"Lo nggak apa-apa?" Tanya Yoga yang tiba-tiba berdiri di belakang Ana.
Ana pun membalikkan badan. "Nggak apa-apa, aman."
"Sabar ya, dia orangnya memang nyebelin," kata Yoga.
Selain hari tersial, Ana juga merasa bahwa hari ini hari yang begitu membingungkan. Baik ketua OSIS maupun anggota OSIS sama saja dalam hal pendekatan. Dia tidak tahu mereka hanya sekedar ingin modus saja atau memang benar-benar menyukai maupun mendekati Ana sebagai teman. Saat ini, Ana tidak tahu harus berbuat apa selain menjalaninya saja selagi tidak bisa merugikan dirinya sendiri. Masalahnya Ana belum siap masuk dalam dunia percintaan karena resikonya itu bukan persoalan yang mudah.
Cinta itu memang mudah untuk diungkapkan, tapi tidak mudah untuk dijalankan. Banyak sekali tantangan dan rintangan yang harus dilewati mengenai cinta. Jika hati tidak kuat saja bisa menyebabkan sakit hati. Sekali dua kali sih masih tidak apa-apa dan juga tidak masalah, tapi kalau sakit hati berkali-kali maka apa jadinya nanti badan. Terlalu banyak pikiran maupun overthinking sama halnya melelahkan karena yang jarang orang sadari itu bahwa berpikir itu membutuhkan tenaga. Bahkan yang tidak kuat saja bisa stress atau bahkan sampai depresi.
Mencintai itu hal yang perlu bukti bukan hanya sekedar ucapan saja, terutama janji-janji yang telah diucapkan itu harus ditepati bukan malah diingkari. Selain itu, berada di zona nyaman membuat seseorang malas untuk melakukan sesuatu karena terlalu sering mengandalkan pasangan. Banyak di luar sana orang-orang yang terlalu bergantung hingga berakhir sakit hati. Padahal setiap orang itu pasti bisa melakukan suatu hal jika benar-benar niat. Oleh karena itu, Ana lebih suka menikmati kesehariannya dengan hal-hal yang bisa membuat dirinya merasakan nyaman dan tidak terikat peraturan karena pacaran itu hanya membuat seseorang terbatasi.
Kejadian pada hari ini cukup membuat Ana merasa kesal dan aneh. Dia pun menghela napas dan sedikit memejamkan mata lalu membukanya kembali. Tangan kanannya berkacak pinggang dengan arah pandangan mata menuju ke depan.
"Jangan modus, Yog, kerjakan sesuai dengan tugas lo, bukan malah seperti ini!" Cletuk Gibran.
Ana tidak tahu lagi harus berbuat apa karena sekarang ada anggota OSIS yang mendekatinya lagi, lebih tepatnya karena sebuah kesalahan. Entah kenapa saat ini Ana ingin memiliki kekuatan menghilangkan diri agar tidak menanggung rasa malu yang terlalu berlebihan. Jika hal ini dibiarkan secara terus menerus maka dia tidak tahu lagi harus berkata apa selain sabar dalam menghadapi tingkah anggota OSIS yang menurutnya aneh, khususnya 3 orang yang sudah bersangkutan dengan dirinya pada pagi ini. Padahal, Ana sendiri memiliki cita-cita sejak sebelum kegiatan ini, dia ingin melakukan dengan lancar tanpa ada hal yang membuat dirinya sedikit merasa bersalah, apalagi jika sampai pada pusat perhatian maupun menjadi sorotan, khususnya bagi anggota OSIS wanita dan seluruh peserta MPLS. Mengingat masih 3 hari lagi dalam acara ini, Ana akan terus berusaha untuk menjadi orang yang terlihat biasa saja tanpa seperti ada sesuatu yang membuatnya tertekan.
"Bilang saja kalau lo iri sama gue," kata Yoga yang tidak mau kalah.
Gibran pun tersenyum sinis, tepatnya seperti orang yang meremehkan orang lain. "Ngapain gue iri sih kalau cewek di sini masih banyak banget. Buka mata lo dan lihat lah keadaan sekitar sini!"
"Kalau cewek di sini banyak, kenapa lo masih saja jomblo? Apa karena penampilan lo yang cupu ini?" Tanya Yoga.
"Gue jomblo karena gue menghargai perasaan orang lain, khususnya cewek, apalagi gue dilahirkan dari rahim seorang wanita, lo mikir nggak sih?!"
"Sudah deh, Bran, jangan sok suci gitu. Bilang saja nggak ada yang mau sama lo karena lo itu orangnya agak nyebelin dan juga ketinggalan jaman. Nah, sedangkan gue banyak tuh cewek yang tergila-gila sama gue."
Lagi-lagi Gibran tersenyum sinis. "Bukan mereka yang tergila-gila sama lo, tapi lo yang tergila-gila sama mereka. Bagaimana nggak gila kalau satu perempuan saja nggak cukup."
"Atas dasar apa lo--"
"Permisi, Kak, saya harus pergi dulu!" Tukas Ana yang sudah tidak tahan lagi mendengar dan melihat perdebatan di antara mereka. Nampak mereka berdua yang diam dan hanya melihat punggung Ana yang semakin menjauh. Ana tidak peduli apa kata mereka nanti karena yang terpenting dirinya busa terbebas dari orang-orang yang menurutnya aneh.
Saat ini, tujuannya adalah kamar mandi karena dia sudah tidak tahan lagi. Dia berjalan cepat agar cepat sampai tujuan. Namun, pada saat ini, dia belum sama sekali menemukan tanda-tanda adanya kamar mandi. Tiba-tiba dia melihat seorang perempuan yang berdiri di depan kelas. Tatapannya itu kosong dan wajahnya pucat, sekilas dia berpikir mungkin karena perempuan tersebut sedang sakit. Satu hal lagi yang ganjal, yaitu ketika perempuan tersebut berdiri sendirian di depan kelas. Namun, rasa curiga itu Ana buang saja digantikan dengan pikiran mungkin masih terlalu pagi. Oleh karena itu, Ana pun berjalan mendekati perempuan tersebut.
"Permisi, Kak! Bolehkah saya bertanya?"
Perempuan tersebut hanya menganggukkan kepala saja tanpa sedikitpun mengubah ekspresi wajah dan juga mengeluarkan suara. Aneh dan entah kenapa tiba-tiba bulu kuduk Ana meremang. Namun, masalahnya hal ini masih pagi dan tentunya tidak wajar jika ada hantu yang menyamar menjadi manusia, khususnya sebagai siswa. Hal ini tentu saja membuat Ana menjadi berpikir ulang. Bukan berarti Ana terus mencurigai, tapi hanya saja dia juga harus waspada agar tidak terjadi kesalahan yang fatal.
"Toilet di mana ya, Kak?" Tanya Ana. Perempuan itu menunjuk ke arah sebuah lorong di sebelah kanan. "Terima kasih, Kak."
Ana pun mempercepat langkah kakinya dan dia hampir saja tersungkur di tanah karena tidak sengaja tersandung kerikil kecil yang tentunya itu karena Ana terlalu tergesa-gesa. Semakin lama dia menahan BAK, maka semakin lama pula dia merasakan pegal pada bagian pinggang. Entah kenapa semakin mendekati lorong yang dimaksud perempuan tadi maka semakin merinding pula dirinya. Namun, rasa merinding tersebut menjadi tidak begitu terasa ketika Ana berpikir dan juga tidak kuat menahannya. Oleh karena itu, Ana malah semakin mempercepat langkah kakinya.
"Hey!" Teriak seseorang dari belakang dan nampaknya orang tersebut berlari mendekatinya karena Ana dapat mendengar jelas bagaimana suara langkah kakinya yang keras dan cepat.
Mau tidak mau maka Ana harus berhenti melangkahkan kaki dan dia pun membalikkan badan untuk mengetahui orang tersebut. Betapa terkejutnya dia ketika mengetahui bahwa yang memanggilnya adalah Dafa. Dia tidak menyangka kalau lagi-lagi akan berurusan dengan Dafa, padahal harapannya itu sejak tadi ingin terbebas dari ketua OSIS laki-laki, khususnya mereka yang terkenal dan menjadi idola di sekolah karena Ana tidak ingin menjadi pusat perhatian bagi ketua OSIS perempuan. Ana pun mengerutkan kedua alisnya karena dia tidak tahan menahan rasa sakit tersebut.
"Lo mau kemana?" Tanya Dafa.
"Aku mau ke toilet, Kak, karena sudah nggak kuat banget ini. Sudah ya, Aku permisi dulu."
"Ana, bukan di situ toiletnya!" Teriak Dafa.
Untuk kedua kalinya Ana berhenti melangkahkan kaki karena Dafa. Dia pun membalikkan badan kembali. "Terus di mana? Kata Kakak kelas di sana!"
"Di sana toiletnya rusak dan bahkan nggak ada siswa yang berani ke sana," kata Dafa. Entah kenapa dia juga tidak tahu mengapa dirinya bisa begitu perhatian kepada Ana, padahal sebelumnya dia terlalu masa bodo jika bersama perempuan. Bukan hanya soal kecantikan Ana saja, melainkan Dafa juga sedikit merasakan nyaman saja, meskipun dia tidak begitu mengenalinya. Dia pun melangkahkan kaki mendekati Ana lalu menggandeng tangan Ana.
Langkah Ana awalnya sedikit terseret-seret karena dia masih saja terkejut atas perlakukan Dafa dan juga kakak kelas perempuan tadi yang menunjukkan arah menuju ke toilet. Rasanya ini seperti mimpi yang tidak mungkin terjadi, tapi ketika Ana sedikit mencari keberadaan kakak kelas tadi sudah tidak ada. Bukan hanya hari sial saja menurutnya, tapi juga termasuk hari terhoror karena masih pagi sudah disuguhkan hal aneh dan sedikit misterius. Namun, Ana tidak berani menceritakan hal tersebut kepada Dafa dan dia juga tidak ada niatan untuk menceritakan hal tersebut kepada teman-teman barunya. Sebelum menyebar kabar horor seperti ini, maka Ana harus mencari tahu dulu asal mulanya kejadian ini sebelum dianggap sebagai kabar hoax, terutama bagi orang yang tidak mempercayai hal-hal ghaib.
Tak lama kemudian, langkah mereka berhenti di sebuah ruangan kecil yang bertuliskan toilet perempuan. Dafa melepaskan genggaman tangan Ana dan saat ini, mereka berdua saling bertatapan. Dafa pun tersenyum sejenak dan menurut Ana, hal itu cukup membuat wajahnya semakin terlihat tampan.
"Toilet di sini, bukan di tempat tadi," jelas Dafa.
"Iya, Kak, terima kasih ya."
"Gue mau ke aula dulu ya karena gue harus membuka acara, jam nya sudah mepet."
"Iya, Kak, sekali lagi terima kasih ya."
"Sama-sama," jawab Dafa lalu sedikit mengacak rambut Ana. Ini merupakan hal aneh lagi, padahal tingkah Dafa sejak tadi sangat cuek. Pikiran Ana simpel sih karena dia menganggap bahwa kemungkinan besar Dafa malu bersikap hangat di depan banyak orang.
Saat ini, Ana tidak ingin membuang banyak waktu karena saat ini, dia harus cepat-cepat masuk ke dalam agar pinggangnya tidak semakin sakit. Awal langkah kakinya masuk ke dalam, dia sedikit merasakan hal aneh di bagian punggungnya, tetapi Ana masih tetap bisa bersikap tenang. Pesan orang tuanya terus Ana ingat bahwa dirinya harus bisa melawan keadaan yang cukup horor maupun misterius agar dirinya tidak semakin diganggu, terutama dirinya harus tetap berbuat tenang.
Setelah selesai BAK, Ana segera membuka pintu kamar mandi dan lagi-lagi dia dibuat terkejut karena tepat di depannya ada kakak kelas tadi yang mengarahkan dirinya menuju ke toilet. Ana pergi begitu saja tanpa menyapanya, lagian menurut Ana akan terlihat biasa saja mengingat sikapnya yang begitu dingin. Dia pun berhenti di depan wastafel untuk mencuci tangannya.
Tiba-tiba sebuah pikiran terlintas dalam pikirannya, dia benar-benar merasa bingung terhadap tingkah kakak kelas tersebut. Sambil mencuci tangannya, dia pun berpikir keras dan mengingat kejadian tadi untuk di sangkut pautkan dengan setiap kejadian yang ada. Oleh karena itu, pikiran Ana pun terus bekerja memikirkan hal tersebut.
"Kalau dia menunjukkan aku ke sebuah toilet, terus kenapa dia malah ke sini? Terus tadi dia kemana karena tiba-tiba hilang dan muncul kembali. Oh iya, wajah dia itu agak aneh saja," gumam Ana.
Ceklek!
Pintu kamar mandi terbuka kembali, perempuan tadi pun berjalan santai dan dia mendekati Ana, tepatnya berada di wastafel sebelah Ana berdiri. Perempuan tersebut juga melakukan hal yang sama seperti yang Ana lakukan. Dia masih saja diam dalam melakukan kegiatan tersebut karena tatapannya itu malah terfokus pada air. Rasanya kehadiran Ana seperti tidak dianggap perempuan tersebut, padahal menyapa itu kan bukan hal yang mudah.
"Hiks," suara tangis perempuan tersebut.
Ana pun terkejut dengan kedua alisnya yang mengerut. Dia pun bertanya, "Kakak kenapa?"
"Hiks." Bukannya menjawab, perempuan itu malah semakin tambah menangis, dia malah menundukkan kepala dan membiarkan air keran terus mengalir. Tentu saja hal itu semakin membuat Ana khawatir, apalagi dia itu termasuk perempuan yang tidak kuat ketika melihat orang lain menangis.
"Kenapa Kakak menangis? Cerita sama aku, siapa tahu aku bisa membantumu," ujar Ana.
Perempuan tersebut malah menunjukkan lidahnya yang terpotong dan hal itu membuat Ana mematung. Kini kedua mata Ana mendelik karena ketakutan ketika melihat tiba-tiba lidahnya perempuan tersebut mengeluarkan darah. Kedua kaki Ana lemas dan tiba-tiba pandangannya gelap.