajahnya yang masih menutup mata. Garis-garis halus sedikit terlihat dari wajah nan putih dari wanita itu.
Yuna menarik kursi guna duduk di sebelah sisi ranjang rawat. Lalu menduduki kursi tersebut. Satu tangan Yuna sebelah kanan, menyangga dagunya. "Kasihan sekali dia. Kenapa tidak ada orang yang menemaninya? sendirian berjalan. Seandainya aku tidak berada di sana, bagaimana nasibnya? tergeletak di pinggir jalan." Yuna bermonolog dengan dirinya sendiri.
"Cepatlah sadar, Nyonya." Tambah Yuna. Seiring tangannya menarik selimut itu ke atas d**a wanita paruh baya tersebut.
Rasa kantuk begitu saja menghinggapi kedua mata indah Yuna, membuat dia melipat tangan di sisi ranjang rawat tersebut. Sebagai tempat alas kepalanya yang saat ini ia rebahkan. Sebab, mata indahnya mulai berayun-ayun seiring dengan ke dua bibirnya terbuka lebar. Dan di tutupi cepat oleh telapak tangan yang mungil itu. Tidak membutuhkan waktu lama bagi Yuna. Saat ini, perlahan matanya mengetup sempurna.
Mungkin ia berpikir, wanita paruh baya itu tidak mendengar setiap ucapan yang dia lontarkan. Setahu Yuna, wanita itu masih dalam keadaan tidak sadarkan diri.
Tidak lama kemudian, setelah terlelapnya Yuna, perlahan wanita paruh baya itu mengerjapkan ke dua matanya. Namun sedikit buram awalnya. Dia kembali mencoba mengerjap kembali. Dan semuanya begitu saja terlihat jelas.
Wanita paruh baya itu, mengatupkan ke dua alisnya. Matanya dengan kelopak mata yang sayu, menelusuri setiap inci ruangan tersebut. Hingga matanya berhenti melihat seorang gadis berambut hitam legam di sisi ranjang rawat, tengah tertidur pulas.
Wanita paruh baya itu mengukir satu senyuman di raut wajah cantiknya. Senyuman yang terbaik, yang pertama ia berikan untuk gadis itu. Seharusnya ia membangunkan gadis itu. Tetapi ternyata wanita paruh baya itu hanya membiarkan gadis tersebut terlelap begitu nyaman. Terbuai dalam mimpi indahnya.
"Kau pasti sangat kelelahan. Terima kasih karena kau telah membawa ku ke sini. Tidurlah, akan ku tunggu sampai kau bangun, gadis manis." Jari tangan wanita paruh baya menyirgapi rambut Yuna yang menutupi separuh wajahnya.
Berniat jika dia tidak akan membangunkan dulu gadis itu, Sialnya dia malah terbatuk-batuk. Rasa gatal yang menghinggapi tenggorokannya, membuat dia tidak dapat menahan dengan baik. Tentu saja suara batuknya yang cukup kuat itu dapat membangunkan
gadis yang tengah terlelap tersebut.
Spontan membuat Yuna menegakan kepalanya. Mengucek ke dua mata dengan tangannya yang mulus. Supaya, ia dapat melihat dengan jelas.
Yuna terperanjak dari duduknya. Langsung saja tangannya bergerak ke atas nakas. Mengambil segelas minuman untuk ia berikan kepada wanita paruh baya itu.
"Minumlah dulu, Nyonya," Yuna membantu wanita paruh baya itu duduk. Memberikan gelas berisi minuman itu kepada wanita paruh baya tersebut.
Wanita paruh baya itu meneguk pelan air mineral pemberian Yuna.
Setelah wanita itu meneguk air minumnya, Yuna meletakan kembali gelas kaca itu diatas nakas. Ia membantu wanita paruh baya itu untuk bersandar pada bantal yang Yuna selipkan di punggungnya.
"Terima kasih, kau telah menolong ku. Maaf, aku telah merepotkan mu," Wanita paruh baya berucap." Dan ... membawaku ke rumah sakit ini."
Yuna menarik kedua sudut bibirnya. Membuat sebuah lengkungan senyuman indah. Ia menggelengkan pelan kepalanya." Tidak, Nyonya! aku sama sekali tidak merasa direpotkan. Kebetulan, aku juga berada disana."
"Hemmm ... bolehkah aku tau siapa nama, mu?" tanya wanita peruh baya.
Yuna mengulurkan tangan tirusnya. Nan begitu mulus, putih, bersih." Nama aku-Yuna ... Yuna Delofa. Nyonya bisa panggil saya dengan "Yuna" saja." Ucapnya.
Wanita paruh baya itu tersenyum ramah. Menyambut baik uluran tangan Yuna." Aku-Delusa."
"Baiklah ... Nyonya Delusa. Senang berkenalan dengan anda." Tutur Yuna.
Mereka kembali saling melepaskan tangan yang bersambutan itu.
"Ah iya, Nyonya, aku telah menghubungi putra Nyonya. Mungkin dia sebentar lagi datang. Dan kata Dokter, tidak ada yang di cemaskan dari Nyonya. Hanya saja ... Nyonya sedikit kelelahan yang memicu tekanan darah Nyonya rendah. Dan juga dehidrasi." Yuna mengusap pelan lengan Nyonya Delusa." Semoga Nyonya setelah ini sehat selalu. "
Nyonya Delusa mengerutkan alisnya. Saat tadi Yuna sempat berkata jika dia menghubungi anaknya. Tetapi setiap ucapan Yuna, begitu saja membuat Nyonya Delusa merasa di perhatikan oleh seseorang seperti anak sendiri.
'Apa mungkin dia mengubungi, Reynard?' Batin Nyonya Delusa.
Nyonya Delusa mengangguk pelan." Terima kasih sekali lagi, Yuna. Aku berhutang budi pada mu."
Yuna menggeleng."Tidak, Nyonya. Sudah kewajiban saya menolong Nyonya. Kebetulan saja, saya ada di sana."
Di tengah pembicaraan mereka yang terlihat akrab itu, terdengar suara pintu di buka.
Ceklek...
Menampakan sosok lelaki berbadan tegap, berkharisma, tinggi dan bulu tipis terdapat pada rahang wajahnya. Tentunya membuat Yuna dan Nyonya Delusa menoleh ke asal suara.
Bagi Nyonya Delusa mungkin biasa saja dengan suguhan lelaki seperti yang di hadapan mereka. Tetapi tidak dengan Yuna. Dia tertegun. Saat mata beningnya mendapati lelaki seperti . Pastinya mempunyai perut seperti roti sobek. Sampai-sampai menelan ludahnya saja, kesusahan. Tercekat tepat di tenggorokannya.
Mata indah nan bening milik Yuna tidak teralih sedikit pun. Mematri dengan pasti setiap langkah lelaki itu. Hingga tanpa Yuna sadari lelaki itu telah di hadapannya. Menyapanya, melambaikan tangannya tepat di depan wajahnya.
Namun Yuna belum juga berkedip. Hingga sedikit goyangan di bahu Yuna yang di lakukan Erik membuat dia tersadar dari lamunannya.
'Tampan Sekali.' Batin Yuna
" Ah..maafkan aku!" Yuna membuang pandangannya kesembarangan arah. Menggeser langkahnya untuk mempersilahkan lelaki itu mendekati Nyonya Delusa.
'Astaga..memalukan.'
Yuna memegangi tengkuknya yang tidak gatal.
Drrttt...drrrtt....drrrttt..
Ponsel murahan Yuna bergetar. "Nyonya, Tuan, saya permisi sebentar."
Nyonya Delusa dan lelaki itu mengangguk. Setelah mendapat anggukan Yuna, pergi keluar dari ruangan. Mengangkat panggilan telepon itu.
***
Lelaki bernama Erik itu, langsung saja membuka suara." Apa Nyonya baik-baik saja?"
"Seperti yang kau lihat." Nyonya Delusa mengangguk.
"Kenapa Nyonya melakukan ini semua?" tanya Erik.
"Ha ... kau akan tau nanti. Dan ini menjadi tugas mu." Ucap Nyonya Delusa.
Erik menaikan alisnya. "Apa maksud, Nyonya?"
"Selidiki dia ... berikan informasi apapun kepada ku tentang gadis itu," pinta Nyonya Delusa
"Tetapi ... kau harus ingat, hanya kepada aku saja. Tidak dengan Reynard." lanjutnya.
Meski kini kedua alis Erik bertaut menyiratkan banyak pertanyaan atas tugas yang diembankan kepadanya, tetapi ia tidak berhak menanyakan lebih lanjut lagi. Dia hanya perlu melaksanakan tugas yang telah di perintahkan oleh wanita paruh baya itu.
Ditambah lagi wanita paruh baya itu menyebutkan nama "Reynard" membuat Erik semakin penasaran. Lambat laun, dia akan tahu juga. Di balik perintah sang Nyonya besar.
"Baik, Nyonya..akan aku laksanakan perintah mu." Sahut Erik.
"Sekarang pergilah ke administrasi." Perintah Nyonya Delusa.
Erika mengangguk tegas. Mengayunkan langkahnya menuju pintu. Saat gagang pintu ditarik oleh Erik, di balik pintu ternyata Yuna juga hendak masuk ke dalam ruang rawat itu kembali.
Tatapan mereka saling beradu. Yuna mencoba tersenyum. Melemparkan senyuman manisnya. Tetapi hanya muka datar Erik yang ia dapati. Lelaki itu begitu saja melewati Yuna.
Tentu Erik tidak begitu. Hanya saja, sesuatu yang telah menjadi incaran Nyonya besar tidak bisa bagi Erik membalas senyuman itu. Itu menjadi peraturannya. Dan dia hanya menuruti peraturan yang telah di buat untuk seluruh pengawal seperti dia.
'Tampan sih. Tapi sombong, ha!"
Yuna mengerucutkan bibirnya. Mendongkol dalam hatinya. Ia pikir laki-laki itu ramah senyuman. Ternyata jauh dari Ekspetasinya.
Ia pun menutup kembali pintu itu. Dan mendekati kembali Nyonya Delusa. "Maaf Nyonya," Yuna sedikit menundukkan kepalanya."saya pamit pulang dulu. Berhubungan disini juga sudah ada anak-Nyonya. Mungkin dia bisa menemani Nyonya."
Nyonya Delusa mengangguk."Hemmm..Sekali lagi terima kasih ya, Yuna. Kalau tidak ada kau, aku tidak tau apa yang akan terjadi waktu itu."
Yuna tersenyum."Sama-sama Nyonya. Kalau begitu saya pulang dulu. Semoga Nyonya cepat sembuh." Yuna mengusap lembut bahu Nyonya Delusa
"Hemmm...."
"Permisi, Nyonya." Pamit Yuna. Saat dia membuka pintu, terlihat Dokter Farhad di balik pintu.
"Silahkan, Dok." Yuna mempersilahkan Dokter Farhad masuk.
Ia pun keluar dari ruangan tersebut. Dalam pikirannya, Dokter Farhad memperiksa keadaan Nyonya Delusa.
Bersambung..