Part 9

1757 Kata
Baru saja bahagia, sekarang malah agak kecewa. Rasanya seperti terbangun lalu langsung dijatuhkan. Ana tidak tahu lagi kenapa Dafa begitu mudah untuk membolak-balikan hatinya. Namun, Ana juga sadar diri bahwa dirinya tidak boleh semudah ini menaruh kepercayaan kepada orang lain mengingat bahwa dirinya juga pernah dimanfaatkan oleh orang lain. Jaman sekarang banyak orang yang memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan. Oleh sebab itu, Ana pun langsung sadar dengan kepahitan lingkungan sekitarnya, terlalu banyak orang baik yang hanya di depan saja, sedangkan di belakang hanya bisa menusuk dengan segala ucapannya. Bisa dikatakan seperti orang munafik. Cukup sekali saja Ana mengalami hal tersebut karena nyeseknya itu sampai sekarang dan bahkan benar-benar di memorinya. Kapan pun itu bisa muncul secara tiba-tiba di otaknya, sedangkan dia sudah benar-benar berusaha untuk melupakan hal tersebut. Rasanya seperti noda yang membandel.  Ana pun menghela napas, tadi ekspektasi tentang Dafa terlalu tinggi dan dia juga terlalu berharap mendapat respon sesuai dengan imajinasi yang dirinya dapatkan dari hasil membaca novel. Ya, tepatnya dia berharap akan seperti yang ada di cerita fiksi di novel. Namun, saat ini pun dia sadar bahwa kehidupan yang sebenarnya tidak seindah dengan apa yang ada di novel. Mau bagaimana lagi jika hal itu hanya khayalan semata yang mustahil ataupun hanya memiliki kemungkinan kecil untuk terwujud. "Lo kenapa, Na?" Tanya Yoga sedikit merasakan perubahan dalam diri Ana. Namanya juga laki-laki dan apalagi dia itu kan juga masuk dalam golongan buaya. Jadi, kadar kepekaan dia itu bisa dikatakan sangatlah oke dibandingkan dengan Dafa yang memang sejak dahulu cuek terhadap perempuan.  "Ah, nggak apa-apa kok, Kak," jawab mencoba untuk meyakinkan. Jika dirinya tidak bisa menyakinkan Yoga maka akan kemungkinan besar bahwa dirinya akan terus dicurigai, lagian Ana juga pernah memiliki teman yang sikap dan sifatnya hampir mirip dengan Yoga. Ana tidak membencinya, hanya saja dia kurang setuju dan agak sedikit tidak suka ketika mengetahui dan mengamati perilaku Yoga yang suka menyakiti hati perempuan, baik secara langsung maupun tidak langsung. Kini Diandra hanya mengernyitkan kedua alisnya, dia tidak begitu tahu atas apa yang terjadi kepada dirinya. Hanya tatapan matanya yang mengisyaratkan bahwa dirinya cukup penasaran dengan arah pembicaraan Ana dan Yoga. Namun, dia tidak memperlihatkan bahwa dirinya sedang merasa penasaran karena takut dibilang kepo maupun ingin ikut campur urusan orang lain. Tentu saja Diandra merasa gengsi, kesannya seperti ada harapan yang belum tersampaikan, sehingga apa pun akan dilakukan demi tercapainya keinginan tersebut. "Yakin nggak apa-apa?" Tanya Yoga mencoba untuk memantapkan jawaban. "Enggak Kak, seharusnya yang perlu Kakak tanyakan itu Kak Diandra, dia malah yang masih ngelamun," jawab Ana.  Yoga mendongakkan kepala menatap Diandra, ternyata benar apa yang dikatakan Ana. Rupanya sekarang Diandra sedang melamun dengan tatapan kosong. Ada sedikit rasa merinding sih karena tatapan Diandra itu memang tajam dan jika diam malah tambah terlihat tajam. Yoga mengibaskan tangan kanannya di depan wajah Diandra, akan tetapi Diandra masih tidak berkedip. Melihat hal itu cukup membuat Ana ketakutan akan terjadi hal yang sama seperti tadi. Ana takut kalau ruh kakak kelasnya yang meninggal tersebut akan terus mengikuti dirinya. Apalagi dengan melihat kondisi Diandra yang tiba-tiba meninggalkan beberapa pertanyaan yang entah bagaimana jawabannya. Ana pun sedikit menggeser posisi duduknya agar tidak mengusik ketenangan Diandra. Tiba-tiba angin dingin pun masuk memberikan kesan sedikit geli di bagian leher Ana, lebih tepatnya seperti ada orang yang memang senagaja meniup bagian leher tersebut. Tangan Ana mengusap bagian leher tersebut dengan tatapan mata yang tak luput dari sorot mata Diandra. Tidak hanya itu saja, di dalam hati Ana juga membaca do'a apa saja yang dirinya bisa untuk menghindari hal-hal yang membuatnya terpuruk seperti tadi. Cukup sekali saja dirinya pingsan di awal masuk sekolah karena kembali lagi permasalahannya bahwa dia tidak ingin menjadi daya tarik maupun pusat perhatian orang-orang. Sebab, jika Ana menjadi sorotan warga sekolah barunya maka nanti ada yang suka maupun tidak suka, meskipun Ana tidak pernah mengusik orang tersebut. Bahkan terkadang ada juga orang yang memang berani nyinyir, entah itu laki-laki maupun perempuan. Kalau suka nyinyir maka tetap saja suka nyinyir. Tanpa nyiyir, hidup pun terasa hampa, bagai makan tanpa dibumbui. "Di, jangan ngelamun gitu dong!" Tegur Yoga yang juga ikut merasakan merinding. Diandra pun menatap Yoga tajam dan hal itu cukup membuat Yoga terkejut. Rupanya Diandra itu lebih menyeramkan dari apa yang dipikirkannya. Semenjak itu, Yoga sedikit menundukkan kepala karena tidak berani menatap sorot mata tajam milik Diandra. "Kenapa?" Tanya Diandra bingung melihat tingkah Ana dan Yoga yang sama-sama aneh. Akhirnya mereka berdua pun bisa menghela napas lega, rupanya Diandra masih terlihat baik-baik saja. Satu hal yang mereka takutkan itu jika nanti ternyata Diandra kesurupan atau melihat hal-hal aneh. Berteman dengan orang indigo lumayan senang sih karena nanti ada sedikit rasa penasaran dalam dirinya, tapi ya seperti ini jika sudah diam maka pikiran pun ikut bertamasya. "Enggak!" Jawab Ana dan Yoga bersamaan. Mereka berdua pun saling menatap lalu mengendikkan bahu.  Satu hal baik tentang mereka, yaitu mereka langsung akrab, meskipun baru mengenalnya dalam waktu yang sangat singkat. Bersyukur saja sih karena memiliki jiwa interaksi sosial yang cukup mudah. Tidak biasanya juga Ana bersikap seperti ini, biasanya dia lebih suka hal-hal yang sendirian. Bisa dikatakan cukup sedih sih, tapi mau bagaimana lagi jika hal itu terjadi kepada dirinya. Cukup sekali dua kali sih tidak masalah, tapi kalau berkali-kali entah bagaimana nanti dengan nasibnya. Namun, harapan Ana sih dirinya bisa memposisikan diri, sehingga bisa mengikuti hal-hal yang bisa membuat dirinya bahagia bukan tekanan batin seperti yang sudah sering terjadi terhadap dirinya. "Aneh banget sih kalian," ujar Diandra. "Aneh bagaimana?" Tanya Yoga. "Ya aneh saja karena kalian terlihat gugup." "Bagaimana kita nggak gugup, Kak, kalau lihat wajah Kakak saja datar banget dan nggak berkedip pula. Kita kan jadi takut kalau ternyata ada sesuatu yang datang ke sini atau malah--" "Cukup! Jangan mengungkit hal itu lagi," pinta Diandra. Salah satu alasan tersebut karena Diandra tidak ingin melihat kalau nanti akan terjadi hal aneh lagi. Cukup sekali tadi saja. "Baiklah, Kak." "Yog, kalau lo mau masuk ke aula sana silahkan, biar gue yang jaga Ana." "Kenapa gitu? Gue mau di sini saja, lagian di sana sudah banyak orang yang bertugas," kata Yoga. "Lo itu nggak ada sedikitpun rasa tanggung jawab ya, percuma kalau lo jadi anggota OSIS. Oh, gue tahu, pasti lo ikut OSIS hanya untuk tebar pesona saja kan?" Tebak Diandra dengan jari telunjuknya yang menuding di depan wajah Yoga. Dia cukup menyebalkan, sehingga membuat Diandra gemas ingin memukulnya. Namun, Diandra masih bisa sabar dalam menghadapi hal tersebut.  "Bodoamat, itu kan urusan gue, kenapa lo yang ribet gitu?"  "Gue nggak ribet kok, gue cuma heran saja melihat kelakuan lo yang menyebalkan itu." "Oke, gue akan kembali ke aula, tapi ingat bukan berarti gue mau melaksanakan tugas, hanya saja gue nggak mau kalau di sini melihat wajah lo yang menyebalkan itu. Sekarang gue pergi," pamit Yoga langsung meninggalkan ruang UKS. Satu hal alasan tersebut, yaitu Yoga hanya ingin mengetes bagaimana reaksi Ana saja. Gengsi lah kalau nanti dianggap akan modus kepada Ana saja. Oleh karena itu, Yoga juga ingin merasakan diperhatikan oleh Ana, meskipun dalam bentuk penasaran saja. "Bagus, kembali saja sana! Gue juga malas melihat wajah lo yang menyebalkan itu!" Teriak Diandra cukup menggelegar. Yoga hanya tetap berjalan tanpa sedikitpun membalikkan badan. Namun, jari tengahnya di acungkan ke atas sebagai bentuk ancaman dan juga balasan. Andai saja Yoga memberikan tanda tersebut dengan cara membalikan badan juga, maka Diandra tidak segan-segan untuk memberikan balasan dengan acungan jari tengah. Rasanya cukup kesal sih, akan tetapi mau bagiamana lagi jika hal itu terjadi kepada dirinya karena hanya mimpi saja untuk membalasnya sekarang. Mungkin lain waktu bisa, entah itu nanti pada saat jam istirahat, waktu pulang, atau bahkan besok. Ana pun tersenyum getir melihat tingkah mereka berdua. Rasanya aneh saja karena sejak awal pertemuan, Ana meraskan ada sesuatu yang aneh. Dia tidak begitu tahu kebenarannya, tapi setidaknya dia sedikit merasakan hal tersebut. Masalah benar atau salah itu dia abaikan begitu saja karena tidak ada habisnya ketika membahas hal tersebut.  "Kenapa senyum-senyum seperti itu, Na?" Tanya Diandra. Deg! Lagi-lagi jantung Ana berhasil dibuat Diandra bergetar. Dia pun sedikit merasakan malu ketika dirinya ketahuan sedang tersenyum. Lebih tepatnya karena dirinya itu cukup sulit untuk mengetahui hal tersebut. Dia tidak tahu pasti mengapa dirinya bisa reflek memberikan respon tersebut. Akan tetapi, dia juga sadar bahwa dirinya harus hati-hati dalam menghadapi keadaan tersebut yang cukup sulit untuk diartikan. Bisa dikatakan bahwa dirinya itu bukan hal yang mudah maupun sulit untuk dimengerti. "Lo itu kenapa sih, Na?" "Aku nggak apa-apa kok, Kak. Aku hanya bersyukur saja dipertemukan orang baik seperti Kak Diandra, Dafa, dan juga Yoga. Ya meskipun Kak Yoga yang sedikit modus dan juga Kak Dafa yang sedikit menyebalkan. Namun, aku tahu kok bahwa hal itu adalah bentuk dari rasa nyaman mereka dalam melakukan suatu hal karena semua hal itu tidak bisa untuk disamakan." "Syukur deh kalau seperti itu. Oh iya, pesan gue sih jangan sampai lo itu ngelamun karena kalau ngelamun bisa terjadi hal fatal seperti tadi, atau bahkan bisa lebih."  "Fatal bagaimana, Kak?" "Nggak usah dibahas, Na, ntar lo itu malah takut, gue nggak ingin buat jiwa lo terganggu hanya karena hal sepele seperti ini." "Tapi Kak Diandra sudah buat aku jadi penasaran, harusnya Kak Diandra tanggung jawab ngasih tahu dong, bukan malah di tengah-tengah seperti ini." "Gue benar-benar nggak mau bahas dulu, Na, karena waktunya tidak pas. Sekarang gini saja deh, apakah lo itu masih ada keturunan dari orang Jawa?" "Iya, gue masih ada keturunan orang Jawa, lebih tepatnya nenek dan kakek gue orang Jawa." "Nah, nanti lo bisa tanya tentang hal yang terjadi kepada diri lo saat ini. Gue tahu kalau orang Jawa itu masih kental akan mitos. Banyak sekali mitos yang beredar tentang hal-hal ghaib." "Masalahnya aku sedikit nggak percaya, Kak. Menurut aku nggak masuk akal saja, masa iya makan duduk di depan pintu saja nanti lamarannya nggak bisa masuk. Padahal tetangga ada yang gitu, tapi masih tetap mendapatkan lamaran. Nah, yang hal seperti itu saja nggak masuk akal, apalagi tentang hal ghaib, pasti lebih nggak masuk akal. Aku sangat yakin itu, meskipun aku keturunan orang Jawa." "Itu masih satu hal yang nggak masuk akal. Namanya juga mitos, pasti ya sulit untuk dipercaya, tapi nggak ada salahnya kan kalau lo itu tanya sama mereka. Hm, atau lo bisa gunakan sebagai cerita fiksi saja biar kesannya bahwa diri lo itu nggak ada sedikitpun niat buat percaya akan hal itu." "Masuk akal sih, tapi aku masih agak ragu saja, Kak." "Ragu kenapa lagi?" Tanya Diandra bingung.  "Aku bingung kalau nanti aku di suruh pindah sekolah hanya karena kakak kelas yang katanya mati itu." Gubrak! "Jangan sebut dia, Ana!" Sentak Diandra sambil menutup kedua telinganya. Wajahnya pun memerah dan keadaan sedikit kembali genting. 
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN