"Kenapa kalian di sini?" Tanya Yoga cukup terkejut dan tanpa sengaja tatapannya menuju ke arah perempuan yang terbaring di atas ranjang. "Loh, Ana kenapa?"
Satu pertanyaan belum dijawab, dia malah bertanya lagi. Apalagi Ana itu telah masuk ke dalam kehidupannya tanpa diminta dan meskipun kali pertama bertemu di pagi ini. Yoga belum banyak tahu mengenai Ana, tetapi sejak tadi dia itu mendengar beberapa peserta MPLS banyak yang membicarakannya, khususnya barisan laki-laki dan Yoga juga bisa melihat name tag yang dipakai Ana. Saat ini, ada sedikit rasa kesal ketika mengetahui hanya dua orang saja yang berada di dalam UKS untuk menemani Ana, tetapi dia lebih kesal ketika ada Dafa yang merupakan ketua OSIS mengingat tadi melihat Dafa terburu-buru meninggalkan aula dan malah Gibran lah yang menggantikan posisinya tersebut. Menurut Yoga, hal ini sangatlah tidak menguntungkan bagi dirinya, apalagi bahwa ini menyangkut dengan tugas dan tanggung jawab.
"Kita di sini sedang menangani Ana yang pingsan," jawab Diandra tegas. Tatapannya itu benar-benar tajam, bahkan lebih tajam daripada Dafa. Awalnya Yoga juga sedikit merasa merinding, tetapi dia berusaha untuk tenang agar terlihat biasa saja. Saat ini pun dia diam dan memikirkan bagaimana caranya menjadi orang yang bisa disegani oleh orang-orang lainnya. Namun, dari sorot matanya tidak dapat dipungkiri bahwa dia sedikit merasa cemburu dengan apa yang dimiliki oleh Dafa, baik segi jabatan maupun hal lainnya karena selama ini, dia selalu berada di bawah Dafa. Bahkan soal idola pun lebih banyak yang mengidolakan Dafa daripada dirinya. Mereka sudah berteman sejak lama, tetapi tidak pernah akur, lebih tepatnya karena sebuah rasa iri.
Bahkan Diandra pun tahu apa arti dari sorot mata Yoga mengingat bahwa dirinya adalah anak indigo. Oleh karena itu, dia memutuskan untuk menatapnya tajam agar sedikit memberikan aura tidak suka ada rasa kebencian di antara teman-temannya. Bahkan saat ini pun tatapan Diandra sejak tadi tidak dikedipkan dan hal itu memang disengaja karena entah kenapa ketika menatap orang yang suka iri, kedua matanya itu sulit untuk dipejamkan, kecuali jika Diandra mencoba untuk masa bodoh.
Sejak dulu, Diandra tidak pernah memikirkan orang-orang yang membencinya atau bahkan dia juga tidak mau ikut campur urusan orang lain jika tidak menimbulkan hal yang berbahaya. Bahkan cibiran aneh dari orang-orang itu tidak dia pedulikan, terutama jika dirinya dianggap sebagai orang gila karena mereka menganggap bahwa ucapan Diandra itu seringkali seperti orang yang ngelantur. Memang sih dia itu seringkali kesepian, apalagi jika sedang kesal seperti ini maka dia lebih baik memutuskan untuk sendiri saja, soal jika ingin jajan di kantin maka dia keluar dari kelas seperlunya saja. Selama pertama kali masuk di SMA Garuda, dia tidak pernah satu kali pun duduk di bangku kantin sambil menikmati makanan yang telah dibelinya. Beberapa orang juga menganggap bahwa Diandra itu kurang pergaulan, sehingga tingkahnya itu cukup aneh dan misterius.
"Kenapa nggak bilang sama petugas yang bersangkutan? Di sekolah ini kan ada organisasi yang mengurus masalah seperti ini, bahkan mereka yang lebih wajib."
"Jangan pakai satu patokan, lagian kalau ada yang dekat kenapa harus pilih yang jauh. Lagian ini tuh keadaan darurat," ujar Diandra.
Yoga menghela napas, lalu berkata, "Gue tahu ini darurat dan tentunya kalian lah orang yang kali pertama menolong Ana karena hanya ada kalian, tapi kan setidaknya kalian bisa langsung menghubungi PMR di aula."
"Kenapa lo nggak tanya kita sampai di sini sejak kapan?" Tanya Dafa cukup menohok hati.
Sebenarnya kesal, tapi jika pertanyaan Dafa sudah seperti itu, maka Yoga merasa sangat tertampar dengan ini semua. Pertanyaannya itu langsung masuk akal dan begitu jelas untuk dimengerti. Padahal Sebelumnya Yoga merasa bahwa Dafa dan Diandra itu salah besar, tetapi gara-gara Dafa bertanya maka kondisinya terbalik bahwa Yoga sendiri yang merasa bersalah karena secara tidak langsung dianggap berburuk sangka. Dia pun bungkam dengan segala hal yang ada dipikirannya. Selain itu, dia itu sejak tadi juga menahan kesal karena melihat respon Ana yang terlalu cuek kepada dirinya, tetapi tidak untuk Dafa.
Bisa dikatakan bahwa setiap hari itu manusia seringkali menentukan keputusan baik itu pasti maupun memilih karena selama ini, hidup ini seringkali berhubungan dengan keinginan untuk mencapai sesuatu atau bisa disebut sebagai tujuan. Mustahil kalau orang tidak memiliki tujuan karena setiap orang itu pasti memiliki hak untuk memenuhi keinginannya. Namun, jangan salah sangka karena di dunia ini bukan hanya sekedar hak saja, melainkan harus ada kewajiban terlebih dahulu yang harus dipenuhi.
Suasana kali ini cukup menegangkan, padahal hari masih pagi. Diam dalam segala pertanyaan yang tidak bisa terjawab itu sama hal nya seperti terdiam dalam segala bentuk ketakutan. Mereka bertiga sama-sama diam dan saling menatap tajam. Jika dilihat sih aneh, ditambah lagi suasana di dalam ruang UKS sedikit horor mengingat dulu ada siswa SMA Garuda yang meninggal dunia secara misterius. Oleh karena itu, mereka bertiga agak heran saja mengenai kejadian ini. Hanya Diandra yang paham hal ini, tetapi ucapannya itu sulit untuk dipercaya oleh orang lain.
Hawa dingin pun menusuk ke leher mereka, sehingga reflek tangan mereka mengusap pada bagian leher karena sedikit ketakutan. Mereka saling menatap lalu mengendikkan bahu, kecuali Diandra. Tatapan dia malah menyapu isi ruang UKS seakan tahu ada sesuatu yang aneh. Dalam hal seperti ini, rasanya ada sesuatu yang cukup sulit untuk dikatakan, tetapi dari gerak-gerik tubuh tidak bisa untuk ditutupi. Seakan ini semua seperti ada sesuatu yang harus diselesaikan, tetapi Dafa dan Yoga tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Bahkan Diandra pun sedikit kesulitan dalam mencari informasi seakan penglihatannya seperti ada yang menutupi.
"Ada apa, Di?" Tanya Dafa karena sangat penasaran.
"Gue merasa kalau ada yang aneh saja, tetapi gue nggak tahu apa itu."
"Uhuk-uhuk!" Suara batuk dari mulut Ana membuat mereka langsung menatap Ana. Mereka baru tahu kalau ada seseorang yang sadar setelah pingsan malah terbatuk-batuk, tepatnya seperti orang yang baru saja tenggelam di dalam air.
Bukannya keadaan Ana semakin membaik, Ana malah melebarkan kedua matanya dengan kornea mata yang terlihat tajam dan sedikit ketakutan. Setelah itu, tubuh Ana bergerak ke kanan dan ke kiri sedikit menggeliat karena kemungkinan besar takut terhadap apa yang menimpa dirinya. Tiba-tiba kepala Diandra pun pusing, tepatnya setelah dia merasakan ada sesuatu yang menusuk kedua matanya. Dia memejamkan mata sejenak lalu membuka kembali kedua matanya. Betapa terkejutnya dia ketika melihat ada seorang perempuan memakai seragam OSIS berambut panjang yang sedang menindih tubuh dengan kedua tangannya mencekik leher Ana.
Diandra pun sangat panik karena dia takut kalau nanti Ana bisa sampai kehabisan napas karena kesulitan mengambil napas dan juga merasakan sakitnya cekikan tersebut. Melihat hal tersebut yang semakin menjadi-jadi membuat Diandra tidak bisa tinggal diam karena ini menyangkut nyawa seseorang. Jika tidak seperti itu, maka kemungkinan besar Ana bisa tewas. Akhirnya Diandra pun menarik paksa kerah baju makhluk ghaib tersebut. Jika dilihat di dunia nyata pun terlihat aneh karena tangan Diandra kosong tidak menarik apa-apa, tetapi hal itu lain dalam pandangan mata Diandra.
Awalnya Dafa dan Yoga akan memarahi Diandra yang sedang bertingkah aneh, tetapi mereka berdua tidak menyangka kalau ternyata kelakuan Diandra yang sedikit aneh itu justru malah berubah seperti keajaiban. Kini Ana bisa kembali bernapas seperti biasanya dengan kondisi raut wajah yang sudah kembali normal. Ana pun menatap ke kanan dan ke kiri secara bergantian. Lalu tatapannya berhenti kepada Diandra yang sedang melawan makhluk ghaib terus. Sebenarnya Ana juga takut kalau nanti makhluk ghaib tersebut mengikutinya secara terus menerus. Namun, dia tetap berusaha untuk memberikan diri, meskipun sebenarnya dia juga takut.
"Argh!" Pekik Diandra. Napas dia tersenggal-senggal seperti orang yang lari memutari lapangan berkali-kali. Ana pun langsung bangkit dari tidurnya lalu bersandar di tembok sebelah ranjang karena posisi ranjang tepat berada di samping tembok. Dafa dan Yoga berjalan mundur untuk menghindari hal tersebut.
Keringat Diandra benar-benar bercucuran dan bahkan Ana juga tidak percaya kalau hal misterius ini terjadi pada pagi hari, khususnya terjadi pada diri Ana. Padahal Ana berharap kalau acara ini akan berjalan sebagaimana mestinya, bukan malah tidak jelas dan cukup bahaya seperti ini. Diandra pun mendongakkan kepala menatap satu persatu temannya dan yang terakhir adalah Ana.
"Apakah lo nggak apa-apa, Ana?" Tanya Diandra mendekati Ana.
Ana menggelengkan kepala. "Aku nggak apa-apa kok."
"Jangan bohong, Na. Bilang saja kalau lo merasa ada yang aneh, apalagi terjadi langsung dari dalam diri lo."
"Aku nggak tahu, Kak, aku nggak tahu kalau ternyata hal ini bisa terjadi pada diriku. Intinya lagi-lagi kakak kelas yang memakai seragam putih abu-abu sejak tadi seperti ora selalu menguntit ku dan bahkan tadi saja dia malah mencekik leherku."
"Kakak kelas?" Tanya Dafa dan Yoga secara bersamaan. Mereka berdua saling menatap lalu mengendikkan bahu.
Ketika nama kakak kelas di sebut, leher mereka seperti ada yang menggelitiki. Tepatnya dalam bentuk hembusan napas yang menusuk pada leher mereka berdua. Mereka berdua sangat merinding , tetapi berusaha untuk tenang agar keadaan tidak semakin menegangkan.
"Iya Kakak kelas yang tadi pagi ngasih aku alamat kamar mandi yang rusak."
"Itu kamar mandi yang dulu tempat dia meninggal di sini. Lo itu bisa membedakan hantu dan manusia nggak, Na? Gue rasa lo itu terlalu polos untuk membedakan hal tersebut. Aneh banget," ujar Diandra sedikit mengerutkan keningnya karena merasa aneh.
"Aku nggak tahu, tapi yang jelas tingkah dia sangat aneh."
"Itulah sebabnya lo itu pingsan karena dia merasa terancam adanya diri lo yang bisa melihat keadaan dia. Sebenarnya kalau diri lo tetap diam saja sih tidak masalah, pura-pura baik-baik saja, seakan semuanya seperti tidak ada yang ditutupi."
"Kalau seperti ini, apa yang harus aku lakukan, Kak?" Tanya Ana sedikit ketakutan. Dia tidak takut dengan bentuk maupun fisik kakak kelas yang menjadi hantu tersebut, tetapi yang dia takutkan itu tingkahnya. Tidak kebayang saja, kali pertama masuk di SMA, hampir saja nyawanya melayang karena dicekik. Untung saja ada Dafa dan dua temannya. Ana sangat bersyukur ketika ada dua orang tersebut, terutama kehadiran Diandra yang bisa dikatakan sebagai pahlawan. Oleh karena itu, hati Ana pun cukup tenang.
Satu hal aneh yang Ana rasakan pada akhir-akhir ini, yaitu kedua matanya terbuka diperlihatkan hal-hal ghaib, padahal awalnya tidak unsur sengaja, hanya saja setelah sakit dan menjalani opname, semuanya menjadi aneh. Bahkan setiap kali berkunjung di tempat baru, maka Ana harus bersikap hati-hati agar tidak terjadi hal aneh. Namun, untuk kali ini, Ana benar-benar tidak bisa mengendalikan sikapnya karena tadi itu dia kebelet menahan BAK.
Ana pun mengernyitkan kedua alisnya karena tidak dari jawaban dari Diandra dan kedua temannya cukup membuatnya bingung. Terutama jika nanti suatu saat dirinya bertemu lagi dengan kakak kelas yang akan mencelakainya. Bukan hanya persoalan seperti hal tersebut, hanya saja mereka itu juga membingungkan nasib siswa baru yang lainnya.
"Kenapa diam, Kak?" Tanya Ana.
"Gue nggak tahu, Na, karena yang jelas dia tidak terima atas segala sesuatu yang diri lo lakukan," jawab Diandra dengan tatapan kosong.