Obrolan di atas kasur

1362 Kata
Julian meraih wajah Vanya, bukan dengan kelembutan, melainkan dengan cengkeraman yang tegas. Ia tidak meminta. Ia mengambil. Bibirnya menabrak bibir Vanya, ciuman itu adalah ledakan kepemilikan. Tidak ada cinta di dalamnya, hanya kemarahan, frustrasi, dan kebutuhan mendesak untuk menegaskan kembali d******i atas kekacauan emosional yang diciptakan Vanya dalam dirinya. Ciuman itu kejam, menuntut respons yang cepat. Vanya awalnya menegang, tetapi kemudian, didorong oleh adrenalin malam itu dan pengakuan kekuatan yang baru, ia balas menciumnya, membiarkan dirinya terseret ke dalam kegelapan dan kekejaman yang ada di bibir Julian. Julian tiba-tiba menarik diri, napasnya terengah-engah, matanya lebar. Ia menatap Vanya, yang bibirnya sedikit bengkak dan napasnya tidak teratur. Ciuman itu telah meninggalkan jejak di wajahnya, seperti noda anggur merah yang ia tinggalkan di mansion. 'Setelah ini, apa dia akan menyiksaku?' batin Vanya. Julian menyentuh bibirnya sendiri, seolah-olah ia baru saja melakukan sesuatu yang tabu, sesuatu yang tidak seharusnya ia lakukan. Vanya melihat kengerian sesaat di mata Raja Hantu, seolah-olah ia menyadari bahwa sentuhan yang tidak direncanakan itu telah merobohkan sepotong kecil lagi dari benteng emosionalnya. Lift berdenting. Pintu terbuka ke lobi kosong di lantai dasar, tetapi tidak ada yang bergerak. Mereka terjebak dalam keheningan yang tebal dan mematikan, terkejut oleh ledakan kekerasan dan gairah yang baru saja terjadi. “Jangan pernah,” bisik Julian, suaranya nyaris tidak terdengar, namun dipenuhi ancaman. “Jangan pernah membuatku melanggar aturan lagi.” Julian melangkah keluar, meninggalkan Vanya di dalam lift, sendirian dan terengah-engah, menyadari bahwa ia baru saja memenangkan pertarungan kekuasaan yang jauh lebih besar daripada sekadar melawan Victor Kane. Pintu lift berdentang tertutup di belakang Julian, meninggalkannya sendirian di lobi marmer yang dingin. Vanya menunggu beberapa detik di dalam lift, napasnya yang terengah-engah bergema. Ia menyentuh bibirnya, merasakan sensasi panas yang tersisa dari ciuman brutal itu. Sebuah ciuman yang bukan dari nafsu, melainkan dari kepemilikan dan keputusasaan yang tertahan. 'Beberapa kali dia melakukan itu padaku. Aku takut, dia akan melakukan hal lebih dari sekedar membunuh,' batinnya waspada. Ketika Vanya akhirnya melangkah keluar, Julian sudah berdiri di samping mobil mereka, seperti patung yang diukir dari es yang keras. Dia tidak menoleh. Dia tidak menunggunya, dia hanya menoleransinya. Sopir membukakan pintu, dan Vanya masuk ke kursi belakang yang luas. Perjalanan pulang ke Sangkar Emas terasa seperti mengarungi samudra yang beku. Keheningan di antara mereka lebih berat daripada semua ancaman yang mereka terima dari para Kepala Cabang malam itu. Julian kembali mengenakan topeng ‘Ghost King’ yang sempurna, tidak ada celah, tidak ada emosi. Seolah-olah ciuman di lift itu hanyalah fantasi yang dibuat-buat oleh adrenalin. Vanya menatap pantulan kota yang melintas di jendela. Malam ini, ia tidak hanya mengotori tangannya, tapi juga telah merobek sesuatu yang penting dalam diri Julian, dan ia tidak yakin apakah itu adalah hal yang baik atau sangat buruk. ***** Setibanya di rumah, ritual kembali ke rutinitas. Mereka naik ke kamar tidur utama yang sangat luas tanpa bertukar kata. Vanya segera menuju kamar mandi marmer, melepaskan gaun sutra hitamnya. Setiap gerakan terasa berat. Berlian yang melingkari lehernya terasa mencekik. Ketika ia keluar, mengenakan jubah sutra, Julian sudah berada di tempat tidur. Tempat tidur itu adalah ranjang empat tiang yang besar, lebih seperti monumen daripada tempat peristirahatan, dikelilingi oleh tirai beludru yang tebal. Julian berbaring miring, membelakanginya, punggungnya yang lebar menjadi benteng tak tertembus. Ia tidak tidur. Dia membaca laporan di tabletnya, cahaya biru dingin memantul di punggungnya. "Aku tahu, dia tidak akan secepat itu untuk tidur,' batin Vanya. Vanya naik ke sisi ranjang yang dingin. Ia membaringkan dirinya, juga membelakanginya. Jarak di antara mereka di ranjang sebesar itu terasa lebih jauh daripada jarak antara Alistair Tower dan mansion ini. Julian menyibukkan diri dengan pekerjaan. Sebuah upaya jelas untuk kembali ke logika, untuk menolak kekacauan yang baru saja mereka ciptakan bersama. Vanya memejamkan mata, tetapi gambaran wajah Victor Kane yang memerah dan mata Julian yang liar saat menciumnya terus berputar. Dia tidak takut. Yang menakutkan adalah bagaimana ciuman itu membuatnya merasa hidup, merasakan kekuasaan yang terkandung dalam kekejaman itu. Setelah 15 menit keheningan yang menyesakkan, Vanya tidak tahan lagi. "Apakah ciuman itu bagian dari pertunjukan, Julian?” Vanya bertanya, suaranya pelan namun menusuk ke dalam keheningan. Julian tidak bergerak, pandangannya terpaku pada tablet. “Aku tidak melakukan pertunjukan di ruang pribadi, Vanya. Kecuali kau menganggap lift pribadi kita adalah panggung.” “Kalau begitu, apa itu?” Vanya mendesak. “Kau melanggar aturanmu sendiri. Kau menunjukkan kerentanan yang tidak seharusnya dimiliki oleh Raja Hantu. Apakah itu hukuman karena aku melanggar perintahmu, atau cara untuk menegaskan bahwa aku adalah milikmu di hadapan para Kepala Cabang?” Julian menghela napas panjang, gerakan kecil yang menunjukkan frustrasi yang besar. Ia mematikan tabletnya, dan kegelapan tiba-tiba menyelimuti ruangan, membuat keheningan semakin dalam. “Itu adalah peringatan,” jawab Julian, suaranya rendah dan serak. “Peringatan untukmu. Untuk Victor. Dan ya, peringatan untuk diriku sendiri.” Vanya membalikkan badannya sehingga ia menghadap punggung Julian, meski ia masih menjaga jarak fisik. “Peringatan apa, Julian? Bahwa aku mampu memprovokasimu hingga kau kehilangan kendali? Itu bukan peringatan, itu adalah peta kelemahanmu.” Julian membalikkan badannya dengan cepat, sehingga kini ia menghadap Vanya. Matanya gelap dan intens, mencari tahu apakah Vanya mengatakan itu untuk mengujinya atau karena ia benar-benar memahaminya. “Kau semakin pandai dalam permainan ini, Vanya,” desis Julian. "Kau tahu apa yang paling aku butuhkan? Ketertiban. Struktur. Dan kau, Nyonya Alistair, adalah kekacauan yang dibungkus dengan sutra. Kau memaksaku untuk bertindak di luar logika. Aku tidak mematahkan lengan Victor karena dia menghinamu, aku mematahkan struktur yang telah aku pertahankan selama bertahun-tahun.” “Dan struktur itu adalah tidak adanya emosi,” Vanya menyimpulkan, suaranya tenang, meskipun jantungnya berdebar. “Ciuman itu menunjukkan bahwa kau tidak lagi kebal. Aku adalah celah dalam baju zirahmu.” “Jangan sombong,” Julian memperingatkan. “Celah ini dapat dengan mudah ditutup. Dan jika aku menutupnya, kau akan berada di luar. Kembali menjadi aset yang dikunci, bukan mitra yang berjalan bebas.” “Kau tidak bisa menutupnya, Julian,” kata Vanya. Ia mengangkat tangannya dan menyentuh punggung tangan Julian yang tergeletak di atas selimut, sentuhan yang sangat hati-hati, sebuah tawaran perdamaian yang berbahaya. “Karena jika kau menutupnya, kau mengakui bahwa kau membutuhkan celah itu untuk bertahan hidup. Kau membutuhkan seseorang yang tidak hanya melihat Sangkar Emas, tetapi juga melihat Raja Hantu di dalamnya.” Julian menarik tangannya seolah tersengat listrik. Ia kembali membelakangi Vanya, kembali ke bentengnya. "Cukup,” perintahnya. “Kau sudah melewati batas malam ini. Kita berhasil. Victor Kane dipermalukan di depan rekan-rekannya, dan Dewan Internal tahu bahwa kau bukan lagi pion yang lemah. Tidurlah. Aku perlu fokus pada rencana yang lebih besar, rencana yang harus menjaga kita berdua tetap hidup.” Vanya membiarkan keheningan kembali. Dia tahu dia telah menang dalam pertarungan psikologis itu. Julian tidak bisa lagi menyangkal bahwa ada sesuatu yang hidup di antara mereka, sesuatu yang gelap dan menarik. Dia menutup matanya, mencoba tidur, tetapi ia tahu bahwa Julian juga tidak tidur. Energi tegang mereka memenuhi udara kamar. Mereka adalah dua predator yang berbaring di sarang yang sama, saling membelakangi, masing-masing menunggu gerakan yang salah dari yang lain. "Setelah kejadian tadi. Apa iya, aku masih bisa tertidur?' batin Vanya. Tiba-tiba, Julian bergerak. Bukan gerakan tidur, melainkan gerakan yang tajam dan waspada. Tabletnya kembali menyala. Vanya melihat pantulan cahaya di dinding di belakangnya. Itu bukan lagi laporan biasa. Julian telah menerima notifikasi enkripsi tingkat tinggi. Julian duduk tegak di tempat tidur, punggungnya ke Vanya, dan mulai mengetik dengan kecepatan gila. Vanya bisa merasakan otot-otot di punggungnya menegang. “Ada apa?” tanya Vanya, segera waspada. Julian tidak menjawab. Setelah beberapa detik, ia membalikkan tablet itu dan membantingnya ke meja samping. Julian berbalik, ekspresi di wajahnya kini bukan lagi marah, bukan lagi terkejut, melainkan perhitungan yang kejam dan mematikan. “Konsekuensi,” Julian berbisik, seolah-olah kata itu adalah kutukan. “Victor Kane tidak suka dipermalukan, Vanya. Dan Elias Thorne benci untuk menjadi korban pengkhianatan yang terbuka.” Vanya duduk tegak. “Mereka bertindak secepat ini?” “Mereka tidak akan membuang waktu. Jika mereka mencium kelemahan, mereka harus menyerang segera. Mereka tahu aku akan sibuk menutup celah, jadi mereka menyerang hal yang membuatku bertindak tidak rasional.” “Apa yang mereka lakukan?” tanya Vanya, merasakan ketakutan dingin menjalar di punggungnya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN