“Papi lihat, kan?” Seperti mendapat durian runtuh Khansa jingkrak-jingkrak. Manakala gerbang di depannya terbuka, dengan mata kepalanya sendiri dia melihat si idola kesayangan. Apalagi ketika keduanya tidak sengaja bersitatap. Seperti kesetrum listrik tegangan tinggi, hatinya meletup-letup rasanya bagaikan ada kembang api yang api di malam tahun baru.
“Lihat.” Wisnu Wardana menjawab. Lelaki itu sebenarnya mual parah karena kebanyakan makan garlic bread. Dia hanya berusaha menyembunyikannya karena takut sang anak kecewa.
“Kok tanggapannya begitu?”
“Begitu gimana?” Wisnu berusaha menghindar dari tatapan Khansa.
“Kenapa Papi gak excited gitu. Kayak yang gak ada harapan sama sekali. Setidaknya sebagai orang tua Papi itu harus mendukung kesenangan anaknya. Dukung kalau Shasa ini suka sekali sama Zyan. Pi, Shasa diliatin sama Zyan, Pi.”
Wisnu tidak sanggup menghabiskan garlic breadnya, dia juga gak sanggup menghadapi kehaluan si Khansa. Jika terus ditanggapi lama-lama bisa gila. Wisnu sudah cukup pusing dengan pekerjaannya, selesai cuti bukannya santai malah pekerjaan semakin menumpuk. Tahu begitu dia tidak ambil semua jatah cutinya.
“Papi ke dalam dulu, papi mau minum.”
“Ih, gak dukung banget. Setidaknya dengerin Shasa ngomong, Pi.”
“Udah makin panas, nanti sunburn. Muncul flek item, nanti kamu gak gemoy lagi, Sha. Ayo masuk, itu biar nanti Papi bereskan.”
“Nanti Babang Zyan balik lagi Shasa gak bisa liat dia Pi.”
Wisnu tidak pernah sanggup melihat wajah Shasa yang memelas seperti anak kucing, sama seperti ketika kecil memelas minta eskrim lalu dia beri, minta cokelat lalu dia kasih, minta burger ukuran jumbo dia juga dengan senang hati memberinya daripada melihat Khansa memelas. Sungguh gak tega, meski sekarang gadis itu tumbuh menjadi gadis yang gemoy, seksi, saking seksinya Wisnu yakin, jika Khansanya dibonceng, maka paling ringan kerusakan yang terjadi adalah ban kempes.
“Nak Zyan pakai mobil, Sha. Pasti bakalan pergi lama, gak mungkin ke depan doang pergi sendiri. Dia punya ART, punya sopir dan penjaga keamanan. Tinggal nyuruh, kan?”
Khansa mundur dari dekat gerbang, dia ngeri juga dengan sinar matahari yang mampu membuat wajahnya muncuk flek hitam. “Ya udah, Shasa masuk, Papi janji mau beresin itu semua, kan? Kalau enggak Shasa aduin ke mami tentang simpanan Papi.”
“Heh simpanan apa?” tiba-tiba Nina muncul, dia melihat Khansa dan Wisnu bergantian. Wisnu menatap Khansa sebal, kalau bukan kesayangan mungkin dirinya bakalan nimpuk itu anak sampai menangis minta ampun.
“Khansa, Mami tanya baik-baik, Papi kamu punya simpanan apa? Perempuan?”
“Gawat, Mami udah manggil pake nama asli, dia pasti marah,” batin Khansa. “Maafin Shasa, Pi, demi keselamatan uang saku dan jatah makan Shasa, Shasa harus bilang sama Mami.”
“Khansa!”
“Papi punya simpanan uang buat beli umpan pancing. Dia simpan kantong kecil samping lemari besar di kamar. Shasa gak sengaja nemuin itu pas nyari benang dan jarum.”
Wisnu Wardana memelas, dia pasrah. Papi Khansa memang gak boleh pergi memancing karena tidak pernah dapat ikan dan lupa waktu. Yang ada setiap pergi mancing besoknya langsung sakit pinggang karena kelamaan duduk.
Nina Suryani mantan Mojang Priangan buru-buru masuk ke rumah, dia tidak boleh melewatkan uang simpanan sang suami. Sesuai perjanjian jika kedapatan memiliki uang simpanan dengan alasan unfaedah maka uang itu akan disita dan dibelikan makanan lezat untuk makan malam. Atau bisa juga masuk jatah belanja Nina.
“Sha.”
“Sory, Pi. Sory banget, Khansa kalau gak ngomong nanti gak dapet jatah makan, gak dapat uang jajan. But, Papi jangan khawatir, nanti Shasa bagi jatah. Atau kalau Shasa gaijan nanti Papi Shasa kasih uang sebagai tanda permintaan maaf.” Perempuan itu cekikikan.
“Bukan masalah uangnya, Papi celaka ketahuan Mami suka mancing diem-diem. Dah, anak kecil mah gak bakalan tahu prahara rumah tangga.”
Wisnu masuk ke rumah, wajahnya kusam dan muram. Apalagi saat lihat Nina menghitung lembaran uang yang sengaja Wisnu simpan untuk keperluan memancingnya hari minggu nanti.
“Shasa mau makan apa hari ini? Mami mau sate GY sama pempek Mang Guna. Habis magrib kalian berangkat, ya. Silakan pesan apa yang kalian mau. Gak usah deliveri, jalan aja ke depan.”
“Shasa malas kalau jalan kaki, nanti lima L Lemah, Letih, Lesu, Lunglay dan Love you.” Senyumnya terkembang, lesung pipi membuat gadis bertubuh subur itu menjadi manis.
“Gak usah becanda dulu, mami lagi gak selera.”
“Mi, dengerin dulu penjelasan Papi.” Wisnu mendekat, Nina buru-buru menjauh, Khansa buru-buru masuk kamar memberikan kesempatan kepada kedua orangtuanya untuk menyelesaikan masalahnya.
“Bang Zy, kita kalau sudah nikah nanti bakalan kayak mami dan papi gak sih?” tanya Khansa pada poster yang sedang tersenyum manis.
“Shasa gak bakalan menghalangi apa pun hobi Bang Zy. Bang Zy mau pergi ke mana pun Shasa bebaskan, asalkan ....” Khansa diam sejenak. Dia usap wajah Zyan dengan menggunakan telunjuknya. Oh sungguh, Tuhan menciptakan segala keindahan. Sempurna sekali makhluk yang ada dalam poster itu.
“Asalkan Shasa ikut.” Diakhiri dengan tawa dan kecupan singkat tepat di bagian pipi Zyan. Khansa lalu membersihkan diri dan tidur siang.
***
Khansa bangun sore hari setelah berkali-kali Nina mengetuk pintu kamarnya. Wajahnya ditekuk karena gadis itu sama sekali belum puas. Masih ingin tidur lama, terlebih pasa saat tidur barusan Khansa memimpikan Zyan Alex.
“Sebentar lagi makan malam. Siap-siap Shasa antar Papi beli sate. Pastikan tidak ada lagi penggelapan dana, sekali ketahuan. Tidak ada jatah makan.”
“Baru bangun, Mi. Nyawa Shasa belum terkumpul. Shasa mandi bentar, ya, keringetan.”
“Sepuluh menit, nanti keburu antri tukang satenya.”
Wisnu cemberut menunggu di teras rumah. Khansa sudah memakai baju terbaiknya, sejak Zyan tinggal di depan rumahnya perempuan itu jadi selalu memerhatikan penampilannya.
“Ayo, Pi. Shasa siap.”
“Papi lupa, mobil di pake Radit.”
“Lah, mobil dia ke mana?”
“Itu, masih di garasi. Bensinnya habis, itu anak seenaknya aja tukar mobil.”
Nina melemparkan kunci dan ditangkap dengan tangkas oleh Wisnu. Kunci motor, itu artinya ayah dan anak itu tetap harus pergi apa pun yang terjadi.
Sebenarnya agak ngeri juga, Wisnu sudah dua kali memperbaiki jebolnya shockbreaker motor itu berkali-kali. Dia menatap iba motor kesayangan istrinya. Sayang juga pasti habis ini motornya sakit dan terpaksa menginap di bengkel.
“Papi ragu-ragu karena Shasa gede gini?”
“Enggak, bukan itu.” Nina melotot, Duh, serba salah.
“Ya udah, keburu malam. Keburu Radit pulang, kasian dia nanti kelaparan.”
“Mami gak pernah, tuh, mikirin Shasa, gak pernah takut Shasa kelaparan.”
“Ya ngapain juga, kamu itu memiliki banyak cadangan makanan. Gak bakalan kelaparan hanya karena telat makan malam.”
“Bilang aja Khansa gendut!”
Kesel juga sih, body shaming terselubung namanya. Khansa gak terima, dia langsung naik ke boncengan dan membuktikan tubuhnya tidak sebesar itu dan dia jamin motornya gak akan kenapa-napa.
Wisnu menjalankan motornya pelan-pelan. Melewati rumah-rumah dengan berbagai tipe di perumahan itu. Sesekali kecepatannya ditambah lalu dikurangi lagi saat melintasi polisi tidur. Kudu benar-benar hati-hati jika ingin sampai ke tukang sate.
Khansa sendiri senang karena sudah bisa naik motor lagi, lama sekali ke mana-mana selalu diantarkan pakai mobil atau jalan kaki. Dia sebenarnya sadar diri, tapi sekarang dirinya benar-benar gak bisa jika harus pergi jalan kaki.
“Sha, kok gak stabil, duduknya yang bener, Sha.” Wisnu merasa motornya bergoyang. Entah hilang keseimbangan atau jangan-jangan ....
“Pi goyang,” jawab Khansa.
Wisnu memaksakan diri untuk terus membawa motornya sampai pos satpam yang tinggal beberapa meter lagi, bunyi klepak klepak terdengar meyakinkan bahwa roda belakang kempes lagi. Apes, mana bawa uang pas-pasan untuk beli sate dan pempek. Uang kesayangan Wisnu yang berhasil disita oleh Nina.
“Pak Jay, Pak. Numpang dulu ya,” teriak Wisnu. Setelah menepi dia meminta Khansa untuk turun dan menunggu di teras pos satpam. Ukurannya tidak kesar hanya lebar sekitar lima puluh sentimeter. Cukup untuk duduk, tetapi Khansa lebih memilih untuk berdiri dan bersandar.
Jika sudah begini Khansa selalu merasa bersalah dan meratapi berat badannya, perutnya yang besar dan berlipat. Jari-jarinya yang gemoy tidak bisa memakai aksesoris cincin.
“Saya mau cari tambal ban, Pak Jay. Sebelah sini paling dekat di mana, ya?”
“Biar Tono aja yang bawain, Pak. Sekalian pulang,” tawar seorang penjaga keamanan yang kebetulan lepas jaga. Dia terlihat sudah rapi dan bersiap untuk pulang.
“Ngerepotin, Pak.”
“Enggak merasa repot, Pak Wisnu mau tunggu di sini boleh, kebetulan di dalam lagi nobar bulutangkis.
“Khansa gimana, Pi?”
Setelah menoleh ke dalam pos satpam yang sempit, Khansa memperkirakan jika dirinya masuk maka tidak akan cukup. Dia cemberut dan Papinya mengerti perasaan si anak gadis yang menggemaskan.
“Saya di sini saja nemenin Khansa. Sha mau balik dulu?” tanya Wisnu.
“Jalan kaki?”
“Iya apa lagi?” masa pesan Grab car, papi gak ada duit.
Khansa membayangkan jika harus berjalan kaki. Jika dari rumah dia gak masalah berjalan kaki karena jalan ke depan sini menurun. Namun jika dari gerbang depan komplek lumayang agak nanjak, tanjakannya memang tidak terlihat, tetapi lama-lama cukup menyiksa pernapasan. Terutama Khansa yang obesitas.
“Khansa di sini saja nunggu Kak Radit, bentar lagi dia pasti pulang lewat. Jalan napas pasti ngos-ngosan.”
“Gak apa-apa, Neng, itung-itung olahraga,” sambar Pak Tono.
“Olahraga ada waktu dan tempatnya, Pak.” Khansa ketus dia cemberut bergeser ke sebelah kiri berada di pojokan pos satpam.
Papi Wisnu sedang transaksi bersama Pak Tono, mungkin Mami Nina harus merelakan pempeknya karena uangnya dipake untuk tambal ban. Melihat kondisi kempesnya mungkin harus ganti ban dalam.
Dari arah jalan raya, sebuah mobil berwarna putih masuk dan berjalan pelan melewati gerbang. Wisnu menghentikan mobil itu dengan terpaksa, namun, ini satu-satunya cara agar Khansa bisa pulang tanpa berjalan kaki.
“Naik saja, Pak.”
Suara lembut itu mebuat Khansa yang sedang bete berpaling. Rasanya ingin terbang melambung ke atas awan, atau tenggelam ke dasar palung. Berteriak di sana, bahagia karena memiliki papi yang sangat mengerti dirinya.
“Naik, Sha. Nak Zyan nitip Shasa ya. Maaf merepotkan.”
Senyum itu manis sekali, Khansa hanya bisa diam mematung, membeku seperti patung lilin di Madame Tussauds Singapura.
“Naik!” peritahnya dingin sedingin salju di puncak Jaya Wijaya.
“Shasa berutang budi banget sama Papi.” Dalam tatapannya Khansa tersenyum dan mengedipkan sebelah tangan. Untuk menuju pintu samping sopir, Khansa tersandung polisi tidur, untung tidak sampai jatuh. Bisa turun harga diri jika Zyan Alex melihat Khansa jatuh.
Aroma maskulin yang menyegarkan tercium sempurna oleh Khansa. Perempuan itu memejamkan mata sambil membayangkan aroma ini yang akan tercium setiap hari.
“Bang Zyan habis jalan-jalan ya? Gimana kota Garut?” dengan Antusias Khansa bertanya. Dia mengelus pinggiran jok mobil yang nyaman, tidak seperti mobil Papi atau Radit. Ini luar biasa keren, mulai dari baunya serta kebersihannya.
Tidak ada pengharum ruangan aroma jeruk yang bikin dia mabuk, tidak ada makanan di dashboard. Pokoknya mobil aktor memang beda. Beruntung sekali Khansa bisa naik dan yang paling menyenangkan adalah ketika sampai di depan rumah Zyan buru-buru turun.
“Gentle sekali, pasti mau bukain pintu.” Khansa kegirangan, dia memejamkan mata. Menunggu momen sekali seumur hidupnya. Momen ini sangat langka dan harus diabadikan. Menunggu beberapa menit pintu mobil tidak kunjung dibuka. Khansa mengintip sedikit dan menoleh ke samping. Dia berjengkit kaget saat wajah Pak Sakur tersenyum ke arahnya persis di depan jendela.
“Turun, Neng, mau sampai kapan si situ?”