Ana merasa bahwa di hari pertama MPLS ini adalah hari yang sangat sial, dia sudah beberapa kali menahan malu dan saat ini, dia kembali menahan malu lagi bahkan lebih karena bagian baju belakangnya dilapisi koran bekas hanya karena seragam yang dikenakan Ana sudah lumayan pendek. Bagaimana Ana tidak kesal jika mau memakai seragam putih sekolah barunya saja tidak boleh, meskipun itu belum dipasang bet kelas. Padahal seragam SMP nya itu tidak terlalu pendek banget, lagian baginya sangat wajar jika seragam SMP nya sesak dan pendek karena dia merasa memiliki berat badan bertambah dan lagi pula itu seragam satu tahun yang lalu. Benar-benar ribet sih aturannya, sedangkan jika dia mau beli juga seperti orang boros saja. Ya memang sih seharusnya memiliki baju cadangan, tapi dia sedang tidak ingin boros karena biaya untuk masuk sekolah saja cukup banyak.
Ana memang berasal dari keluarga berada, tetapi bukan berarti dia terus mengandalkan harta dari kedua orang tuanya karena dia sadar bahwa kerja itu capek dan dia tidak ingin terlalu menjadi beban kedua orang tuanya. Menjadi anak tunggal memanglah sangat menyenangkan bagi Ana, tapi terkadang dia membayangkan masa tuanya yang tidak memiliki saudara kandung. Selain itu, secara tidak langsung maka tanggungannya itu cukup banyak dan berat. Memang sih keduanya orang tuanya itu selalu memanjakannya, tetapi Ana tidak pernah ngelunjak. Mau bagaimana pun keadaan keluarganya, dia tetap ingin menjadi orang yang mandiri agar nantinya tidak menjadi orang yang sering bergantung kepada orang lain, dengan kata lain, dia ingin menjadi orang yang mandiri. Oleh karena itu, dia juga ingin sekali merasakan bagaimana rasanya menjadi anak yang dianggap dewasa. Sebab, beberapa kali dia merasa kalau dirinya sangat terbatas karena seringkali diatur. Masuk akal sih karena orang tuanya tidak memiliki siapa-siapa lagi selain Ana. Namun, terkadang Ana diejek oleh teman-temannya karena dianggap sebagai anak manja. Pernah sekali dia merasa sangat kesal karena ada teman kelasnya yang setiap waktu berpapasan pasti saling mengejek, awalnya Ana sangat marah-marah kepada orang tuanya, sehingga orang tuanya pun memberikan alasan mengapa dirinya seringkali posesif kepada Ana. Semenjak itu lah Ana merasa kalau hidupnya sangat terwarnai dan dia sangat bersyukur memiliki orang tua yang sangat baik.
Kini Ana berjalan sambil menundukkan kepala karena saat ini dirinya kembali menjadi sorotan, yaitu pusat perhatian, baik itu peserta MPLS maupun kakak kelas dan baik itu perempuan maupun laki-laki. Ana juga tidak tahu mereka menatapnya karena ada sesuatu yang aneh dalam dirinya baik berupa hukuman yang diberikan atau paras wajah Ana karena selama ini, banyak orang baru yang memperhatikannya hanya karena soal paras wajah. Oleh karena itu, Ana seringkali merasa sedih ketika ada orang yang mau berteman dengannya hanya karena alasan pamor. Sebab, selama ini, Ana seringkali dikenal dari kalangan kakak kelas sampai adik kelas. Bagaimana orang-orang tidak ngefans maupun mengaguminya karena dia itu pintar dan bahkan seringkali masuk paralel dalam sekolah. Setiap persemester, pasti namanya dipanggil sebagai siswa berprestasi. Selain itu, paras wajahnya yang sangat cantik dan imut membuatnya semakin menjadi daya tarik orang-orang yang mengenalnya, ditambah lagi dengan good attitude. Selama ini, Ana tidak pernah sombong maupun pilih-pilih dalam pertemanan karena dia selalu menganggap bahwa semua orang itu sama. Selama temannya tidak menyakitinya maka dia masih tetap oke-oke saja.
"Lagi nyari uang, Dek?" Tanya salah satu anggota OSIS yang tidak Ana kenal, tapi dilihat dari name tag nya, dia bernama Yoga.
Ana pun mendongakkan kepala menatap Yoga, dia sedikit bergidik ngeri ketika melihat tatapan Yoga yang semakin aneh, rasanya seperti tatapan para buaya yang hanya mengandalkan tampang, gaya, dan bahkan janji palsu. Buaya-buaya itu sudah tidak asing lagi bagi Ana karena selama ini, banyak laki-laki yang mendekatinya hanya karena penasaran, lebih tepatnya hanya untuk main-main. Oleh karena itu, Ana tidak ingin terjerumus dalam hal tersebut. Dia juga masih ingat teman laki-lakinya yang selalu memberikan peringatan kepada dirinya untuk bisa menjaga diri karena jaman sekarang banyak sekali laki buaya yang hanya main-main saja, meskipun teman laki-lakinya tersebut termasuk buaya, sehingga Ana seringkali mencibir dengan kalimat buaya ngatain buaya. Rasanya seperti orang yang tidak ngaca saja. Oleh karena itu, Ana pun memasang wajah datar dan dia berusaha untuk bisa terlihat biasa saja agar tidak grogi.
"Nggak," jawab Ana singkat.
"Kalau nggak nyari uang yang hilang, kenapa malah menundukkan kepala? Kan sayang sama wajah cantik lo yang imut ini."
"Menundukkan kepala bukan berarti cari uang, tapi lebih menghargai senior daripada mendongakkan kepala hanya karena mau tebar pesona, bahkan terlihat sombong!" Ketus Ana lalu lewat di depan Yoga begitu saja.
Dari arah jauh, terlihat Dafa yang sedang mengamati Yoga dan Ana yang sedang ngobrol. Entah kenapa dia sangat merasa penasaran mengenai hal yang dibicarakan mereka. Jika mau bertanya kepada Yoga, rasanya aneh saja karena selama ini, dirinya itu sangat cuek dalam hal percintaan. Lagi pula dia juga masih tetap komitmen kepada kedua orang tuanya selama pendidikan karena tidak ingin mengecewakan mereka. Namun, jika hanya diam saja maka pikiran Dafa pun semakin berputar dan juga berpikir aneh. Dia tidak ingin kalau nanti ternyata dirinya tidak bisa untuk diajak kompromi. Oleh karena itu, Dafa memutuskan untuk masuk ke dalam aula untuk bisa menatap indahnya paras wajah Ana. Ketika melewati Yoga, dia sedikit merasa tidak suka karena Yoga adalah orang yang sangat menyebalkan dalam kamus hidup Dafa, meskipun apa yang dipendamnya mengenai Dafa tidak secara langsung untuk diungkapkan.
Dafa pun berdiri di ambang pintu dengan kedua tangannya dimasukkan ke dalam saku jas OSIS. Dia menatap beberapa peserta MPLS dari depan sampai belakang yang sudah cukup ramai. Tepat pada barisan terakhir, tatapan kedua matanya berhenti pada wajah Ana yang sedang minum air putih dengan botol berwarna pink.
"Cocok," gumam Dafa.
"Apanya yang cocok?!" Cletuk Gibran yang tiba-tiba sudah berdiri di sebelahnya.
Entah mengapa Dafa sangat kesal ketika ada orang yang membuyarkan pikirannya, meskipun itu hanya sebatas memandang wajah Ana yang tentunya tidak akan kemana-mana selama acara MPLS ini berlangsung. Dafa hanya menatap Gibran tajam tanda dia tidak suka. Selama dia merasa nyaman maka mood dia pun sedang sangat baik dan jika ada yang menghancurkannya maka dia sangat kesal dan bahkan ingin rasanya memarahi orang tersebut. Namun, Dafa sadar bahwa saat ini, dirinya bukanlah lagi orang yang suka semena-mena, apalagi dirinya adalah seorang ketua OSIS yang tentunya a memiliki etika yang harus dijaga karena dirinya adalah panutan. Dia selalu mementingkan hal tersebut karena jika nanti dia menegur seseorang maka dia pun tidak akan malu karena setidaknya dia sudah memberikan hal yang terbaik dahulu mengingat seseorang itu akan menilai orang yang memberikan nasihat terlebih dahulu dibandingkan apa yang diucapkannya.
"Apa?" Tanya Dafa agak kesal.
"Gue rasa, lo itu seperti sedang mengincar seseorang? Gue nggak tahu pasti sih antara lo suka atau memang sedang ingin memberikan hukuman kepada orang yang sedang lo perhatikan sejak tadi," tebak Gibran. Sebenarnya tebakannya itu benar, tapi Dafa itu sangat gengsi jika mengenai persoalan cinta karena selama ini, dia dianggap sebagai cowok cool dan juga most wanted di sekolah dengan segala prestasi, baik itu akademik maupun non-akademik. Siapa orangnya yang tidak suka dalam hal tersebut, apalagi ditambah paras wajah Dafa yang mampu memikat hati perempuan.
"Nggak kok, nggak usah sok tahu lo!" Ketus Dafa lalu kembali menatap ke arah peserta MPLS yang sedang sibuk dengan kegiatannya masing-masing, terutama ngobrol maupun kenalan. Dafa yakin itu karena beberapa anak ada yang mengulurkan tangan untuk bersalaman.
"Gue nggak sok tahu, tapi gue tahu kok apa yang sedang lo rasakan, perlu lo garis bawahi bahwa gue hanya sekedar tahu, nggak semuanya," kata Gibran lalu tersenyum sinis, bukan berarti dia benci kepada Dafa, hanya saja dia sedikit kesal dengan tingkah Dafa yang seringkali ditutupi oleh rasa gengsi, baik bersama orang dekat maupun orang jauh.
"Sama saja kali!"
"Nggak gitu juga konsepnya, kalau gue jadi lo, mending langsung pepet terus sampai dapat agar dia nggak bisa kemana-mana. Tengok tuh, banyak cowok yang sedang memperhatikan dia," jelas Gibran sambil mengangkat dagunya sebagai petunjuk hal yang dimaksud. Kelihatan sombongnya soh, tapi dengan cara itulah agar mereka berdua tidak dicurigai oleh orang lain.
"Gue nggak ngerti lo ngomong apa."
"Jangan pura-pura nggak tahu, Daf, gue ini teman lama lo. Lagian lo itu sebenarnya normal nggak sih? Sejak dulu nggak punya selera perempuan."
Dafa menatap Gibran tajam. "Ini bukan persoalan selera perempuan, kita ini dalam masa pendidikan dan perlu lo ketahui kalau gue ini masih normal."
"Susah kalau ngomong sama batu, kalau lo nggak mau, mending buat gue saja deh," ujar Gibran seperti orang yang tidak memiliki salah. Dia pun cengengesan dan wajahnya itu terlihat sangat menyebalkan. Jika tidak ingat image, maka kemungkinan besar Dafa sudah menampar wajah Gibran. Namun, lagi-lagi tindakan Dafa terbatasi karena adanya status, terutama dirinya adalah seorang pemimpin, di mana secara tidak langsung maka dirinya adalah panutan.
"Tolong ya berhenti jadi buaya, gue enek mendengar kata-kata busuk lo itu yang selalu tanpa bukti," pinta Dafa.
"Gini nih kalau matanya sudah rusak, gue yang sebagai orang gini dianggap buaya."
"Percuma ngomong sama orang yang nggak punya malu!"
Satu hal mengenai pertemanan mereka, Dafa seringkali berkata ketus dengan makna kalimat yang cukup mendalam dan bahkan menyakitkan. Untung saja Gibran sudah terbiasa dengan kalimat tajam Dafa. Andai kalau tidak, maka kemungkinan besar dia akan sering sakit hati. Kalau cuma sakit hati saja sih tidak masalah, tapi kalau hal itu dibiarkan secara terus menerus maka kemungkinan akan ada penyakit dalam akibat seringkali merasa kesal. Selain itu, ucapan Dafa itu bagaikan angin lalu saja bagi Gibran.
Setelah itu, Dafa meninggalkan Gibran begitu saja. Namun, lagi-lagi ada saja hal yang membuatnya kesal karena ada seseorang yang tidak sengaja menabraknya dari belakang. Dia menghembuskan napas kasar dengan kedua tangannya mengepal lalu membalikkan badan. Terkejut, saat ini yang Dafa rasakan campur aduk, antara senang dan kesal. Rupanya orang tersebut adalah Ana, dia masih jongkok sambil membersihkan lutut lalu kedua telapak tangannya.
"Sorry ya, aku nggak sengaja," kata Ana lalu mendongakkan kepala. Nampak kedua matanya membulat sempurna karena dia sangat terkejut mengetahui siapa orang yang ada di depannya. Dia mengerutkan kedua alisnya sambil sedikit membuang muka. Dia merasa bahwa lingkungan sekolah nya sempit karena sejak tadi ada saja masalah dengan Dafa.
"Kenapa?" Tanya Dafa. Tatapannya itu sangat dingin dan hak itu membuat Ana sedikit ketakutan, tapi lebih tepatnya dirinya lebih didominasi oleh rasa grogi. Padahal sih awalnya dia memiliki prinsip tidak ada yang perlu ditakuti selama masih sama-sama makan nasi.
"Hah?" Seketika Ana seperti orang bodoh.
"Lututnya aman?"
"Oh, aman kok," jawab Ana lalu berdiri tepat di depan Dafa. Tinggi mereka berdua bagai anak tangga karena tinggi badan Ana hanya sebahu Dafa.
"Bagus."
"Hm, Kak, aku boleh--" belum sempat menyelesaikan ucapannya, Dafa malah pergi begitu saja. Ana pun mendelik kesal menatap punggung d**a yang semakin menjauh. "Dasar ketua OSIS kampret!"