"Nggak terima bagaimana sih, Kak?" Tanya Ana sedikit kecewa. Lalu dia pun berkata, "Sejak tadi aku tidak mengusik mereka dan juga tidak ikut campur urusan mereka."
"Karena kamu bisa melihat dia Ana," jawab Diandra.
"Masalahnya aku juga nggak tahu kenapa diriku bisa melihat dia, padahal aku bukan anak indigo, maka aku pun nggak bisa melihat dunia ghaib. Gue heran banget dengan kejadian ini semua."
"Lo yang sabar, Na, gue juga nggak tahu pasti kenapa ini bisa terjadi pada diri lo. Harapan gue sih cukup sampai di sini saja."
"Na, apakah lo baik-baik saja?" Tanya Yoga membuat Ana menatapnya. Dia pun terkejut melihat di sampingnya ternyata adalah Dafa dan Yoga. Dia tidak menyangka kalau ternyata mereka juga ikut berperan dalam menolong dirinya, padahal mereka itu sibuk dengan urusannya dalam mengurus acara MPLS ini.
Tidak kebayang saja kalau sejak tadi Dafa menyebalkan dan juga membuat dirinya malu, tetapi di balik itu semua ternyata dia begitu baik hati. Sungguh hatinya berbunga-bunga melihat kenyataan ini. Dia sangat bersyukur karena hidupnya masih dikelilingi orang-orang baik. Bukan karena Ana tidak sanggup dengan ini semua. Hanya saja Ana itu masih tidak menyangka saja. Mendapat perhatian dari orang famous di sekolahnya merupakan idaman setiap orang, khususnya bagi para perempuan mengingat bahwa tadi pagi banyak yang kagum kepada mereka berdua.
Ana juga baru menyadari bahwa perempuan yang telah menolongnya tadi merupakan kakak kelas. Di sini, hanya dirinya saja yang menjadi adik kelas. Ternyata mereka itu baik hati dan juga tidak sombong. Dia pun sadar bahwa di sekolahnya ini tidak ada senorita. Tanpa sadar bibir Ana tercetak sebuah senyuman tipis.
"Kenapa senyum-senyum seperti itu, Na?" Tanya Diandra heran. Dia hanya takut kalau akan terjadi hal aneh lagi.
"Ah, nggak apa-apa kok, Kak, aku hanya senang bisa bertemu orang baik seperti kalian. Terima kasih ya," jawab Ana.
"Hm, gue kira lo itu kesurupan. Pesan gue sih lebih hati-hati lagi biar nggak seperti tadi lagi."
"Siap, Kak."
"Panggil gue Kak Diandra!" Pinta Diandra mengulurkan tangan kanannya. Dia terlalu percaya diri untuk memintanya panggilan dengan imbuhan sebagai kakak. Ya memang sih itu benar, tetapi hal itu terlalu percaya diri dan kesan yang didapatkan pun cukup aneh.
Ana menerima uluran tangan tersebut. "Iya, aku juga sudah tahu nama Kak Diandra."
"Hebat ya, ternyata lo itu ada bibit indigo juga," kata Diandra sambil cengengesan.
Pletak!
Yoga menjitak kepala Diandra cukup keras dan hal tersebut yang membuat Diandra mengadu kesakitan. Tangan kanan Diandra pun menggosok naik turun pada bagian kepala yang dijitak Yoga. Tatapannya itu sangat tajam dengan bibirnya yang mengerucut menahan kesal. Dia pun menghelas napas kasar dengan sedikit menggeser posisi berdirinya.
"Kasar banget sih jadi cowok!" Ketus Diandra.
"Daripada sinting macam diri lo! Mikir nggak sih kalau Ana itu tahu nama lo dari name tag," ujar Yoga terlihat santai. Tatapannya itu seperti orang yang tidak memiliki kesalahan.
Diandra memutar bola matanya malas. "Jadi orang lurusan banget, kaku, nggak bisa diajak bercanda, huft!"
"Jadi orang ngambekan banget, huft," ucap Yoga tidak mau mengalah, meskipun pada kenyataannya dia memang salah. Namanya juga cowok gengsi yang tidak mau mengakui kesalahannya, sudah tidak heran lagi bagi Diandra. Jiwa buaya dalam diri Yoga juga sudah mendarah daging, sehingga kelakuan dan ucapannya itu sulit dimengerti dan dipercaya oleh orang lain, termasuk Diandra yang sejak dulu menjadi musuh bebuyutan Yoga. Di mana ada Yoga dan Diandra, maka di situlah ada keributan, bahkan dari beberapa siswa SMA Garuda pun mengetahui hal tersebut.
"Kalian ini kalau ketemu bisa akur sedikit nggak sih?" Tanya Dafa sedikit kesal karena jengah melihat pertengkaran mereka berdua.
"Nggak, gue nggak bisa banget!" Jawab mereka berdua bersamaan. Mereka pun saling menatap kemudian melemparkan tatapan kesal. Ya memang sih awalnya tidak sengaja berbicara bersamaan, akan tetapi mereka terlihat kompak dan seperti ada feeling untuk bisa bersama. Namun, jika dilihat secara logika agak aneh saja, terutama Diandra yang terlihat begitu sangat membenci Yoga. Bukan benci dalam artian dendam, hanya saja dia benci terhadap perilaku Yoga yang suka mempermainkan perasaan cewek. Sebagai seorang cewek tentunya Diandra tidak menerima hal tersebut, meskipun dia yang tidak mengalami hal tersebut, tetapi rasa iba itu tentu ada dalam diri seseorang. Hal itu lah yang menjadikan alasan seseorang sulit menerima kenyataan. Dari hal tersebut lah dapat dipahami bahwa menghargai seseorang itu memang perlu dan setiap kejadian itu pasti memiliki hikmah tersendiri.
"Kalau kalian nggak bisa ya silahkan keluar, jangan di sini yang hanya mengganggu waktu istirahat orang lain. Hargai Ana sedikit gitu!"
"Aku sudah nggak apa-apa kok, Kak," kata Ana. Dia hanya tidak ingin terjadi keributan di depannya.
"Nggak apa-apa bagaimana? Buktinya saja tadi lo pingsan!" Ketus Dafa karena dia tahu bahwa Ana sedang pura-pura baik-baik saja. Padahal pura-pura baik-baik saja itu suatu hal yang tidak mudah. Bisa dibilang menyakitkan, tetapi mau bagaimana lagi jika hal tersebut sangatlah mepet.
"Aku pingsan karena--"
"Karena apa?!" Tukas Dafa sudah tidak sabar mendapatkan jawaban dari Ana.
"Santai dong nggak usah ngegas gitu!" Ketus Yoga tidak terima melihat Ana sedikit dibentak. Itulah anggapan Yoga, lagi pula Ana adalah salah satu perempuan yang menjadi incaran Yoga untuk kesekian kalinya. Dia sudah tidak dapat menghitung seberapa banyak perempuan yang sudah menjadi korbannya. Hanya Ana saja yang agak sulit untuk ditaklukan karena yang sebelumnya itu mudah semua dan bahkan tanpa Yoga mengejar pun mereka datang dengan sendirinya, sedangkan Yoga hanya bermodalkan satu kali saja, yang paling penting adalah mendapatkan nomor w******p, sehingga lewat chat lah dia bisa lebih leluasa untuk mendekati perempuan yang sudah menjadi incaran maupun target.
Bagi Yoga, hidup dengan satu perempuan itu sangatlah membosankan. Namun, dia juga tidak tahu pasti bahwa dirinya akan seperti ini sampai kapan. Tidak ada yang tahu bagaimana rasanya disakiti oleh seseorang. Bisa dikatakan bahwa Yoga itu sedikit menyimpan dendam karena dia dulu pernah disakiti oleh perempuan, akan tetapi dia salah memberikan pelampiasan. Pada akhirnya pun perempuan yang tidak tahu apa-apa malah terkena imbasnya. Cukup menyakitkan, tetapi itulah pada kenyataannya. Mungkin dia terlalu mendalami rasa sakit tersebut. Wajar sih karena namanya juga orang kecewa. Jika tidak seperti itu, maka akhirnya pun akan sedikit sulit untuk dimengerti.
"Nggak usah ikut campur lo!" Sentak Dafa membuat Yoga bungkam. Memang mereka berdua juga tidak ada kecocokan, tetapi jika Dafa sudah mengeluarkan kata kasarnya maka Yoga pun akan bungkam. Bisa dikatakan bahwa dia sedikit takut kepada Dafa. Entahlah apa yang membuatnya bisa ketakutan seperti itu, padahal dengan siapa pun Yoga itu berani. Bahkan dia seringkali membuat guru kesal, tapi perlu diingat bahwa dia itu termasuk golongan siswa berprestasi, hanya saja tidak memiliki akhlak. Apa pun itu permasalahan dengan Dafa maka Yoga tidak pernah sejalan dengan pikiran Dafa, malah kalau sudah seperti ini, rasanya ingin sekali bertengkar. Namun, Yoga sadar bahwa sekolah bukan tempat untuk berantem, melainkan tempat untuk menuntut ilmu.
"Gue nggak tahu lagi apa yang ada di dalam pikiran lo," ujar Dafa lalu tersenyum kecut dengan tatapan sorot matanya yang terlihat tajam. Bukan hanya sekali maupun dua kali saja, melainkan beberapa kali. Hal ini tidak bisa dibiarkan begitu saja karena Dafa juga bisa sedikit merasakan ketika berada di posisi perempuan yang selalu disakiti oleh Yoga. Itu lah mengapa sebabnya Dafa tidak suka terhadap tingkah Yoga. Apalagi teringat bahwa semua orang itu terlahir dari rahim seorang ibu. Jika dengan orang tua saja tidak bisa mengharapkan, bagaimana dengan menghargai para wanita.
Dafa pun menghela napas lalu sedikit menggelengkan kepala karena sudah tidak sabar atas apa yang dilakukannya. Dia pun sadar bahwa semarah apa pun dirinya akan tetap tidak ternilai, apalagi marahnya dengan orang yang tidak punya malu, seperti halnya Yoga. Di mata Yoga akan terlihat benar, meskipun hal tersebut salah.
Ada kalanya seseorang itu merasa lelah dan capek atas apa yang menimpa dirinya. Dendam maupun pelampiasan bukan akhir dari segalanya, tetapi hal itu lah yang membuat permasalahan semakin bertambah karena tidak pernah merasa puas. Jika bisa memilih dan mengendalikan keadaan maka setiap orang tidak akan pernah dendam. Hanya saja terkadang ada sebuah keputusan yang tidak bisa diambil bulat. Semua hal ini butuh fakta agar apa pun yang dibicarakan bisa dapat dipercaya.
Perlu diingat bahwa kepercayaan itu mahal, meskipun tidak ternilai dengan nominal uang. Tanpa adanya sebuah kepercayaan maka sebuah hubungan pun akan seringkali ribut terhadap hal-hal yang kecil. Bahkan bisa jadi kesalahnpahaman yang bisa sampai berakibat fatal. Sampai detik ini pun Dafa bingung terhadap semua tingkah dan keadaannya jika dirinya sudah membandingkan dengan orang yang tidak disukainya. Baik itu laki-laki maupun perempuan karena Dafa itu orangnya tidak pernah memandang ilmu maupun fisik.
"Gue heran, kenapa kalian yang malah ribut gitu, berisik tahu nggak?!" Sentak Diandra.
"Gue yang ribut lo yang sewot," Sindir Yoga.
"Gue sewot karena gue pusing lihatnya."
"Kalian sadar nggak sih kalau kalian itu sama aja. Harusnya kalian mikir, bagaimana dengan kondisi Ana yang baru saja bangun dari pingsan," ujar Dafa membuat mereka berdua bungkam.
Deg!
Jantung Ana langsung berdebar, dia tidak menyangka kalau ternyata Dafa begitu memperhatikan. Rasanya dia ingin terbang melayang, tidak ada laki-laki yang bisa membuat dirinya sampai baper dan terbawa suasana. Tanpa sadar kini bibir Ana pun tercetak sebuah senyuman manis. Di mana senyuman tersebut adalah senyuman sebagai rasa bangga diperhatikan oleh seorang ketua OSIS. Dia tidak menyangka kalau ternyata Dafa tidak sedingin apa yang dirinya pikirkan. Dia terlalu berburuk sangka terhadap perilaku Dafa. Ada sedikit rasa menyesal sih, tapi mau bagaimana lagi karena itulah yang membuat diri Ana merasakan betapa berharga dirinya di mata seorang ketua OSIS yang menjadi idaman beberapa siswa baru. Tanpa sadar pun Ana tersenyum tipis. Untung saja mereka tidak mengetahui bahwa Ana baru saja tersenyum. Jika mereka tahu, maka kemungkinan besar mereka akan menyudutkan dirinya atau bahkan kabar tersebut akan segera menyebar. Ana tidak ingin membuat heboh warga sekolah mengingat dirinya sudah lelah menjadi pusat perhatian semasa SMP dulu.
Masih mending kalau hanya pusat perhatian saja, ada beberapa orang yang tidak menyukainya dan hal itu secara tidak langsung bisa berakibat seperti bullying. Dia tidak tahu lagi harus berbuat apa pada waktu itu dan yang jelas dia lelah diperlakukan kasar oleh beberapa orang yang tidak menyukainya. Untung saja dia bisa melawan, sehingga kekerasan fisik itu jarang dia rasakan. Lagi pula orang tuanya tidak pernah mempermasalahkan hal tersebut selagi bukan Ana yang memulai. Bisa dikatakan bahwa temannya itu banyak yang iri kepada dirinya.
"Sorry, Na," ucap Diandra merasa bersalah.
"Ah, nggak apa-apa kok, Kak," jawab Ana tulus.
Dafa merasa kalau hati Ana bagai malaikat. Entah dorongan dari mana yang membuatnya berpikir seperti itu, padahal dia baru saja mengenal Ana. Hanya dengan kejadian ini saja cukup membuat Dafa sedikit percaya.
"Na, kalau lo masih pusing lebih baik tidur di UKS saja," saran Dafa.
"Tapi, Kak--"
"Utamakan kesehatanmu, Na," tukas Dafa lalu meninggalkan ruang UKS.