Zyan dan Gadis Mengerikan

1516 Kata
Selebritas berusia dua puluh empat tahun itu sebenarnya menyesal karena meninggalkan rumah sendirian di kota yang sama sekali belum pernah dia jelajahi. Selama dua jam lamanya dia berputar-putar dari jalan Ahmad Yani, ke Ciledug kemudian, Ranggalawe berakhir di Cikuray. Hanya ada dua toko peralatan olahraga dan dumbell yang dia cari sama sekali tidak ditemukan. Pada akhirnya Zyan harus kembali ke tujuan awal untuk membeli water heater di salah satu toko yang cukup besar di kota ini. Tidak lupa memakai topi dan memastikan maskernya terpakai dengan sempurna, Zyan masuk ke toko itu. Sebenarnya ini adalah toko ke tiga, setelah water heater yang dia cari di toko sebelumnya tidak ditemukan. “Saya Water Heater,” ucap Zyan setelah pelayan toko bertanya. “Ada tiga jenis Water Heater, Solar water heater bertenaga sinar matahari, Water heater bertenaga listrik dan yang menggunakan gas. Kalau boleh tahu, Aa-nya tinggal di Mana?” “The Intan Village, saya ingin yang paling bagus. Solar saja, ini alamat rumahnya. Bisa pakai credit card, kan?” Zyan tanpak terburu-buru, lelaki itu tahu risiko jika bertemu dengan Fans di jalan. Dijamin tidak akan bisa pulang dengan mudah. Dia sebenarnya agak menyesal karena tidak membawa Pak Sakur. “Bisa, Pak, apa tidak mau pilih?” “Tidak, pilihkan saja yang paling bagus, tolong segera di proses, nanti di rumah akan bertemu dengan orang-orang saya. Ini silakan,” Zyan serahkan credit cardnya. Zyan menunggu sambil melihat display toko yang cukup modern berada di tengah kota tersebut, semua stok barang yang dipajang adalah barang dengan kualitas paling baik. “Mas.” Dengan suara tajam dan menakutkan, Zyan memanggil seorang pelayan yang bertugas di sana. Pelayan itu meninggalkan kursinya, lalu menghampiri Zyan dengan penuh rasa hormat. “Ada yang bisa saya bantu, A?” tanya lelaki yang diperkirakan berusia awal dua puluhan. “Saya mau beli peralatan olahraga, tetapi toko di sekitar sini gak ada yang komplit, Mas tahu di mana lagi? Apa di sini ada ACE Hardware?” “Paling dekat ke Jatinangor kalau mau ke ACE Hardware, atau Tasikmalaya. Di Garut belum ada, A.” Zyan terlihat kecewa. Badan rasanya sudah tidak karuan karena tidak berolahraga, sementara dirinya masih dalam pemulihan dan belum bisa pergi ke Gym atau olahraga berat. Dia berniat membeli dumbbell dengan berat yang masih aman untuk cedera yang dia alami. “Tapi kalau butuh alat olahraga yang agak lengkap, Aa bisa datang ke Snap Fitness, gak jauh dari sini, A. Dari sini lurus lalu persimpangan belok kanan, samping klinik bersalin. Ada plang Snap.” “Oke, thanks, Mas.” Suaranya tetap dingin, matanya tidak menunjukkan bahwa Zyan ramah. Setelah memastikan semua urusan selesai, Zyan menyusuri jalanan sesuai dengan petunjuk orang tadi. Terbiasa hidup di kemacetan tetapi semua fasilitas dan apa yang diinginkan mudah didapatkan membuat dia sedikit mengeluh. Meski jalanan kota tidak membuatnya stress, tetapi Zyan merasa berada dalam sebuah keterbatasan. Benar, ternyata Snap Fitnees dekat dari toko sebelumnya. Tidak sampai lima menit Zyan sudah masuk ke pelataran parkir Fitness yang cukup besar untuk ukuran kota kecil seperti Garut. Ketika masuk ke area tersebut, Zyan disambut seorang laki-laki muda yang memakai seragam rapi dan sopan. Tempat itu tidak terlihat seperti tempat untuk nge-gym, lebih seperti sebuah salon kecantikan dengan penataan bagian depan meja resepsionis, tulisan di belakangnya Snap Fitness dan beberapa spot terdapat rak berisi bunga dan majalah. Zyan menebak pemilik tempat fintess ini adalah seorang perempuan. Meski begitu, kesan maskulin sama sekali tidak ditinggalkan. Sofa berbahan kulit sintetis berada di sudut ruangan, di sana ada seorang pria berbadan tegap dan tinggi duduk sambil main game. “Bisa saya bantu, Pak?” sambut pegawai itu. Dia tersenyum sopan sekali, giginya yang rapi dan bersih terlihat semua saat tersenyum. “Bisa jangan panggil bapak?” Zyan tentu saja protes, jika dia buka topi dan masker, sudah bisa dipastikan itu orang bakalan pingsan karena kaget. Namun, Brian masih slow, dia memilih diam saja dan protes sedikit karena dipanggil bapak. “Maaf sekali, Kak. Mau nge-Gym?” “Saya mau ketemu sama atasan kamu,” ujar Zyan gusar, pelayanan yang sangat tidak menyenangkan bagi Zyan, terlalu bertele-tele. “Eh ... ehm ....” gugup, itulah yang terjadi sekarang, sesekali pemuda itu melirik ke pojokan tempat di mana pria berbaju hitam asik dengan gawainya. “Ada apa Za?” teriak pria itu tanpa mengalihkan pandangannya. Zyan menatap tidak suka, lalu dia kembali meminta petugas yang di depan untuk segera memanggil atasannya. “Maaf, ada yang bisa kami bantu?” “Ini kenapa pelayanannya begini, gak ramah banget. Salah saya mendatangi tempat ini.” “Maaf atas ketidaknyamanannya, Za ke belakang aja, ini biar saya yang tangani. Maaf, Kak, saya Morgan. Jika berkenan, apa ada yang bisa saya bantu?” Biasanya untuk yang mau nge-Gym tidak perlu bertanya lagi, mereka mambawa tas berisi pakaian ganti dan langsung daftar di tempat yang disediakan. Apalagi untuk member yang ambil paket bulanan, mereka langsung masuk setelah scan barcode di kartu member sebagai daftar kehadiran. Namun, karena Morgan melihat Zyan datang dengan pakaian yang tidak menunjukkan tanda-tanda kalau dia akan berolah raga jadilah timbul pertanyaan. Siapa tahu Zyan mau daftar member atau mengikuti program diet. Meski tidak mungkin karena Zyan terlihat proporsional dengan bentuk tubuh yang bagus. “Saya dapat rekomendasi dari toko Bohemia sebelum persimpangan itu, katanya Snap Fitnnes menjual alat-alat fitness seperti Gym Ball dan Dumbbell?” “Ah ... benar, Kakak silakan ikut saya ke dalam.” Morgan dengan ramah menunjukkan jalan untuk Zyan. Lelaki itu mengikuti dari belakang, dia melewati area tempat fitness yang dilapisi oleh dinding kaca. Setelah masuk di salah satu area, memang terdapat banyak printilan-printilan nge-gym yang bisa dibeli di sana. Ada rak besar berisi banyak barang dagangan termasuk pakaian dan juga peralatan olahraga. “Saya butuh dumbbell. Kalau bisa material stick barnya besi, Coating chrome solid.” “Ada, Platenya full besi cor. Kualitas paling bagus di kelasnya. Silakan bisa dilihat dulu.” “Iya, ini yang saya cari. Saya punya Cuma gak kebawa,” ungkap Zyan. “Oh, bukan orang sini, Kak?” tanya Morgan. “Saya dari Jakarta, kebetulan sedang berlibur dan butuh olahraga.” “Bisa datang ke sini, ada paket non member, setiap hari kamis dan jumat. Sisanya hanya khusus member.” “Terima kasih, akan saya pertimbangkan.” *** Zyan cukup puas dengan barang-barang yang dia beli. Di beberapa kesempatan dia hampir saja ketahuan fans karena membuka maskernya. Alasan pergi ke kota Garut untuk memulihkan diri karena dia yakin tempat ini mampu menyembunyikan identitasnya. Jika tidak menggunakan google Maps mungkin Zyan bakalan nyasar, dia buta arah, ke mana-mana biasanya diantar manager atau kalau tidak sopir. Dia ingin segera sampai rumah karena perutnya lapar, Zyan tidak berani makan di restoran karena dengan begitu berarti terpaksa dia harus membuka maskernya. Melewati jalan Cimanuk, Zyan hanya bisa menelan ludah kala gerai-gerai penjaja makanan berderet di sana. Salah satu kerugian menjadi selebritas adalah tidak leluasa. Di Jakarta di Bandung mungkin di sini pun sama. Fans-fans fanatik akan mengejarnya, bahkan di beberapa kesempatan ada yang sampai menyakiti dirinya. Apalagi hilangnya Zyan selama dua minggu ini benar-benar membuat semua kelabakan, kontrak-kontrak reality show terpaksa dibatalkan akibat cedera yang dialaminya ini. Kemacetan di kota ini hanya terjadi beberapa puluh meter saja, sekitaran pusat jajanan yang berjajan di sepanjang jalan Cimanuk. Sisanya jalanan lancar, sehingga dia bisa pulang dengan cepat ke The Intan Village. Sesampainya di komplek perumahan Zyan bertemu dengan Pak Wisnu dan anak perempuannya. Dia ada di pos satpam seperti sedang menunggu sesuatu. Zyan tadinya tidak peduli sama sekali, tetapi Pak Wisnu ternyata mengenali mobil Zyan dan tepat ketika dia melintas gerbang perumahan Pak Wisnu melambaikan tangannya untuk menghentikan mobil Zyan. Ckk ... ngapain, sih. Zyan hanya dapat menggerutu dalam hatinya. Dia melihat anak perempuan Pak Wisnu yang selalu bertingkah menyebalkan. “Nak, Zyan, kebetulan sekali. Bapak mau minta tolong boleh?” Dijawab boleh, Zyan tidak mau. Dijawab tidak mau, Zyan ingat pesan Ibunya bahwa kota Garut berbeda dengan Jakarta. Kita sebagai tetangga harus saling peduli kepada sesama. “Kenapa, Pak?” “Bapak mau beli sate ke depan, tiba-tiba Ban motornya pecah. Nak Zyan, maaf, bolehkah Khansa ikut sampai depan rumah?” Zyan tersenyum kaku. Masih ingat dengan jelas sewaktu Zyan meninggalkan rumah, tetangganya itu sedang makan bersama di luar rumah. Sekarang mereka mau beli sate, pantas saja ban motor sampai pecah karena tidak sanggup menahan beban berat anak perempuan bernama Khansa itu. “Naik saja, Pak.” Pada akhirnya Zyan mengizinkan gadis itu masuk. Ini adalah tipe fans yang selalu Zyan hindari. Fans yang baginya tidak berkelas, lelaki itu menyumpal telinganya dengan earphone. Lalu fokus menyetir tanpa memperhatikan bahkan melihat ke arah Khansa. Volumenya sengaja dia kencangkan sehingga tidak perlu mendengar omong kosong dari Khansa. Zyan tidak mau berinteraksi dengan fans yang kucel, berkeringat, berjerawat dan bertubuh besar. Sesampainya di rumah, ternyata pemasangan solar water heater masih berlangsung, aktor papan atas itu buru-buru keluar mobil. Dia memutar lalu menyerahkan kunci mobil kepada pak Sakur. “Itu anak tetangga sekalian suruh keluar, habis itu bersihkan jok mobilnya, pastikan wangi dan bersih seperti sebelumnya.” Sebelum masuk ke area rumah, dia melihat sekilas ke arah Khansa, gadis itu tersenyum bahagia. Yang Zyan rasakan adalah merinding. Mengerikan!
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN