Part 10

1729 Kata
"Memangnya kenapa, Kak?" Tanya Ana cukup panik melihat tingkah Diandra yang seperti sedang menahan rasa sakit. Dia tidak tahu harus berbuat apa agar dirinya tidak juga ikut panik, akan tetapi keadaan genting seperti ini membuatnya sedikit ketakutan. Takut jika nanti terjadi hal buruk kepada dirinya. Cukup tahu saja panik, apalagi mencari tahu lebih dalam lagi. Ada kemungkinan bahwa Ana akan ketakutan. Kini Diandra semakin menutup kencang kedua telinganya. Rasanya ingin meledak akibat suara jeritan yang begitu nyaring di kedua telinganya. Dia memejamkan mata untuk menahan rasa sakit tersebut. Tidak ada yang tahu dan paham bagaimana rasa sakit tersebut, sehingga jika dilihat cukup aneh. Suara yang membuat telinganya sakit tersebut seperti suara jeritan perempuan yang sedang dalam bahaya. Diandra sangat yakin bahwa suara tersebut dihasilkan dari suara di perempuan yang meninggal tersebut.  Bulu kuduk Diandra juga mulai meremang. Kali ini dia benar-benar takut untuk mengetahui hal tersebut. Namun, di sisi lain dia juga sangat penasaran mengenai hal ini yang terjadi. Bukan hanya soal penasaran saja, melainkan dia juga ingin mengetahui ada pesan apa di balik kejadian ini. Satu hal yang dia takutkan itu jika terjadi hal-hal aneh, seperti hal nya terjadi hal buruk yang menimpa secara tiba-tiba. Oleh karena itu, Diandra pun sedikit waspada karena dia takut jika apa yang dipikirkannya itu terjadi secara nyata. "Kak! Kakak nggak apa-apa?" Tanya Ana cukup mengejutkan Diandra. Lagi-lagi dia terkejut karena terlalu banyak hal yang membuatnya bingung, meskipun masih dalam permasalahan yang sama.  Di lain sisi, Ana benar-benar ketakutan, tetapi dia berusaha memberanikan diri untuk mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi dan hal itu tentunya butuh mental yang kuat dengan cara mendekati Diandra. Lagi pula mana mungkin Ana membiarkan Diandra yang sedang menahan sakit. Mau bagaimana pun keadaan Diandra maka Ana akan tetap menolongnya mengingat tadi saja dirinya ditolong. Bisa dikatakan sebagai balas budi atas kebaikan yang telah Diandra lakukan. Perlu diingat bahwa di kehidupan ini adalah timbal balik, di mana setiap perbuatan itu pasti ada balasannya. Batin Ana semakin merasakan firasat aneh dan pikirannya pun mengajaknya untuk bertamasya tanpa memiliki tujuan, seperti hal nya Ana yang tidak apa-apa mengenai kejadian ini. Tangan Ana meraih kedua tangan Diandra agar berhenti menutup telinganya. Bukannya terlepas, Diandra malah semakin erat untuk menutupi kedua telinganya. "Singkirkan tangan lo, Ana!" Pinta Diandra agak keras. Reflek Ana melepaskan tarikan tangannya karena dia sangat terkejut. Ana merasa bahwa Diandra menyentaknya, akan tetapi dia berusaha untuk bisa berpikir positif demi menghindari hal-hal yang tidak diinginkannya, seperti hal nya timbul kesalahpahaman. Oke, kali ini Ana memilih untuk mengalah saja. Lagi pula Ana juga tidak begitu mengenal Diandra, sehingga dia juga takut kalau nanti tidak sengaja menyinggung perasaannya. Biasalah karena kesalahan itu bisa disengaja maupun tidak disengaja, baik itu kesalahan biasa maupun kesalahan fatal.  "M-maaf, Kak," ucap Ana terbata-bata. Diandra masih tetap fokus terhadap dirinya sendiri, sedikitpun tidak menggubris ucapan Ana karena dia benar-benar sedang merasakan sakit di bagian telinga. Satu hal yang Diandra takutkan itu mengenai gendang telinga yang bisa pecah, bahaya banget dan dia tidak ingin tuli. Masa iya cantik-cantik tuli dan Diandra tidak ingin menanggung resiko tersebut. Mulut Diandra komat-kamit seperti orang orang mengobrol sendiri. Ana tidak tahu pasti bahwa itu mantra maupun do'a. Kedua mata Diandra pun terpejam dengan genggaman tangan di telinga masih erat. Di dalam hati Ana membaca do'a sebisa mungkin yang dirinya tahu karena dia juga takut kalau nanti malah apa yang terjadi pada diri Diandra terjadi juga pada dirinya. "Kya!" Jerit Diandra menggelegar dan membuat Ana terkejut. *** "Oke, bagaimana dengan sarapan pagi ini?" Tanya Dafa dengan wajah ramah. Tidak biasanya dia memasang wajah seperti itu, teman-teman seangkatannya pun ikut heran melihat tingkah Dafa yang cukup aneh. Bukannya mereka bangga dan bahagia tidak melihat wajah dingin Dafa, melainkan dia malah heran dan malah curiga. Terutama Gibran dan Yoga.  Kalau Gibran sih ikut senyum-senyum sendiri karena dia tahu bagaimana karakter Dafa yang sesungguhnya, meskipun Dafa selalu dianggap sebagai orang yang paling menyebalkan dan juga keras kepala. Namanya juga teman dekat, beda lagi penilaiannya dengan orang lain yang hanya sebatas teman biasa saja. Tanpa sadar pun Gibran ikut tersenyum melihat kebahagiaan Dafa karena ini merupakan hal yang jarang dilakukannya. Di lain sisi, Yoga malah kesal melihat tingkah Dafa, pikirannya pun langsung tertuju kepada Ana. Dia benar-benar cemburu dan merasa ada pesaing. Selain itu, dia juga sadar bahwa dirinya itu tidak sebanding dengan Dafa yang menjadi idaman warga sekolah. Terkadang saja Yoga berandai-andai jika menjadi diri Dafa, dia memiliki niat untuk bisa memiliki wanita mana saja yang dirinya mau. Sayangnya itu mustahil karena dia sadar bahwa dirinya tetaplah dirinya, sedangkan Dafa tetaplah Dafa. Yoga pun menghela napas sambil memutar kedua bola matanya dengan kedua tangannya yang dimasukkan ke dalam saku jas. Wajahnya memang terlihat biasa saja, tetapi batinnya ingin sekali mengumpat Dafa dengan ucapan-ucapan kasar. "Kenapa? Pasti iri ya, oh atau cemburu? Mana ada yang bisa menyaingi pesona Dafa," sindir seseorang yang berada di belakang Yoga.  Yoga pun membalikkan badan dan dia benar-benar terkejut melihat siapa orang tersebut, dia adalah Gibran. Belum juga bisa menghilangkan rasa kesalnya kepada Dafa dan sekarang malah ada teman dekat Dafa. Tanpa diberitahu pun Yoga sudah tahu maksud dan tujuan Gibran. Bukan musuh, akan tetapi mereka seringkali ribut terhadap hal-hal yang tidak sepantasnya untuk diributkan. Yoga seringkali menganggap bahwa Gibran adalah bentuk perwakilan dari Dafa karena selama ini Dafa jarang sekali berurusan dengan Yoga. Alasannya sih karena buang-buang waktu saja. Lagi pula Dafa itu seringkali menghindari hal-hal yang memicu keributan. "Kenapa? Mau sewot?" Tanya Gibran memasang wajah menyebalkan, lebih tepatnya seperti orang yang mengejek. "Lo bisa nggak sih nggak usah ikut campur urusan gue?" Tanya Yoga. "Enggak karena gue nggak ada kerjaan kalau nggak bikin lo kesal. Mayan lah proses." "Proses?" "Iya, proses penuaan dini buat diri lo, hahahaha," jawab Gibran polos. Bugh! Tanpa basa-basi lagi Yoga langsung menonjok perut Gibran. Sebenarnya Gibran tidak terima sih dan dia ingin sekali membalas perbuatan Yoga. Namun, Gibran sadar bahwa posisinya sekarang sedang berada di sekolah dan dirinya adalah anggota OSIS yang statusnya saat ini menjadi contoh peserta MPLS atau bisa disebut sebagai adik kelas. Dia pun memasang wajah menyebalkan dengan tujuan untuk membuat Yoga semakin kesal.  Benar, kedua tangan Yoga masih saja mengepal dan napasnya tersengal-senggal. Gibran yakin bahwa saat ini, Yoga sedang mati-matian menahan amarah. Mungkin jika sekarang posisinya sedang tidak dalam acara MPLS, mereka berdua sudah akan berkelahi. Lagi pula Yoga itu mudah terpancing emosi jika ada hal yang tidak disukainya. Sebuah senyuman menyebalkan pun tercetak di bibir Gibran. Dia ingin tertawa terbahak-bahak, tetapi masih ingat posisinya, sehingga dia pun berusaha untuk menahannya. Sekali dua kali sih tidak masalah, tetapi jika terus-menerus akan menjadi persoalan baru, yaitu pada diri Yoga. Kali ini Gibran yang berusaha untuk menahan senyum, dia tahu betul bagaimana karakter Yoga jika sudah tidak bisa menahan emosi. Bisa dikatakan sedikit bahaya sih, tetapi mau bagaimana lagi jika sudah seperti ini. Bau-bau bibit bahaya pun sudah tercium dalam diri Gibran. Oleh karena itu, dia juga perlu waspada agar tidak terkena pukulan lagi.  Mau seberapa kuat pun dirinya, yang namanya pukulan itu tetaplah pukulan yang cukup menyakitkan. Namanya juga manusia yang tidak bisa sekuat baja. Sekali tonjok pasti sakit, hanya saja nanti kembali kepada yang namanya kesabaran. Mau sesakit apa pun jika bisa bersabar maka rasa sakit pun tersamarkan.  "Kenapa?!" Ketus Yoga sedikit melebarkan kedua matanya. Bisa dikatakan sedikit melotot. "Ah, nggak apa-apa," jawab Gibran terlihat biasa saja.  "Gue kira minta ditonjok lagi." Gibran pun tersenyum tipis. "Gue kira malah lo ingin panas lagi lihat peserta MPLS yang dekat sama Dafa. Gue merasa mereka berdua cocok banget deh." Yoga memejamkan kedua matanya berusaha untuk sabar dan mengingat bahwa saat ini dirinya sedang berada di depan aula. Kalau mau ngajak ribut maupun berbuat rusuh maka nanti yang ada dirinya seperti mempermalukan dirinya sendiri. Intinya dalam menghadapi hal seperti ini itu haruslah sabar. Oleh karena itu, Yoga pun hanya nyengir seperti tidak ada masalah yang menyangkut dirinya. "Cengar-cengir seperti orang gila. Ampun deh gue nggak mau dekat-dekat sama yang namanya orang gila," ujar Gibran.  "Siapa yang gila?"  Bukannya menjawab, Gibran malah balik bertanya, "Menurut lo?"  "Heran deh gue sama lo. Kok ada ya sekolah yang mau menerima murid maupun siswa yang gaya nya macam lo ini, cupu banget asli. Apalagi ucapannya yang sok banget gitu." "Lo tahu nggak sih, gue juga heran kenapa sekolah ini bisa menerima siswa yang macam buaya. Gila nggak sih, hampir semua siswinya mau dipacarin. Merusak citra laki-laki di sini saja." "Maksud lo apaan?"  "Belum jelas ya? Mau gue kasih tahu biar tambah jelas atau lo pahami sendiri saja? Karena gue sangat yakin jika yang menjelaskan gue maka diri lo akan marah," jawab Gibran. "Gue nggak sebodoh yang lo kira." "Gue heran deh, perasaan gue nggak menjelek-jelekkan diri lo, kenapa lo sewot banget sih kalau sama gue?" Tanya Gibran sambil mengernyitkan kedua alisnya. Padahal di dalam hatinya sangat bangga kalau melihat Yoga sedang marah. Momen yang paling menyenangkan, meskipun tanpa kekerasan. "Gue lebih heran sama lo yang sukanya memancing emosi. Lo tahu nggak sih kalau perbuatan lo itu bikin orang darah tinggi."  "Ya sudah kalau seperti itu, berarti kita sama-sama heran. Lagian bagi gue yang hobi memancing, bahwa memancing emosi adalah suatu hal yang sangat mudah," ujar Gibran masa bodoh dan bahkan dia mau mengakui dirinya yang juga benar-benar heran. "Kita? Lo saja kali, gue sih ogah banget kalau disama-samakan dengan diri lo." "Itu sih terserah lo saja. Gue juga masa bodoh terhadap hal tersebut. Capek kalau disuruh ribut sama lo." "La siapa juga yang ngajakin ribut?" "Menurut lo siapa?" "Lo itu ya benar-benar, huft!" Yoga membuang napas kasar agar dirinya tidak terbawa suasana yang membuat dirinya bisa saja kelepasan untuk emosi. Mau bagaimana pun keadaannya, dirinya harus bisa kontrol. Dia pun membuang muka.  "Yoga! Gibran!" Panggil seseorang dari arah belakang. Mereka berdua pun membalikkan badan dan menatap orang yang sudah memanggilnya.  "Ada apa?" Tanya Yoga sedikit ngegas. "Kenapa malah bertanya? Harusnya kalian lakukan apa tugas kalian, bukan malah diam-diaman seperti ini," tegur Dafa jengah melihat tingkah mereka. Entah akan sampai kapan mereka akan bersikap seperti ini terus. Padahal malas untuk didengarkan. "Dia yang mulai duluan," tuding Gibran tepat di depan wajah Yoga. "Kenapa gue?"  "Karena cowok selalu salah!" Cletuk seseorang dari arah belakang. Mereka bertiga membalikkan badan secara bersamaan. Gibran dan Dafa mengernyitkan kedua alisnya karena dia tidak tahu siapa orang tersebut. Akan tetapi Yoga malah terkejut akan kehadiran orang tersebut. Lebih tepatnya dia tidak menyangka saja. "Lo?"  "Iya gue, kenapa? Lo terkejut lihat kedatangan gue di sini?" 
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN